Kalila yang awalnya ingin membongkar kedok Gio, seketika itu juga mengatupkan bibirnya.
“Gio sengaja mau mengambil hati ayah sama ibu,” pikir Kalila dalam hati. “Suami kamu sudah baik dalam memperlakukan orang tua. Kamu harus setia dan berbakti sama dia, Lila.” Ayah menimpali. “Kami bersyukur karena kamu mendapatkan jodoh yang nyaris sempurna seperti Gio, jadi tolong jangan permalukan kami.” Kalila mendadak merasakan sesak di dada ketika mendengar harapan ayahnya. “Aku ... akan berbakti sama suami, Yah.” “Bagus itu, surga istri terletak pada suaminya.” Kalila diam saja, meskipun hatinya ingin berontak dan mengatakan kebenaran bahwa Gio tidaklah sebaik itu. Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, Kalila terdiam dengan pikiran berkecamuk. Dia sangat penasaran dengan tujuan Gio sebenarnya, tapi apa itu? Begitu Kalila pulang, ternyata sudah ada dua wanita paruh baya yang sedang menunggunya. “Bu Lila?” “Ya, saya sendiri. Ibu ini cari siapa?” “Kami diminta Tuan Gio untuk bekerja di rumah ini, Nyonya ....” Kalila mengangguk paham. “Kalau begitu silakan masuk.” Kalila langsung membebaskan kedua asisten rumah tangga itu untuk bekerja di rumah. “Nyonya mau saya masak apa?” “Sayur sop saja, yang simpel. Jangan lupa ikan goreng dan sambalnya ya, Bik?” Asisten rumah tangga itu mengangguk. Hari itu Gio benar-benar menepati ucapannya, dari siang sampai hari gelap pun dia tidak menampakkan batang hidungnya. Meskipun dijadikan sebagai istri kedua diam-diam, tetap saja Kalila memiliki rasa khawatir terhadap suaminya. Mereka menikah resmi dengan disaksikan oleh tamu undangan yang hadir, sedangkan Nia hanya istri siri yang keberadaannya harus disembunyikan rapat-rapat seperti bangkai. “Ha ha ...” Kalila tersenyum getir, mengingat kelebihan Nia yang mendapatkan begitu banyak curahan cinta dari Gio. “Sudah malam, Nyonya. Apakah Tuan lembur di kantor?” tanya Bik Jani. “Sepertinya begitu, Bibik tidur dulu saja. Kunci semua pintu dan jendela ....” “Nanti kalau Tuan pulang, bagaimana?” “Tuan punya kunci cadangan, Bik.” Mendengar ucapan Kalila, Bik Jani mengangguk dan segera pergi untuk mengunci pintu. “Jam sebelas malam,” gumam Kalila sembari melirik layar ponselnya yang menyala. “Dia sudah pasti tidak akan pulang, lagipula dia memiliki rumah lain untuk dia singgahi ....” Berusaha untuk tidak memikirkan Gio, Kalila memejamkan mata dan terlelap setelah beberapa saat. Kalila merasa baru tertidur sebentar ketika dia mendengar suara dobrakan pintu kamar, dia tergeragap bangun dan menyalakan lampu dengan serabutan ketika sesosok bayangan gelap merangsek masuk ke dalam. “Kenapa kamar ini jadi sempit sekali sejak kamu datang?” Gio menggerutu. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Kalila cepat-cepat bangun untuk menyambut kepulangan Gio. “Kamu pasti capek, mau mandi atau ...?” “Ini jam dua dini hari, kamu pikir aku mau mandi jam segitu?” tukas Gio sambil menjatuhkan dirinya di sofa yang berhadapan dengan televisi. Kalila berusaha memaklumi sikap Gio yang kemungkinan sedang kelelahan hingga lupa melepas sepatu dan juga baju kerjanya. Dengan penuh perhatian, dia melepas sepatu dari kaki Gio satu per satu. Lalu yang terjadi .... “Apa sih maumu?” umpat Gio disertai sentakan keras dari sebelah kakinya. “Kamu mengganggu tidurku, tahu tidak?” “Aku hanya bantu kamu ....” “Aku tidak butuh bantuan kamu, jangan mengusikku! Kalau bukan karena bujukan Nia, aku tidak sudi pulang ke rumah ini! Seharusnya kamu bersyukur, dasar madu tidak tahu diri!” Gio mengucap kata-kata pedas itu dengan mata memicing karena rasa lelah dan mengantuk jadi satu. “Astaghfirullah, dari awal aku tidak pernah tahu kalau kamu berniat menjadikan aku sebagai madu, Mas ....” “Diam, jangan membantah saat aku sedang bicara! Kembali ke tempatmu, aku mau tidur!” Kalila tersentak mundur karena bentakan Gio, dia tidak lagi berani untuk mengusiknya *** Keesokan paginya, Kalila turun ke dapur untuk memantau sarapan yang dimasak asisten rumah tangganya. “Nyonya mau minum teh?” Bik Jani menawari. “Boleh, Bik. Menu pagi ini apa, biar saya siapkan untuk Tuan ....” “Saya sama Nuri masak tumis brokoli, daging sapi goreng merica dan udang tepung.” “Bibik sarapan dulu sama Bik Nuri, biar saya yang siapkan sarapannya.” Kalila meraih piring dan menyendokkan nasi untuk Gio, dia memang belum tahu apa masakan kesukaan suaminya. Namun, Kalila akan berusaha secara bertahap untuk memahami apa saja yang Gio sukai. “Sarapan dulu, Mas!” Kalila melongok ke dalam kamar dan melihat Gio yang sedang mematut diri di depan cermin. “Aku sarapan di tempat Nia,” sahut Gio tanpa menatap Kalila. “Kasihan Bibik sudah capek-capek masak buat kita ....” “Mereka masak buat kamu, aku panggil mereka biar kamu tidak repot.” Kalila menarik napas, dia menatap ke arah tempat tidur dan mendapati bahwa baju kerja yang dia siapkan masih teronggok pasrah. “Kamu tidak suka sama baju yang aku pilihkan?” Saat itulah, baru Gio menoleh ke arah Kalila. “Selera kamu payah, aku sudah tanya Nia dan dia kasih aku pilihan kemeja dan dasi yang lebih serasi.” “Oh, oke.” Kalila kembali ke dapur dan menatap dua piring yang sudah terisi nasi lengkap dengan lauknya. “Tuan mana, Nyonya?” Bik Nuri celingukan saat mendapati Kalila yang duduk sendirian di dapur. “Sudah berangkat, Bik.” “Tidak sarapan dulu?” “Tuan buru-buru ... Ini masih ada satu piring, Bibik bisa makan—masih utuh kok ini,” tunjuk Kalila. “Saya tidak mungkin makan semuanya.” “Nanti Bibik makan,” angguk Bik Nuri dengan sorot mata yang menyiratkan sesuatu. “Bagaimana semalam, Mas?” Nia menyambut kedatangan Gio di pintu rumahnya. “Habis berapa ronde kamu sama istri kedua kamu?” “Jangan meledekku, mana mungkin aku menyentuhnya.” Nia memeluk lengan Gio dan menggiringnya ke dapur untuk sarapan sama-sama. “Baru saja aku pesan, masih hangat ini ....” “Kelihatannya enak, aku lapar sekali.” Nia meraih piring kosong untuk Gio. “Memangnya Lila tidak menyiapkan sarapan buat kamu, Mas?” “Dia sudah menyiapkannya, tapi aku yang tidak mau.” “Kasihan sekali sih ....” “Sudahlah, ayo sarapan sekarang. Aku ada rapat di kantor pagi ini,” ajak Gio buru-buru. Nia dengan penuh semangat mengambilkan nasi, sementara Gio menunggu sembari menatap istri pertamanya penuh cinta. Kebersamaan mereka akhir-akhir ini sedikit terganggu karena pernikahan kedua Gio dengan Kalila, tapi pria itu berjanji bahwa situasi yang mereka alami tidak akan berlangsung lama. Gio pastikan bahwa cepat atau lambat, Kalila akan tersingkir dari rumah tangganya sendiri. “Mas, uangku menipis. Aku minta tambahan, boleh?” Gio biasanya tidak perlu berpikir dua kali untuk memberikan sejumlah uang kepada Nia, tapi kali ini dia harus mempertimbangkannya. “Masa uang bulanan sudah mau habis?” “Aku kan butuh hiburan, kamu kira gampang apa membiarkan suami sendiri menikah lagi?” Nia merajuk. “Aku sudah sabar, tidak datang ke pernikahan kedua kamu demi menjaga nama baik keluarga ... salah kalau aku melampiaskannya dengan belanja?” Gio menarik napas, hatinya langsung luluh saat Nia merajuk seperti ini. “Oke, nanti siang aku transfer.” Bersambung—“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio