Arka terdiam mendengar ucapan istrinya, begitupun Abi. Karena tidak mau mengganggu mereka, akhirnya ia keluar tanpa pamit pada keduanya."Kamu ngomong apa sih? Jangan aneh-aneh deh!" jawab Arka yang terlihat kesal. Ia menyadari istrinya tengah marah padanya, tetapi tidak harus meminta pisah juga kali, apalagi ada anak yang dikandung Luna. Arka belum mengetahui kalau Luna telah mengalami keguguran."Semalam kamu kemana?" tanya Luna dengan tatapan menghujam, ada kilat amarah di pelupuk matanya."Aku..." Arka mulai ragu untuk menjawab jujur. Ia benar-benar takut kalau berkata jujur, maka istrinya akan semakin marah."Jawab! Kamu kemana? Kenapa ponsel kamu tidak aktif?" tanya Luna lagi."Maaf.""Aku tidak butuh ucapan maaf dari kamu. Aku butuh jawaban!" tekan Luna."Putri pendarahan. Aku tadi malam menolongnya, aku juga bersama Alfi." Akhirnya Arka berkata jujur. Ia tidak bisa berbohong pada istrinya."Terimakasih atas kejujuran kamu. Silahkan pergi dari sini," jawab Luna. Dia merasa sang
"Jangan mendekat!" ketus Luna saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Kau begitu marah padaku?" Arka berhenti di posisi yang tak jauh dari Luna. Ia tidak mau terlalu gegabah yang nantinya akan membuat Luna semakin marah. Ia harus bermain lembut untuk mendapatkan hati istrinya kembali."Apa perlu pertanyaanmu itu ku jawab? Sepertinya seorang Pak Arka cukup pintar menelaah semua yang terjadi " Masih tetap sama, Luna tak mau melihat ke arah Arka saat mengatakan itu."Sepertinya kata maaf saja kurang cukup untuk membuat hatimu melunak kembali.""Pergilah!" ucap Luna.Arka menggeleng keras. "Aku tidak akan pergi tanpa kamu. Aku akan tetap di sini temani kamu.""Sekali lagi ku tekankan, aku nggak butuh kamu. Aku bisa mengurus diriku sendiri, sama seperti saat kamu tidak ada kemarin malam."Mendengar jawaban Luna, hati Arka semakin sakit, penyesalan yang dalam ia rasakan. Seharusnya ia tidak keluar, seharusnya ia tidak mengikuti kemauan Alfi. Seharusnya ia lebih peka pada istrinya.Arka
"Jangan mendekat!" ketus Luna saat melihat suaminya berjalan ke arahnya."Kau begitu marah padaku?" Arka berhenti di posisi yang tak jauh dari Luna. Ia tidak mau terlalu gegabah yang nantinya akan membuat Luna semakin marah. Ia harus bermain lembut untuk mendapatkan hati istrinya kembali."Apa perlu pertanyaanmu itu ku jawab? Sepertinya seorang Pak Arka cukup pintar menelaah semua yang terjadi " Masih tetap sama, Luna tak mau melihat ke arah Arka saat mengatakan itu."Sepertinya kata maaf saja kurang cukup untuk membuat hatimu melunak kembali.""Pergilah!" ucap Luna.Arka menggeleng keras. "Aku tidak akan pergi tanpa kamu. Aku akan tetap di sini temani kamu.""Sekali lagi ku tekankan, aku nggak butuh kamu. Aku bisa mengurus diriku sendiri, sama seperti saat kamu tidak ada kemarin malam."Mendengar jawaban Luna, hati Arka semakin sakit, penyesalan yang dalam ia rasakan. Seharusnya ia tidak keluar, seharusnya ia tidak mengikuti kemauan Alfi. Seharusnya ia lebih peka pada istrinya.Arka
Luna menangis sesenggukan. Sebenarnya rasa cinta pada suaminya masih begitu besar, tapi semua itu dipatahkan oleh sebuah kekecewaan.Ia tidak mau hidup bersama lelaki yang masih terkurung oleh masa lalunya. Walau kata maaf berulang kali terlontar dari mulut lelaki itu, tetapi hati Luna masih sekeras batu. Sulit sekali untuk sekedar mengucap kata memaafkan."Sebenarnya aku tidak mau berpisah dengan mu, Lun," ucap Arka pelan. Setelah beberapa saat diam, ia bisa mengendalikan emosinya."Tapi rasanya sangat sulit menahanmu untuk bisa terus bersamaku. Seakan kesalahanku adalah kesalahan fatal yang sulit dimaafkan," ucapnya lagi."Kamu harus tahu, selama aku mengenal perempuan, baru sama kamu aku seperti ini, memohon-mohon untuk bisa terus bersamamu. Hal itu nyaris tak pernah ku lakukan sewaktu masih lajang, bahkan kepada Putri pun juga tak pernah." Kini ganti Arka yang terisak. Ia benar-benar terluka oleh sebuah perpisahan andaikan itu terjadi."Sekarang terserah kamu. Tetapi untuk saat in
Tiba-tiba ponsel Luna berdering. Ia menarik paksa tubuhnya dari pangkuan Arka lali beranjak mengambil ponsel yang berada di atas nakas."Hallo, Abi?"Arka yang mendengar nama Abi hatinya tersulut emosi, tapi masih ia redam karena ingin mendengar apa yang mereka ucapkan, walau suara Abi tidak terdengar, tetapi paling enggak, ia bisa mendengar apa yang diucapkan istrinya itu."Apa? Ok lah, nanti aku ke sana. Bye." Luna menutup teleponnya, ada senyum yang tersungging di sudut bibirnya. "Kamu sering berhubungan dengan lelaki itu?" tanya Arka dan langsung mendekati istrinya. Terpancar kecemburuan yang coba disembunyikan dari wajahnya."Bukan urusanmu.""Aku suamimu.""Calon mantan suami," ketus Luna."Apa kamu mencintai lelaki itu?" tanya Arka. Luna merasa tersinggung dengan pertanyaan suaminya. Tanpa bertanya seperti itu, rasanya Arka sudah tahu jawabannya, saat ini hati dan juga cintanya hanya untuk suaminya. Mana ada ia mencintai lelaki lain."Itu hanya asumsimu saja," jawab Luna."Apa
Tanpa menunggu esok hari, malam ini Arka bergegas menuju rumah Luna.Mendengar Luna mengatakan rindu, seperti ada sebuah angin besar untuk Arka. Harapannya untuk bisa bersama dengan istrinya seperti terbuka lebar.Ia tak sabar untuk segera sampai ke rumah itu lalu memeluk istrinya dengan erat. Rindu ini sungguh menyiksa, apalagi pertemuan tadi sore tidak membuahkan hasil apa-apa, yang ada hatinya semakin panas.Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya Arka sampai di pelataran rumah Luna, setelah itu masuk dengan langkah tergesa-gesa karena tidak sabar ingin bertemu dengan istrinya."Arka," ucap Ibu mertuanya ketika membuka pintu.Malam ini ibunya belum tidur, ia masih berjibaku dengan pekerjaannya membuat kue untuk dititipkan ke warung terdekat.Bukannya ia hidup kekurangan, uang yang diberikan Luna setiap bulannya bisa dikatakan lebih dari cukup. Tetapi ia tidak bisa mengandalkan uang dari anaknya saja. Lagian, ia juga merasa jenuh karena tak ada kegiatan sama sekali.Du
Arka melihat tawa istrinya begitu lepas, hal yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ia menghela nafas dalam, lalu beranjak menghampiri Luna dan meninggalkan Eva dan Lea yang tengah asyik berbincang."Di sini kamu rupanya," ucap Arka dan kini ia duduk di samping istrinya. Luna menoleh sesaat lalu mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Kenapa nggak bilang kalau mau pergi?""Apa harus?" Luna balik bertanya.Arka menghela nafas panjang sekali lagi, ia menyadari kalau hatinya istrinya sedang tidak baik-baik saja, tetapi ia tidak tahu, faktor apa yang membuat istrinya kehilangan mood."Acaranya masih lama kah?" Arka mecoba mengajak istrinya berkomunikasi lagi."Kamu mau pulang?" tanya Luna. Arka mengangguk.Sebenarnya ia tidak masalah berlama-lama di sini, tetapi ketika melihat istrinya begitu akrab dengan lelaki itu, hatinya begitu panas. Jalan satu-satunya adalah mengajak istrinya pergi dari sini."Bi, aku balik dulu ya?" ucap Luna pada Abi karena saat ini, Abi adalah tuan rumah
"Kamu mau apa?" tanya Arka. Kini mereka tengah menikmati waktu berdua di luar.Malam ini tak seperti malam sebelumnya, langit cerah disertai adanya bulan sabit dan bintang, menambah suasana malam begitu indah. "Nggak pengen apa-apa. Cuma ingin tenang saja," jawab Luna sambil menatap ke depan. Posisi mereka berada di dalam mobil. Arka sengaja membawa istrinya jalan-jalan malam, hal yang dulunya sangat jarang ia lakukan karena terkendala pekerjaan.Apalagi beberapa waktu terakhir ini mereka berdua terkena konflik, maka aktivitas ini tidak pernah mereka lakukan."Kok kelihatan murung gitu?" ucap Arka sambil menatap istrinya."Aku teringat anak kita yang udah nggak ada."Arka tak bisa berkata-kata lagi kalau menyangkut anaknya. Ia begitu sangat menyesal. Apalagi kata Dokter, Luna tidak diperbolehkan untuk hamil dalam waktu dekat ini."Maaf, ya?" ucap Arka sambil menggenggam jemari istrinya."Untuk apa?""Karena waktu itu aku nggak ada di sampingmu," jawab Arka."Nggak usah diingat. Aku