Langit cerah mulai menampakkan sinarnya, menemani langkah Eliana menuju dapur, membantu Simbok memasak untuk sarapan pagi. Meskipun sudah sangat besar perut Eliana, namun ia tak ingin jika bermalas-malas. "Ma, dapat tugas tadi dari sekolah, Dafa lupa," wajah Dafa cemberut ke arah Eliana. Eliana tersenyun dan memegang kesua pundak anaknya. "Kenapa bisa begitu, kok tidak dikerjakan semalam.""Daffa lupa, Ma.""Baiklah sini, Mama bantuin kerjakan ya."Terlihat senyum mengembang dari wajah Dafa. "Iya, makasih, Mah."Eliana tersenyum ke arah Simbok. Sambil memotong sayuran, dan mencucinya ke wastafel sambil menyiapkan bumbu yang sudah di uleg. Mbok Siti tersenyum melihat Eliana meskipun hamil besar namun masih saja bantu-bantu si Mbok. Lalu berjalan mendekati Dafa dan membantunya Selesai membantu Dafa, Eliana bersiap ke toko bunga miliknya, Meski belum yakin akan mendapatkan izin dari suaminya. Karena akhir-akhir ini suaminya overprotective, tetapi Eliana pastikan semangatnya pasti sang
Welcome my baby"Maksudnya bagaimana, Zian...?" tanya Satria pada adiknya. "Ya, Mas Satria harus berani ngomong sama, Mbak Eliana, " jawab Zian sambil tersenyum, berharap kakanya bisa mengerti. Satria mengatur napasnya yang sedikit naik turun, dadanya seolah sulit untuk bernapas kini. "A---apa itu akan berhasil?" tanya Satria lagi tak percaya akan apa yang di ucapkan oleh adiknya. "Tidak ada yang salah, Mas, bahkan Ibu begitu merindukan Daffa."Satria menggangguk. "Entahlah apa aku berani melakukannya, Zian."Zian tersenyum. "Demi Ibu, Mas."Wajah Satria membulat menahan gejolak rindu yang lama ia abaikan. Seorang anak, bahkan apakah Daffa mengenalinya atau tidak. Rasanya Satria mengingat ke beberapa tahun yang lalu, saat ia memutuskan meninggalkan Eliana sendirian menanggung beban hingga ia mengusirnya tanpa rasa manusiawi. Dengan seluruh sesal menguasai relung jiwa Satria. Seketika, pandangannya buram tak bisa membayangkan jika Eliana begitu menderita selama ini. Satria menelan
"Dia, Ayah kamu, Daffa." Eliana berusaha setenang mungkin agar anaknya tidak syok. Daffa terlihat begitu bingung. "Maksudnya, Ayah. Ma?" tanya Daffa tak mengerti. Entah apa kesalahan Satria tidak termaafkan? Sehingga anak kandungnya tak mengenalinya seperti ini. "Iya sayang jadi ....""Jadi, aku adalah teman, Mama kamu saat kamu masih kecil kau sering memanggilku dengan sebutan, Ayah." Sahut Satria pada Eliana. "Benar begitu, Ma?" tanya Daffa pada Mamanya. Eliana menelan saliva yang terasa pahit. Ia tak ingin membuat anaknya terluka dan menjadi anak yang merasa terkucilkan. Air matanya jatuh membasahi pipi, entah ia tak bisa berpikir kali ini. "Sayang, Daffa, dia adalah Ayah kamu namanya Ayah Satria, beliau sama kayak Papa Rein. Jadi kalian ada ikatan darah mengerti sayang." Jelas Eliana pada Daffa. Daffa terdiam ... wajah yang ceria terlihat sangat murung, dan menatap ke arah Eliana. Sesaat hening tak ada satu kata suarapun yang keluar. "Ayah ... Ma? Tidak," tanya Daffa lagi.
Kehidupan seolah-olah tidak berpihak pada Satria. Hidupnya terasa membosankan saat Satria kehilangan arah tentang tujuan hidup. saat ini ia sudah tak memiliki suatu target, Satria merasa hidupnya begitu hampa. Satria merasa kehilangan arah, ia merasa terombang-ambing dan rasa bosanpun hadir menyelimutinya saat ini. Sinar mentari mulai masuk melalui celah jendela rumah sakit. Satria mengerjap beberapa kali sambil meraba sisi sebelum membuka mata dengan sempurna. Ternyata ia tertidur di sofa ruangan kamar Ibunya. Zian sudah bangun terlebih dahulu. Mengelap tubuh Ibunya dan menyuapinya. Selesai sarapan di kantin, bergegas Satria ke ruangan Ibunya dan kata Dokter sang Ibu diperbolehkan pulang. Entah... Saat ini rasa senang mendera dihati Satria. Mungkin keajaiban itu tiba sang Ibu pulih sesaat setelah bertemu dengan cucunya Daffa. "Satria, apa Ibu gak pulang kampung saja? Gak enak Ibu kalau harus di rumah kamu?" tanya Ibu pada putranya. "Tidak Bu, biarkan Ibu pulih dulu, baru kita pind
Selesai memakai baju Yolanda berlari mengejar Satria, tanpa menghiraukan panggilan, Anton kekasih sahabat karib Satria."Berhenti, Satria. Please jangan usir aku dari rumahmu.""Apanya, apa kurang jelas, mau aku bongkar videomu di sosmed?"Yoalnda menggalang kasar. "Pernikahan kita, bagaimana?"Satria tidak bereaksi, wajahnya datar. Namun, dalam hatinya berkecamuk hebat. Rasa muak mendapati selama ini affair dengan sahabatnya sendiri. "Kau lucu Yolanda,bahkan kau sudah tertangkap basah.""Plis ... tolong Satria maafkan aku!""Coba pikir, apa skandalmu bisa dimaafkan?""Aku mohon, Satria, setidaknya demi Cika."Keduanya sama-sama diam."Aku yang akan mengurus, Cika," ujar Satria dengan penuh amarah. Yolanda tidak menyahut."Kau tetap boleh berhubungan dengan perempuan yang kau suka. Yang penting biarkan aku di rumahmu!""Yolanda, aku sudah tidak peduli!""Maaf," ucap Yolanda menangis histerisDalam suatu hubungan pasti ada yang namanya masalah dan konflik, yang pada akhirnya membuat S
A few years laterSatria berada di samping putrinya Cika, yang sedang belajar menulis. Alhamdulillah setelah beberapa terapi dilakukan ia jadi bisa sedikit bicara dan bercanda bersama sang Ayah Satria. Ia pun tak lupa mengirimkan sejumlah uang tiap bulan untuk Daffa putranya. Satria berusaha untuk tegar dan ia jauh lebih berubah dari sebelumnya, lebih menghabiskan waktu di rumah dan kadang-kadang bermain bersama Daffa.Ya setidaknya Eliana masih mau mengizinkan nya bertemu dengan Daffa putranya. Sejenak Satria menarik napas dengan kasar, lalu membuangnya. Setelah kejadian itu Satria tak pernah lagi berurusan dengan wanita. Bahkan adiknya Zian sudah menikah dan membeli rumah baru. Tinggallah Bibi juga Ibu yang menemai hari-hatinya. Bagi Satria semua sudah berakhir, apa pun yang Eliana katakan itu sudah sangat membuat Satria puas. Meskipun sudah tak bisa memilikinya lagi. Namun, Satria diberi kesempatan untuk dimaafkan itu susah cukup bagi Satria. Saat Satria baru bercengkrama dengan Ci
"Selamat ulang tahun, Mas, semoga panjang umur sehat terus makin soleh dan sayang terus sama, El." Eliana tersenyum manis memberikan bingkisan kecil. Reindra terdiam ia tersenyum ke arah istrinya."Aamiin ... apa ini sayang?""Ada deh."Reindra membuka kado, ia tersenyum. "Artinya...?" Ia menunjukkan hadiahnya. Eliana mendekat dan memegang tangan suaminya. "Biar Kamu ingat terus sama aku, setiap jam, setiap menit, setiap detik kamu adalah milikku.""Terima kasih sayang hadiahnya dan atas ketulusanmu.""Sama-sama, Mas." Eliana menarik napasnya, ia tahu suaminya sedang gak baik-baik saja. "Kenapa sih kayak ada masalah gitu, kan. Aku bilang jika kamu ada masalah harus cerita kenapa Mas jadi lebih sering diam."Reindra mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang istri. Eliana mengusap pelan punggung tangan suaminya dengan mengelusnya. Menikmati getaran yang terasa di dalam dadanya saat tangan Reindra berada di dalam genggamannya. "Mas sibuk akhir-akhir ini, El, jadi Mas gampa
Eliana mengusap air matanya ia lunglai dilantai tak kuat menahan beban ini. Sang Mama datang dan memeluknya erat. Dan berusaha menenagkan menantu kesayangannya. Kenapa tak jujur dari awal harusnya bisa dibicarakan agar bisa dilewati bersama. Eliana tak mampu lagi menjelaskan rasa sakit, sangat menyakitkan dari apapun, Eliana menatap lekat wajah mertuanya. Dan memeluknya erat. Eliana beranjak dan duduk si atas sofa, Mbok Siti memberikan segelas air putih, setelah berusaha menenangkan perasaanya ia dan sang Mama bergegas ke rumah sakit dimana Reindra dirawat. Di dalam mobil Eliana hanya bisa menyesali perbuatannya. Bayangkan saja selama ini suaminya menyembunyikan rasa sakit yang perlahan lahan menggerogoti tubuhnya. "Maafin El, harusnya kamu membagi rasa sakitmu untuk istrimu," Lirih Eliana sambil menatap bangunan tinggi menjulang keluar jendela mobil. Beberapa tahun menjalani hidup bersama. Bisa dibilang hubungannya baik baik saja. Tidak pernah ada masalah serius. Reindra lebih ke