Share

Sikap Naya

KETIKA ISTRI BERHENTI PEDULI

Part 2

Hari ini aku merasa sangat lelah sekali. Karena banyaknya pekerjaan, terpaksa aku harus membawa pulang kerumah.

Setelah sampai kerumah, aku melihat ada sandal Ibu dan Lela di depan. Tumben mereka kesini, pikirku. Karena ini sudah hampir magrib. Biasanya mereka kesini jika hanya perlu denganku.

Karena dari dulu Ibu tidak menyukai Naya. Menurut Ibu aku lebih cocok dengan Intan, anak temannya. Tapi aku bersikukuh untuk tetap menikah dengan Naya. Karena Naya adalah tipe perempuan yang patuh dan baik.

Dia juga lulusan pondok pesantren. Ayahnya juga seorang ustadz. Menjadi kebanggaan tersendiri untukku karena berhasil mendapatkan hatinya. Karena dulu banyak sekali laki-laki yang berusaha mendekatinya.

Dari mulai para donatur pesantren, sampai para ustadz disana. Tetapi aku yang dipilih oleh Naya.

"Kami hanya minta sedikit, besok kamu minta uang lagi sama Rahman buat beli." Terdengar suara Ibu yang berteriak dari dalam.

"Kamu jangan macam-macam ya, Naya. Dengar, kamu hidup juga dengan biaya Abangku." Lela juga berteriak menyebut-nyebut namaku.

"Itu kewajibannya, karena aku istrinya!" sahut Naya dari dalam.

Aku segera melepaskan sepatu dengan cepat. Penasaran dengan semua yang terjadi, karena selama ini mereka tidak pernah bertengkar. Entah tidak pernah atau aku yang tidak tau.

Ada beberapa tetangga yang mengatakan jika mereka sering melihat Lela kerumah. Datang dengan tangan kosong dan pulang dengan berbagai plastik di tangannya.

Tapi aku tidak mau peduli. Karena bagaimanapun Lela adalah adikku. Lagian Naya juga tidak pernah mengeluh apapun tentang Ibu dan Lela.

"Dasar menantu kurang ajar!" teriak Ibu sambil melayangkan tamparan di wajah Naya.

Plak!

"Ibu, kenapa ini?" tanyaku penasaran. Aku segera mendekati Naya yang masih memegang pipi dengan tangannya.

"Rahman? Ka-kamu kapan pulang?" tanya Ibu gugup. Wajahnya terlihat pias dan was-was. Begitu juga dengan Lela, dia terkejut melihatku yang tiba-tiba datang.

"Aku tanya kenapa ini? Kenapa Ibu sampai nampar Naya?" tanyaku lagi sambil melihat Naya yang masih terdiam.

"Kamu nggak papa?" tanyaku lagi pada Naya. Kupegang kedua pundaknya dengan sedikit menunduk.

"Nggak papa, Mas. Udah biasa," jawab Naya ketus sambil melihat kearah lain.

Deg!

Sudah biasa? Berarti selama ini.

"Apa maksud kamu sudah biasa? Kamu jangan coba-coba fitnah saya di depan anak saya sendiri ya," ucap Ibu menyela ucapan Naya.

"Kenapa Ibu tampar Naya?" tanyaku lagi untuk kesekian kali. Kini pandanganku beralih pada Ibu dan Lela.

"Karena dia kurang ajar pada Ibu," jawab Ibu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Iya, Mas. Dia tidak segan-segan untuk menjawab semua nasehat Ibu," jelas Lela lagi sambil menunjuk ke arah Naya.

Kulirik sekilas kearah Naya, tapi dia hanya diam saja. Tidak ada niatan membela diri atau menyela omongan Lela.

"Terus itu apa?" tanyaku sambil menunjuk kearah plastik hitam yang dipegang oleh Lela.

Sekarang semua mata tertuju pada plastik yang tenteng oleh Lela. Termasuk Ibu. Lela seperti orang gelagapan, seperti ada yang dia sembunyikan.

"I-ini…."

"Beras," jawab Naya menyela omongan Lela.

Keningku berkerut mendengar jawaban Naya barusan. Untuk apa Lela bawa-bawa beras kesini.

"Kok belinya segitu? Bukannya tadi aku kasih uang lebih ya buat beli beras?" tanyaku pada Ibu.

"I-iya, uangnya nggak cukup," jawab Ibu gugup.

"Udahlah, Mas. Uang yang udah dikasih itu nggak bagus kalau terus diungkit-ungkit," sela Lela saat aku mau menanyakan lagi perihal uang yang kata Ibu tidak cukup.

"Iya, Mas. Mereka benar," jawab Naya.

"Yaudah, kami pulang aja. Datang kesini pun selalu salah dimata istrimu itu," ucap Ibu melihat sinis ke arah Naya.

Setelah Ibu dan Lela pamit pulang, Naya pun langsung masuk kedalam kamar. Tanpa memperdulikan aku yang masih berdiri mematung di sini.

Huufttt!

Kubuang nafas panjang. Pulang kerja bukannya disambut dengan baik, malah disambut dengan keributan. Ku kendurkan dasi yang terasa ketat. Hari ini sungguh sangat melelahkan.

Tidak ada teh ataupun kopi. Biasanya jika aku pulang kerja, Naya sudah menyiapkan kopi atau teh manis. Kadang juga ada beberapa cemilan seperti ubi goreng atau roti.

"Nay, kamu nggak bikin kopi?" tanyaku saat sudah di dalam kamar. Ku ganti pakaian kantor dengan pakaian rumah. Setelah itu merebahkan diri di samping Naya. Sedangkan Daffa tidur di dalam ayun.

Naya masih saja diam dan memainkan ponselnya. Entah sama siapa dia sedang chattingan. Dia sama sekali tidak memperdulikan aku.

"Nay!" bentakku geram.

"Daffa tidur, jangan ribut!" ketus Naya membalas bentakanku.

"Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu berubah tau nggak! Kamu udah kayak bukan Naya yang aku kenal," gumamku melihat heran dengan tingkah Naya yang berubah.

Dulu dia tidak begini. Seakan dia sekarang berhenti peduli padaku. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk Daffa dan ponselnya. Apa jangan-jangan benar kata Ibu, kalau Naya punya laki-laki lain selain aku.

Selama ini aku selalu menyangkal semua tuduhan ini Ibu untuk Naya. Karena bagaimanapun aku yang paling tau Naya. Dia wanita yang setia, tidak mungkin dia mengkhianati kepercayaanku.

"Kopi habis," ucap Naya.

"Kan bisa kamu buatkan aku teh," sahutku lagi.

Naya bangkit dari tidurnya, dan menaruh ponsel di atas nakas. Lalu dia pergi ke dapur. Aku seperti tidak mengenalnya lagi.

Tiba-tiba terlintas di dalam pikiranku untuk mengecek ponselnya. Entah mengapa aku penasaran dengan isi ponselnya. Dulu aku tidak pernah mengecek ataupun curiga dengan Naya.

Tapi karena sikap Naya yang berubah drastis membuatku semakin penasaran. Kuraih ponsel dan menyalakannya. Soal, ternyata pakai kode. Rasa penasaranku semakin membuncah.

Sejak kapan Naya membuat ponselnya menjadi barang privasi. Akan aku tanyakan jika nanti dia kesini.

"Ini tehnya," ucap Naya sambil meletakkan satu gelas teh yang masih mengeluarkan asap yang mengepul.

Segera kuraih gelas yang dia sedih barusan, dan….

Pruhh!

Aku menyemburkan isi teh yang aku minum barusan.

"Nay, kamu ngajak ribut ya!" teriakku sambil menaruh kembali gelas yang berisi teh pahit buatan Naya.

Tanpa menjawab Naya terus saja mengayun Daffa yang sedikit bergerak karena suaraku yang keras.

"Gulanya habis," jawab Naya masih dengan gaya cueknya. Aku benar-benar pusing dengan semua sikap Naya yang benar-benar sudah berubah.

"Kamu kan bisa beli, bukannya tadi pagi aku udah kasih kamu uang," jawabku menyela ucapannya.

"Nggak cukup, Mas." Seolah menjawab begitu Naya kembali keluar dari kamar.

Dengan cepat aku turun dari tempat tidur dan mengikuti langkah Naya. Ternyata dia ke dapur. Naya membuka pintu lemari bagian atas, dan mengeluarkan satu bungkus mie instan.

"Kamu nggak masak?" tanyaku karena melihat Naya akan memasak mie instan.

"Masak," jawab Naya singkat.

"Terus kenapa masak mie lagi?" tanyaku sambil duduk di kursi meja makan.

"Nggak ada nasi, Mas," jawab Naya lagi yang semakin membuatku kesal.

"Ya kamu masak lah, Nay. Jangan gini, jangan kayak anak kecil kamu. Kalau ada masalah itu diomongin. Jangan diam-diam gini, aku nggak suka!" Akhirnya aku mengeluarkan semua uneg-uneg yang selama ini hanya tertahan di dalam dada.

Naya berbalik ke arahku dan menatap dengan pandangan sulit aku artikan.

"Bukannya kamu suka wanita yang pendiam ya, Mas?" tanya Naya sinis.

"Maksud kamu apa?" tanyaku lagi.

"Kamu ingat nggak Minggu kemarin pas Ibu kemari. Aku ke warung buat beli minyak sama jajan Daffa. Kamu bilang apa ke Ibu?" Bukannya menjawab pertanyaan yang aku lontarkan, dia malah menanyakan pertanyaan untukku.

Tapi aku masih ingat, saat Ibu kemari meminta uang. Aku mengeluh pada Ibu kalau Naya terlalu cerewet. Meminta bantuan ini dan itu padahal aku sedang capek pulang kerja.

Ternyata, Naya mendengar semua pembicaraanku dan Ibu waktu itu. Ternyata gara-gara ini Naya berubah menjadi sangat pendiam dan irit bicara.

"Mungkin semua yang aku rasain itu tidak benar-benar nyata adanya, Mas. Sehingga hanya aku yang rindu, tapi kamu tidak. Hanya aku yang peduli, tapi kamu tidak. Hanya aku yang khawatir, tapi kamu tidak!"

"Kamu tau kenapa Ibu dan Lela tadi kemari? Mereka mengambil beras yang tadi aku beli eceran di warung. Itu mengapa aku tidak masak nasi malam ini."

Deg!

Bagai disambar petir rasanya saat mendengar semua keluhan Naya. Benarkah semua tuduhan yang dikatakan oleh Maya tentang Ibu dan Lela?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
PiMary
Mertua dan ipar yg jd racun rumah tangga....semoga bisa tegas
goodnovel comment avatar
Rastri Quinn
Lelaki kalo udah nikah itu, ya istrinya yg jadi tanggung jawabnya, bukan adiknya. percuma dong udh nikah tapi apa2 masih minta sama abangnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status