Bab 15POV SyntiaAku yang tadi pulang kantor dengan perasaan kesal yang memuncak, karena di pecat secara tidak hormat oleh sahabatku yang sok kaya itu. Di tambah lagi dengan Mas Ryan yang hanya diam terpaku tak berniat mengejar atau mengantarku pulang dengan se-kardus barang bawaan ku dari meja kerja yang takkan ku tempati lagi.Sakit hatiku dianggap sampah oleh Alexa. Membuat aku takkan pernah menganggapnya sahabat lagi. Padahal yang namanya sahabat kan harus saling berbagi, wajarkan kalau aku meminta cintanya Ryan sedikit saja untukku. Kenapa malah si Alexa itu terima. Dasar serakah.Padahal ia sudah memiliki segalanya, harta melimpah, anak yang lucu dan suami yang tampan. Bolehlah aku ingin memiliki sedikit saja dari yang ia miliki.Disaat pikiran yang sedang berkecamuk, hati yang panas, memikirkan bagaimana hidupku kedepan bila tak lagi bekerja. Aku terus berpikir bagaimana caranya aku agar bisa menguasai dan mendapatkan apa yang dimiliki Alexa. Terutama cinta Ryan seutuhnya. T
"Alexa, sidang perceraian pertama Minggu depan ya, Om akan dampingi kamu, Apa kamu sudah siap?" Ucap Om Wijaya dalam ruang kerjaku."Beneran, Om. Secepat itu!" Tanyaku masih tak percaya."Iya, kenapa? Apa kamu belum yakin akan keputusanmu?" Tanya Om Wijaya menyelidik.Ya, semua bukti dan berkas perceraian sudah ku serahkan semua pada Om Wijaya. Ia selalu membuat ku bangga karena selalu bergerak cepat tiap menjalankan tugasnya. Nggak heran ia selalu menjadi orang kebanggaan Papa saat beliau masih hidup.Cara kerja Om Wijaya yang profesional dan lihai, membuat sepak terjangnya tak lagi bisa dipandang sebelah mata.Aku menarik napas panjang. Jantungku sedikit berdebar lebih cepat. Tak terasa status baru akan ku sandang beberapa bulan kedepan."Ale siap Om. Tak ada istilah mundur setelah maju kedepan," ucapku mantap."Soal hak asuh Anggia, apakah aman Om, aku sedikit merasa takut bila ia menuntut hak asuh anakku," ujarku lagi sedikit merasa gelisah."Tenang, bagaimanapun, anak di bawah li
Pagi ini, tubuhku terasa kurang enak, sekujur badan terasa sakit semua. Kepalaku terasa berat dan tubuh mendingin. Membuatku tak sanggup membuka mata yang terasa berat.Saat seperti inilah yang membuatku terasa rapuh, merasa tak memiliki siapapun. Sentuhan tangan Anggia yang menyentuh pipiku, membuatku tersadar kalau masih ada malaikat kecil yang memmbutuhkanku dan satu-satunya yang menjadi kekuatanku.Saat kedua netra ku paksa membuka ternyata bukan cuma Anggia beserta baby sisternya Nia, Siti, Yana dan juga Razka.Nyawaku yang masih belum seutuhnya sadar, seperti melihat sosok yang akhir-akhir ini mondar mandir keluar masuk ruanganku kini seperti di depan mata.Aku mengucek kedua bola mata dengan sesekali berkedip-kedip. Memastikan penglihatanku saat ini."Razka? Kenapa laki-laki itu ada di sini? Inikan kamarku," batinku.Tangan kecil Anggia yang menepuk pipiku kembali membuat aku tersadar dan berusaha duduk di ranjang sambil bersandar.Aku berusaha meraih Anggia, namun lagi-lagi ke
PoV Razka Satu hari sebelum penentuan siapa pengganti Sintya yang kabarnya akan dipilih langsung oleh pemilik perusahaan, Alexa Wardana."Bagaimana dengan Alexa, Pa? Apa Papa yakin ia akan memilihku sebagai tangan kanannya?" Tanyaku bimbang."Jangan khawatir, Alexa bukanlah perempuan bodoh. Ia takkan pernah mau jatuh ke lubang yang sama dua kali. Kau cukup jadi dirimu sendiri, Nak." Jawab sang Papa bijak."Bukannya selama ini kontribusi dan kemampuanmu untuk memajukan perusahaan itu terlihat nyata. Kau bersungguh-sungguh melakukannya, dasar cinta atau hanya kebetulan saja?" Tanya lelaki paruh baya itu lagi.Aku hanya bisa menarik napas panjang. Yang di katakan Papa benar adanya. Aku bekerja maksimal untuk terus memajukan perusahaan itu dengan ide-ide cemerlang yang ku punya. Sama seperti aku memajukan perusahaanku, meski dari belakang layar. Lubuk hatiku paling dalam, memang menyimpan rasa untuk wanita bernama Alexa itu. Walau sempat patah hati karena ia milih pria lain saat itu.
POV RyanAku yang sudah bangun sejam yang lalu kini sedang di landa kekesalan. Pasalnya dari tadi aku berusaha membangunkan Sintya, untuk memintanya membuatkan secangkir kopi, tapi wanita itu belum juga bangkit dari peraduannya."Ayolah, sayang. Mulutku sudah pahit kepingin minum kopi dari tadi," ucapku menggoyangkan bahu istri sirihku ini.Sintya menggeliat dan membuka matanya pelan. "Aku lagi hamil, Mas. Buat sendiri sana," tolaknya lalu melanjutkan kembali tidurnya.Menarik selimutnya hingga ke dada dan membalikkan badan membelakangiku. Membuat aku menarik napas panjang dan mendengus kesal.Tapi kali ini, aku mencoba mengerti. Mungkin Sintya terlalu lelah karena resepsi pernikahan kemaren. Aku bangkit dan membiarkannya melanjutkan tidurnya, mungkin sebentar lagi ia akan bangun untuk membuatkan sarapan atau makan siang kami nantinya.Pintu kamar ku buka dan keluar langsung menuju dapur. Membuat sendiri kopi untuk pertama kali. Aku tak lagi canggung di rumah ini, rumah cluster de
POV SintyaSungguh aku kesal saat laki-laki yang ku cintai itu membangunkan ku hanya karena sampah. Tepatnya karena uang sampah yang di berikan pada Paman Daniel ternyata malah masuk ke saku celana pamanku itu. Sementara orang yang membersihkan halaman rumahku akhirnya di cari sendiri oleh suamiku yang baru kemaren sah dalam agama. Jangan ditanya gimana rasa tubuhku hari ini setelah menjadi ratu sehari. Capek, pegel dan terasa baru di gebukin maling saking capeknya.Tapi suamiku itu, tak membiarkanku ngebangkong pagi ini. Dengan terpaksa aku bangun dengan sedikit ngelindur. Tanpa sadar, air liurku rupanya sudah penuh membasahi pipi dan bantal yang ku gunakan tadi. Segera aku bangkit dari ranjang, menghubungi Paman Daniel yang entah dimana keberadaannya sekarang. Tapi panggilanku sama sekali tak dijawabnya. Tiga kali aku mengulangi panggilan ponselnya, tapi tetap tak ada jawaban. Membuatku putus asa dan memilih meletakkan kembali benda pipih itu di meja rias. Pantulan wajahku di cerm
"Besok jangan sampai telat datang ke persidangan tepat waktu. Om tunggu kamu disana," ucap Om Wijaya dari sambungan telepon yang masih menempel di telingaku."Iya, Om. Insyaallah aku sudah siap.""Yakin kondisimu sudah prima. Apa perlu Om minta undur jadwal persidangan?" "Sudah Om. Cukuplah hari ini aku istirahat. Untuk sidangnya jangan di undur. Aku pastikan aku fit esok hari. Lagipula si Razka itu seperti mengawasi ku untuk minum obat! Seperti ada CCTV saja di dekatku. Tiap sebentar dia memastikan ku makan yang banyak dan meminum obat serta vitamin tepat waktu. Dia pikir dirinya siapa," omel ku yang tak seharusnya pria di telepon itu tahu."Baguslah! Setidaknya ia wakil yang merangkap asisten pribadimu. Tak ada salahnya bukan? Berarti dia laki-laki yang bisa diandalkan," jawab Om Wijaya seolah mendukung laki-lai bernama Razka itu."Kenapa Om malah mendukung perbuatannya. Menyebalkan!" Ucapku kesal.Ku dengar tawa dari balik ponsel pintar ku. Tak biasanya Om Wijaya seperti itu. Apa
Kepalaku berdenyut, memejamkan mata dan menghempaskan tubuhku disofa.Kejadian barusan sempat menguras emosiku sesaat.Ya, tadi pagi om Wijaya memang sempat mengabarkan kalau sudah dipastikan surat pengadilan agama sudah diterima Ryan. Dan lelaki kepercayaan orang tuaku itu tadi juga mengatakan kalau aku harus bersiap-siap menerima kedatangan lelaki yang akan mengusik ketenangan ku. Ternyata prakiraan dia benar.Lelaki itu berhasil merusak moodku hari ini. "Saya buatkan teh hangat, Bu," ucap Yana yang melihatku menenangkan diri."Ya, boleh. Terima kasih."Yana beranjak dari tempatnya menuju dapur, tak lama secangkir teh disuguhkan bersama cemilan."Perlu saya pijat, Bu. Muka Anda terlihat pucat," tuturnya yang masih berdiri di hadapanku."Tidak. Terima kasih. Kamu boleh kebelakang," pintaku. Ya, saat ini aku sedang ingin sendiri. Menormalkan hati dan pikiran sesaat. Suara tangis Anggia yang mendekat kearahku menyadarkan lamunanku. Pusing yang tadi melanda ku abaikan sesaat. Menyambu