Share

Sikap Naya

Author: Ilyas One
last update Last Updated: 2022-06-15 14:05:03

KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULI

Part 2

Hari ini aku merasa sangat lelah sekali. Karena banyaknya pekerjaan, terpaksa aku harus membawa pulang kerumah.

Setelah sampai kerumah, aku melihat ada sandal Ibu dan Lela di depan. Tumben mereka kesini, pikirku. Karena ini sudah hampir magrib. Biasanya mereka kesini jika hanya perlu denganku.

Karena dari dulu Ibu tidak menyukai Naya. Menurut Ibu aku lebih cocok dengan Intan, anak temannya. Tapi aku bersikukuh untuk tetap menikah dengan Naya. Karena Naya adalah tipe perempuan yang patuh dan baik.

Dia juga lulusan pondok pesantren. Ayahnya juga seorang ustadz. Menjadi kebanggaan tersendiri untukku karena berhasil mendapatkan hatinya. Karena dulu banyak sekali laki-laki yang berusaha mendekatinya.

Dari mulai para donatur pesantren, sampai para ustadz disana. Tetapi aku yang dipilih oleh Naya.

"Kami hanya minta sedikit, besok kamu minta uang lagi sama Rahman buat beli." Terdengar suara Ibu yang berteriak dari dalam.

"Kamu jangan macam-macam ya, Naya. Dengar, kamu hidup juga dengan biaya Abangku." Lela juga berteriak menyebut-nyebut namaku.

"Itu kewajibannya, karena aku istrinya!" sahut Naya dari dalam.

Aku segera melepaskan sepatu dengan cepat. Penasaran dengan semua yang terjadi, karena selama ini mereka tidak pernah bertengkar. Entah tidak pernah atau aku yang tidak tau.

Ada beberapa tetangga yang mengatakan jika mereka sering melihat Lela kerumah. Datang dengan tangan kosong dan pulang dengan berbagai plastik di tangannya.

Tapi aku tidak mau peduli. Karena bagaimanapun Lela adalah adikku. Lagian Naya juga tidak pernah mengeluh apapun tentang Ibu dan Lela.

"Dasar menantu kurang ajar!" teriak Ibu sambil melayangkan tamparan di wajah Naya.

Plak!

"Ibu, kenapa ini?" tanyaku penasaran. Aku segera mendekati Naya yang masih memegang pipi dengan tangannya.

"Rahman? Ka-kamu kapan pulang?" tanya Ibu gugup. Wajahnya terlihat pias dan was-was. Begitu juga dengan Lela, dia terkejut melihatku yang tiba-tiba datang.

"Aku tanya kenapa ini? Kenapa Ibu sampai nampar Naya?" tanyaku lagi sambil melihat Naya yang masih terdiam.

"Kamu nggak papa?" tanyaku lagi pada Naya. Kupegang kedua pundaknya dengan sedikit menunduk.

"Nggak papa, Mas. Udah biasa," jawab Naya ketus sambil melihat kearah lain.

Deg!

Sudah biasa? Berarti selama ini.

"Apa maksud kamu sudah biasa? Kamu jangan coba-coba fitnah saya di depan anak saya sendiri ya," ucap Ibu menyela ucapan Naya.

"Kenapa Ibu tampar Naya?" tanyaku lagi untuk kesekian kali. Kini pandanganku beralih pada Ibu dan Lela.

"Karena dia kurang ajar pada Ibu," jawab Ibu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Iya, Mas. Dia tidak segan-segan untuk menjawab semua nasehat Ibu," jelas Lela lagi sambil menunjuk ke arah Naya.

Kulirik sekilas kearah Naya, tapi dia hanya diam saja. Tidak ada niatan membela diri atau menyela omongan Lela.

"Terus itu apa?" tanyaku sambil menunjuk kearah plastik hitam yang dipegang oleh Lela.

Sekarang semua mata tertuju pada plastik yang tenteng oleh Lela. Termasuk Ibu. Lela seperti orang gelagapan, seperti ada yang dia sembunyikan.

"I-ini…."

"Beras," jawab Naya menyela omongan Lela.

Keningku berkerut mendengar jawaban Naya barusan. Untuk apa Lela bawa-bawa beras kesini.

"Kok belinya segitu? Bukannya tadi aku kasih uang lebih ya buat beli beras?" tanyaku pada Ibu.

"I-iya, uangnya nggak cukup," jawab Ibu gugup.

"Udahlah, Mas. Uang yang udah dikasih itu nggak bagus kalau terus diungkit-ungkit," sela Lela saat aku mau menanyakan lagi perihal uang yang kata Ibu tidak cukup.

"Iya, Mas. Mereka benar," jawab Naya.

"Yaudah, kami pulang aja. Datang kesini pun selalu salah dimata istrimu itu," ucap Ibu melihat sinis ke arah Naya.

Setelah Ibu dan Lela pamit pulang, Naya pun langsung masuk kedalam kamar. Tanpa memperdulikan aku yang masih berdiri mematung di sini.

Huufttt!

Kubuang nafas panjang. Pulang kerja bukannya disambut dengan baik, malah disambut dengan keributan. Ku kendurkan dasi yang terasa ketat. Hari ini sungguh sangat melelahkan.

Tidak ada teh ataupun kopi. Biasanya jika aku pulang kerja, Naya sudah menyiapkan kopi atau teh manis. Kadang juga ada beberapa cemilan seperti ubi goreng atau roti.

"Nay, kamu nggak bikin kopi?" tanyaku saat sudah di dalam kamar. Ku ganti pakaian kantor dengan pakaian rumah. Setelah itu merebahkan diri di samping Naya. Sedangkan Daffa tidur di dalam ayun.

Naya masih saja diam dan memainkan ponselnya. Entah sama siapa dia sedang chattingan. Dia sama sekali tidak memperdulikan aku.

"Nay!" bentakku geram.

"Daffa tidur, jangan ribut!" ketus Naya membalas bentakanku.

"Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu berubah tau nggak! Kamu udah kayak bukan Naya yang aku kenal," gumamku melihat heran dengan tingkah Naya yang berubah.

Dulu dia tidak begini. Seakan dia sekarang berhenti peduli padaku. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk Daffa dan ponselnya. Apa jangan-jangan benar kata Ibu, kalau Naya punya laki-laki lain selain aku.

Selama ini aku selalu menyangkal semua tuduhan ini Ibu untuk Naya. Karena bagaimanapun aku yang paling tau Naya. Dia wanita yang setia, tidak mungkin dia mengkhianati kepercayaanku.

"Kopi habis," ucap Naya.

"Kan bisa kamu buatkan aku teh," sahutku lagi.

Naya bangkit dari tidurnya, dan menaruh ponsel di atas nakas. Lalu dia pergi ke dapur. Aku seperti tidak mengenalnya lagi.

Tiba-tiba terlintas di dalam pikiranku untuk mengecek ponselnya. Entah mengapa aku penasaran dengan isi ponselnya. Dulu aku tidak pernah mengecek ataupun curiga dengan Naya.

Tapi karena sikap Naya yang berubah drastis membuatku semakin penasaran. Kuraih ponsel dan menyalakannya. Soal, ternyata pakai kode. Rasa penasaranku semakin membuncah.

Sejak kapan Naya membuat ponselnya menjadi barang privasi. Akan aku tanyakan jika nanti dia kesini.

"Ini tehnya," ucap Naya sambil meletakkan satu gelas teh yang masih mengeluarkan asap yang mengepul.

Segera kuraih gelas yang dia sedih barusan, dan….

Pruhh!

Aku menyemburkan isi teh yang aku minum barusan.

"Nay, kamu ngajak ribut ya!" teriakku sambil menaruh kembali gelas yang berisi teh pahit buatan Naya.

Tanpa menjawab Naya terus saja mengayun Daffa yang sedikit bergerak karena suaraku yang keras.

"Gulanya habis," jawab Naya masih dengan gaya cueknya. Aku benar-benar pusing dengan semua sikap Naya yang benar-benar sudah berubah.

"Kamu kan bisa beli, bukannya tadi pagi aku udah kasih kamu uang," jawabku menyela ucapannya.

"Nggak cukup, Mas." Seolah menjawab begitu Naya kembali keluar dari kamar.

Dengan cepat aku turun dari tempat tidur dan mengikuti langkah Naya. Ternyata dia ke dapur. Naya membuka pintu lemari bagian atas, dan mengeluarkan satu bungkus mie instan.

"Kamu nggak masak?" tanyaku karena melihat Naya akan memasak mie instan.

"Masak," jawab Naya singkat.

"Terus kenapa masak mie lagi?" tanyaku sambil duduk di kursi meja makan.

"Nggak ada nasi, Mas," jawab Naya lagi yang semakin membuatku kesal.

"Ya kamu masak lah, Nay. Jangan gini, jangan kayak anak kecil kamu. Kalau ada masalah itu diomongin. Jangan diam-diam gini, aku nggak suka!" Akhirnya aku mengeluarkan semua uneg-uneg yang selama ini hanya tertahan di dalam dada.

Naya berbalik ke arahku dan menatap dengan pandangan sulit aku artikan.

"Bukannya kamu suka wanita yang pendiam ya, Mas?" tanya Naya sinis.

"Maksud kamu apa?" tanyaku lagi.

"Kamu ingat nggak Minggu kemarin pas Ibu kemari. Aku ke warung buat beli minyak sama jajan Daffa. Kamu bilang apa ke Ibu?" Bukannya menjawab pertanyaan yang aku lontarkan, dia malah menanyakan pertanyaan untukku.

Tapi aku masih ingat, saat Ibu kemari meminta uang. Aku mengeluh pada Ibu kalau Naya terlalu cerewet. Meminta bantuan ini dan itu padahal aku sedang capek pulang kerja.

Ternyata, Naya mendengar semua pembicaraanku dan Ibu waktu itu. Ternyata gara-gara ini Naya berubah menjadi sangat pendiam dan irit bicara.

"Mungkin semua yang aku rasain itu tidak benar-benar nyata adanya, Mas. Sehingga hanya aku yang rindu, tapi kamu tidak. Hanya aku yang peduli, tapi kamu tidak. Hanya aku yang khawatir, tapi kamu tidak!"

"Kamu tau kenapa Ibu dan Lela tadi kemari? Mereka mengambil beras yang tadi aku beli eceran di warung. Itu mengapa aku tidak masak nasi malam ini."

Deg!

Bagai disambar petir rasanya saat mendengar semua keluhan Naya. Benarkah semua tuduhan yang dikatakan oleh Maya tentang Ibu dan Lela?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
PiMary
Mertua dan ipar yg jd racun rumah tangga....semoga bisa tegas
goodnovel comment avatar
Rastri Quinn
Lelaki kalo udah nikah itu, ya istrinya yg jadi tanggung jawabnya, bukan adiknya. percuma dong udh nikah tapi apa2 masih minta sama abangnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Tamat!

    "Tidaak! Jangan kubur anak saya. Dia masih hidup!" Tiba-tiba Ibu datang dan berteriak dari jauh. Kami semua terkejut dan melihat Ibu yang datang dengan penampilan yang sangat berantakan.Wajahnya merah, bahkan Ibu tidak memakai jilbab. Padahal tadi Umi sudah menyerahkan satu set gamis beserta jilbab. Agar Ibu bisa menutup aurat di acara pemakaman Lela."Stop. Kalian semua pembunuh. Jangan kubur Lela, dia masih hidup. Lelaaa!" teriak Ibu sambil terisak. Terpaksa acara pemakaman Lela dihentikan. Pak Hartono yang dari tadi terdiam, berjalan menghampiri Ibu yang sedang berontak karena dipegang oleh beberapa santri."Cukup, Jubaidah! Jangan buat masalah lagi. Lela sudah tenang, relakan," tegas Pak Hartono sambil memegang kedua bahu Ibu."Tidak. Lela anakku masih hidup. Kalian semua pembunuh," sungut Ibu yang membuat suasana semakin menegang.Beberapa pelayat ada yang bingung dengan kejadian ini. Ada di antara mereka yang langsung pulang karena proses pemakaman terlalu lama."Diam. Tolong

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Menjadi Gila

    KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULIPart 72POV Naya"Ibu mertuamu dimana, Nay? Apa dia tidak ingin mencium Lela untuk terakhir kalinya?" tanya Umi padaku. Saat ini jenazah Lela sudah dirumah Umi dan Abi. Tadi saat di rumah sakit Ibu berkali-kali pingsan karena tidak sanggup kehilangan Lela.Dia berbicara antara sadar dan tidak sadar. Ibu terus meracau memanggil nama Lela. Sesekali Ibu tertawa sendiri, kemudian kembali menangis. Makanya tadi saat dirumah sakit, aku memutuskan untuk naik mobil ambulans menemani jenazah Lela.Sedangkan Ibu, pulang bersama Mas Arman. Ibu lebih tenang jika berada di dekat Mas Arman daripada Pak Putra dan Pak Hartono. Padahal mereka adalah keluarga kandung Ibu. Mungkin karena efek sudah lama tidak bertemu dan bersama. Makanya Ibu juga merasa asing dengan mereka. Begitu juga sebaliknya, walaupun ada gurat kecewa di wajah Pak Putra.Apalagi saat Ibu mengatakan jika dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Wajah Pak Putra dan Pak Hartono langsung memerah

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Frustasi 2

    Ketika Istri Berhenti PeduliPak Putra mengambil kembali ponselnya dari tanganku. Sedangkan aku masih berdiri di sampingnya karena syok. Bagaimana bisa ada dua orang yang sangat mirip tapi tidak kembar."Dia Widya. Tapi kamu tenang saja, saya tau kamu sudah menikah dan memiliki anak," ucap Pak Putra dengan nada suara yang lebih tenanSetelahg. Sepertinya dia sudah jauh lebih baik dari tadi."Apakah Widya memiliki orang tua atau keluarga?" tanyaku pada Pak Putra yang sedang menyimpan ponselnya di dalam saku jaket kulit miliknya."Iya, dia sama seperti kamu. Anak tunggal, hanya saja kedua orangtuanya sudah pindah ke luar negeri setelah dia meninggal," jawab Pak Putra menjelaskan."Kenapa kami bisa sangat mirip, padahal kami tidak memiliki hubungan darah," aku terus memikirkan bagaimana wajahku bisa sangat mirip dengan wanita itu."Entahlah, kuasa Allah. Tidak ada yang tidak mungkin bukan?" jawab Pak Putra yang membuatku beristighfar.Kenapa aku tidak berpikir seperti Pak Putra. Padahal j

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Frustasi

    KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULIPart 71POV NayaKami masih menangis di depan kamar Lela. Sedangkan di dalam ada dokter dan beberapa perawat yang sedang melakukan pemeriksaan. Walaupun kami tau jika Lela sebenarnya sudah tiada. Tapi Dokter pasti akan tetap melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Mataku sembab dan terasa sangat lelah. Mas Arman masih menangis sesenggukan di sampingku. Sedangkan Pak Putra hanya diam dengan wajah datarnya. Dia sama sekali tidak terlihat sedih atau merasa kehilangan. Ya wajar menurutku, karena dia tidak pernah dekat dengan Adiknya itu. Bahkan dia malah membencinya karena sikap Lela tempo hari.Tapi jauh di dalam sini, aku berucap pada diriku sendiri. Jika aku sudah memaafkan semua kesalahan Lela padaku. Semua dendam yang pernah tertanam di dalam hati. Kini sudah hilang, tidak ada lagi dendam ataupun kebencian pada Lela.Kini aku malah teringat dengan Diki, dia telah menjadi yatim di usia balita. Mau menghubungi Herman juga aku tidak mempunyai nomor teleponnya. B

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Meninggal 2

    "Maksudnya gimana ya, Pak?" tanya Mas Arman tersenyum aneh. Aku juga merasa aneh dengan sikap mereka dari tadi."Jadi dulu, setelah dia melahirkan Putra. Dia pamit karena suatu urusan. Dan setelah itu dia tidak pernah kembali lagi pada kami. Di menghilang bak ditelan bumi. Saya pikir dia sudah meninggal, karena tidak kunjung kembali. Tapi nyatanya, dia masih hidup. Walaupun kami dipertemukan dengan cara seperti ini. Tapi itu cukup membuat saya bahagia. Ternyata anak saya masih hidup dan sudah mempunyai anak di tempat lain. Kamu adalah cucu saya juga." Pak Hartono menjelaskan semuanya sehingga membuat aku dan Mas Arman terkejut. Berarti Ibu masih mempunyai keluarga. Dan tidak main-main, dia punya keluarga yang sangat kaya raya."Anda sedang tidak bercanda kan, Pak?" tanya Mas Arman memastikan."Saya serius. Kamu bisa tanyakan lagi nanti sama Ibu. Dia akan siuman sebentar lagi. Tadi terpaksa dokter menyuntikkan obat penenang. Karena dia terus menangis memanggil anaknya," jelas Pak Hart

  • Ketika Istri Berhenti Peduli   Meninggal

    KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULIPart 70POV NayaKami berlari mengejar langkah dokter yang semakin menjauh. Perutku rasanya sedikit nyeri bagian bawah karena berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ternyata Lela sudah dibawa kembali ke ruang operasi.Aku dan Mas Arman menunggunya dengan harap-harap cemas. Jujur, jika ditanyakan apakah aku membenci Lela. Jawabannya iya, karena dari dulu dia menginginkan aku berpisah dari Mas Arman. Dia selalu menghasut supaya Mas Arman menceraikan aku. Apalagi setelah kejadian kemarin, ketika dia ingin menjualku pada laki-laki hidung belang. Rasa benciku semakin bertambah-tambah rasanya.Tapi jika sekarang ada yang menanyakan, apakah aku mencemaskan Lela. Jawabannya juga iya, aku sangat mencemaskan dia. Jujur, saat ini aku sungguh menginginkan dia untuk sembuh kembali. Walaupun setelah dia sembuh dan sehat dia akan menggangu hidupku. Rasanya aku rela, karena melihat penderitaan yang dia alami sekarang membuatku sadar. Jika doaku selama ini mungkin telah dik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status