"Toko Ralia grosir lumayan ramai, ya?" ucapnya di dekat telingaku. Suaranya pelan tapi cukup membuatku tersentak. Aku membeku seketika. Kata-kata Bowo bagai air es yang mengguyur seluruh tubuh ini. Dari nama dia tahu masalah itu? "Saya pernah mampir ke sana dan melihat mobil Pak Radit parkir di samping toko. Saya hapal betul itu mobil Anda. Seketika saya bertanya dengan pemilik toko, siapa pemilik mobil plat BE tersebut? Perempuan berwajah manis itu menjawab milik suami saya. Dari situ saya tahu," ungkapnya di samping telinga ini dengan suara yang sangat pelan. Nyaris tak terdengar malah.Gleg!Susah payah aku menelan ludah. Keringat dingin mengucur di kening. Aku tak bisa membantahnya.Degup jantung bekerja lebih cepat dari biasanya. Ada rasa tak nyaman yang menyelimutiku. Baru kali ini ada lelaki yang suka ikut campur urusan rumah tangga orang.Jangan-jangan dia yang telah membongkar semua ini pada Alina. Ya, aku yakin sekali dia yang membuat istriku berubah. "Kalau sudah tak menc
Kubawa kaki melangkah meninggalkan taman, meninggalkan manusia picik nan li cik itu. Mas Radit adalah definisi manusia tak tahu diri. Tak sadar diri. Peng khi anat berteriak kh ian at. Satu telunjuk mengarah padaku tapi tidak sadar empat jari yang lain mengarah pada dirinya sendiri. Dadaku kembali bergemuruh saat mengingat ucapan lelaki itu. Tuduhan tanpa dasar itu menunjukkan kualitas dirinya yang pi cik. Menambah alasan mati rasanya hati ini.Di dalam sini magma emosi sudah meletup-letup. Namun, aku sudah tidak ingin lagi berdebat dengan manusia tak tahu diri itu. Aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengannya. Biarlah akan segera kuurus hartaku dari jarak jauh. Mungkin aku harus merubah rencana. Akan aku jalan rencana yang lain, tidak sesuai dengan rancangan yang pertama.Rasa sakit di hati ini membuatku enggan bermalam di rumah sakit. Terserah mau dianggap apa. Radit yang telah membuatku hilang rasa. Aku harus segera menghubungi bapak meminta dijemput. Aku tidak ingin lagi meliha
Ketika Istri Mati Rasa Bab 15Tiba-tiba aku terbangun karena isi kantong kemih sudah penuh dan meminta haknya untuk dikeluarkan.Mataku mengerjap, kuedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan. Sepi, Ibu terlelap dalam tidurnya.Tak ada Mas Radit di ruangan ini. Kemana perginya lelaki itu? Atau memang dari taman dia tak kembali ke sini? Entahlah.Selepas ngobrol dengan Bapak, aku segera pergi tidur. Tidak tahu lagi apa yang terjadi?Lega rasanya setelah mengeluarkan isi kantong kemih. Kuambil handphone dari dalam tas. Tujuanku untuk melihat waktu. Sudah menunjuk jam setengah tiga. Banyak waktu untuk salat malam.Kok jadinya pengen minum, ya. Kucari botol minum air mineral. Yah, kosong. Padahal, seingatku semalam masih separuh sewaktu aku mau tidur. Bukti bahwa sebenarnya Mas Radit datang kemari setelah aku tidur. Lantas sekarang ke mana? Ah, ngurusin amat ke mana perginya manusia itu.Kumasukkan handphone dan dompet ke dalam saku baju. Inilah alasan aku sangat suka memakai gamis berkanto
Hari ini ibu sudah dinyatakan boleh pulang setelah adanya visit dokter. Mas Radit sedang membereskan administrasi Ibu. Sesekali aku mengalihkan fokus mata ini, dari layar handphone ke arah ibu yang sedang duduk di kursi roda. Tatapannya mengawang. Entah apa yang beliau pikirkan. Sepertinya beliau perlu dihibur atau dikuatkan. Sayangnya, aku tidak ingin melakukan itu seperti biasanya. Dulu, aku tak pernah membiarkan ibu larut dalam lamunannya. Aku akan buru-buru datang padanya saat mengetahui ibu melamun. Aku akan segera menggenggam tangannya. Menyakinkan, menguatkan dan bahkan menghiburnya setelah beliau menceritakan beban pikirannya. Saat ini biarlah beliau larut dalam pikirannya. Alih-alih menghibur atau menguatkan ibu mertua. Saat ini aku tidak ingin pura-pura kuat di depannya. Mungkin sedikit demi sedikit aku akan mengurangi kebiasaanku. Atau bahkan mungkin suatu saat aku benar-benar tidak akan peduli lagi dengan beliau.[Nduk, apa sebaiknya kami ke rumah mertuamu sekarang?] ta
[Bu, besok kita tidak bisa belanja. Gimana ini?] Aku mengernyitkan dahi usai membaca pesan dari Wulan, salah seorang karyawan di rumah makanku. Apa memang rumah makan sesepi itu akhir-akhir ini? Memang, usaha kalau dilepas begitu saja, ya, hasilnya seperti ini. Tidak maksimal sama sekali. Aku hanya datang ke sana sesempatnya. Terlebih sudah beberapa hari aku tak mendatangi rumah makan itu. Memang, Wulan selalu memberikan rincian pengeluaran dan pemasukan. [Apa memang hari ini sangat sepi, Lan?] Kukirimkan pesan balasan.[Seperti biasa, Bu. Tapi, kan uangnya sudah diminta sama Ibu tadi siang. Sore ini sedikit yang beli. Uangnya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah makan, Bu.] Aku terperangah membaca jawaban Wulan. Mata yang sudah redup karena kantuk kini membulat sempurna.Otakku berpikir keras, tapi tak dapat menemukan jawabannya. Kapan aku meminta uang ke rumah makan? Pertanyaan bergulung-gulung di kepala ini yang menuntut untuk segera menemukan jawabannya. Segera aku t
"Lin, jangan macam-macam kamu. Jaga ucapanmu. Memangnya enak jadi janda." Mas Radit tampak gelisah. Ketakutan jelas tercipta di wajahnya."Menjadi janda memang tidak enak dan itu tidak diinginkan wanita manapun, tapi kalau meneruskan pernikahan lebih menyiksa jiwaku untuk apa perkawinan ini diteruskan? Selama ini pernah aku keluar tanpa izinmu, selama ini pernah aku keluyuran tidak jelas? Tidak kan? Lalu kenapa kamu mengatakan macam-macam saat aku ingin bersilaturahmi pada temanku. Toh, tidak ada lelaki di sana. Apa tidak ada kebebasan buatku untuk sekedar bersantai dengan teman? Apa aku harus terus-menerus bergulung dengan pekerjaan rumah ini? Kalau jawabanmu iya, mari berpisah." Niat awal mau mengecek keadaan ibu kini kubatalkan. Kubawa langkah kaki menuju dapur. Kutuang segelas air dari dispenser. Meminumnya hingga tandas. Bukan karena haus tapi berusaha menetralisir emosi yang ingin meledak-ledak di dalam sini. Kutarik kursi di depan meja makan. Kuhempaskan bobot tubuh ini semba
Kupandangi gambar surat undangan pernikahan. Hari H-nya dua minggu lagi dari sekarang. Aku menarik napas dalam-dalam. Bersiaplah mendapatkan kejutan dariku, Mas di hari bahagiamu itu.[Kamu dapat foto ini dari mana, De?] tanyaku pada wanita yang menjadi lawan bicara di seberang sana. [Dari rumah teman, Mbak. Kebetulan yang cetak undangan itu suaminya temanku. Sewaktu mau ke sekolah aku mampir dulu ke rumahnya. Eh, aku lihat sample undangan itu di ruang tamu teman. Mbak Alina yang dimadu kok aku yang merasakan sakitnya, ya, Mbak. Sungguh aku tidak rela wanita sebaik Mbak Alina disia-siakan oleh mas Radit. Sepupu suamiku sendiri.] Aku terdiam mendengar Ririn meluapkan isi hatinya. Dia saja merasa sakit, apalagi aku. Bahkan aku tidak bisa merumuskan sakitnya hatiku saat tahu diduakan. [Mbak harus datang. Harus banget. Aku akan temani Mbak ke sana.] Begitu semangatnya Ririn menyuruhku datang. Suaranya menggebu-gebu di balik telepon.[Nanti aku kabarin. Tapi, tolong jangan bicara apapun
Avanza silver telah membawa mas Radit pergi dari rumah ini. Seumur-umur baru kali ini ia pergi ke sana dengan travel.[Assalamu'alaikum, Lan. Ibu butuh bantuanmu. Bisa ke sini, kan? Dan tolong bawa baju ganti tiga atau empat stel. Jangan lupa bawa baju buat kondangan, ya. Kalau kamu kurang paham, nanti ibu jelaskan di sini alasannya. Harus izin mbakmu terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu segera.] ucapku tanpa memberi kesempatan Wulan untuk menyela. Tanpa protes gadis itu menyanggupi permintaanku.Kali ini aku sengaja meminta Wulan untuk menemani dan membantu di sini. Tidak mungkin aku meminta bantuan Mbak Niswa. Tidak mau rencanaku diketahui keluarga mas Radit. Biarlah mereka tahu setelah beres semuanya.Aku sengaja mengundang gadis itu hari ini untuk menjaga Ibu. Aku akan menjemput Wildan dan langsung ke rumah orang tuaku. Kami akan membahas masalah penting di sana."Bu, Alina pergi dulu, ya. Hari ini Ibu dijaga oleh Wulan. Karyawan Alina di rumah makan." Aku pamitan pada Ibu setelah memb