"Ada apa, Delima?" tanya Mas Deni kemudian. Aku kembali melirik Mama yang senyum-senyum sendiri. Sepertinya Mama memang sengaja ingin mengerjaiku."Itu, Mas. Anu." "Anu lagi?" Mama menahan tawa mendengar ucapan Mas Deni.Sudah kebiasaan bagiku dan juga sebagian orang mengucapkan kata itu disaat gugup. Mungkin terdengar lucu dan aneh bagi mereka. Tapi yang namanya kebiasaan, memang sulit untuk dihilangkan."Itu, Mas. Delima mau nanya, Pak pengacara ada ngubungin Mas, belum?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraanku dengan Mama tadi."Dih, yang udah nggak sabar pengen cerai." Mama lagi-lagi meledekku. Padahal yang mau bercerai itu anaknya sendiri. Bukannya merasa prihatin, malah kelihatan senang sekali."Atau, jangan-jangan Delima pengen ngebatalin, Bulek." Mas Deni ikut-ikutan."Eh, enggak kok, Mas. Delima masih tetap mau lanjut kok." Aku merasa salah tingkah."Beneran?""Iya. Malah kalau bisa lebih cepat.""Bisa kok.""Nggak bisa, Mas. Delima udah periksa google tadi. Banyak sekali pros
Hari ini aku mendapat izin dari Mama untuk pergi bersama Mas Deni melihat toko. Mas Deni katanya ingin memberikanku pekerjaan. Mama sudah tak lagi keberatan. Asal aku berjanji tetap tinggal bersamanya.Mungkin dia juga merasa kesepian. Dua anak perempuannya memilih untuk ikut dengan suami masing-masing. Bahkan Lara, adik bungsu Mas Raka sudah tinggal terpisah sejak sebelum menikah.Kata Bik Inah, dia mendapatkan pekerjaan di luar kota, hingga baru memutuskan berhenti setelah ingin menikah. Untung dia mendapatkan jodoh masih dari kota asalnya, hingga Mama bisa sering-sering berkunjung tanpa harus ke luar kota.Begitu juga dengan Mbak Dian. Setelah berpulangnya Almarhum suami Mama, Mbak Dian lah yang sibuk mengurus perusahaan. Saat itu Mas Raka masih kuliah. Hingga Mbak Dian tak punya banyak waktu lagi di rumah.Untuk itulah aku juga harus memikirkan perasaan Mama. Mama sudah menganggapku seperti anak perempuannya sendiri. Bukan lagi menantu yang sebentar lagi akan bercerai dari putrany
"Aneh-aneh saja sikap Mas Deni ini. Masa begini aja dibilang pekerjaan. Pakai upah segala. Harusnya kalau cuman begini, Delima yang bayarin Mas Deni, karena udah ngajak Delima keliling kota.""Ya udah. Kamu yang bayar. Mana?" tanyanya lagi sambil menjulurkan telapak tangan. Aku tercengang. Padahal aku hanya berbasa-basi. Tapi kalau dia tetap mau dibayar, ya mau bagaimana lagi."Berapa, Mas?"Mas Deni menaikkan bola matanya, memikirkan sesuatu. Untung uang yang diberikan Mas Raka masih banyak. Kemarin saat ingin kukembalikan, dengan keras dia menolaknya. Katanya sudah ikhlas dan memang sudah menjadi hakku sebagai istrinya. Padahal aku sama sekali tak ada melaksanakan kewajibanku sebagai istri."Berapa apanya?""Bayarannya.""Mas nggak mau dibayar pake uang.""Terus? Pake apa?""Temenin Mas makan. Titik. Nggak pake nawar."Lho, terus apa bedanya dengan upah yang mau dia kasi tadi? Makin aneh saja sikapnya hari ini..Kami tiba di restoran yang tak jauh dari toko Mas Deni. Tempatnya juga
Mama kembali cuek, tak ingin melihat wajah Mas Raka. Menyerahkan semua urusan pada Mas Deni. Usai insiden pemukulan yang dilakukan Mas Raka waktu itu, Mas Deni langsung melakukan visum untuk membuat laporan.Mama terpaksa menyetujui cara itu. Mas Raka tak akan mungkin mau di penjara. Selain merusak reputasi, dia juga tak mungkin membiarkan Mbak Silvi ditinggal sendirian dalam keadaan hamil saat ini. Sebenarnya, ini hanya inisiatif dari Mas Deni saja. Tak ada niat untuk memperkarakan hal sekecil itu. Namun, saat itu terlintas ide untuk mengancam Mas Raka. Agar mau tidak mau, Mas Raka harus menuruti apa pun keinginan Mas Deni sebagai syarat agar Mas Deni mencabut laporannya. Dan tentu saja syarat tersebut adalah menjatuhkan talak padaku.Dengan begitu, putuslah sudah ikatan kami sebagai suami istri secara agama. Tak ada kewajiban atau dosaku lagi untuk tak menuruti apa pun keinginannya. "Itu syarat dariku, Ka. Aku akan mencabut laporan asal kamu menceraikan Delima saat ini juga." Mas
Aku segera menunduk. Kini pipiku telah basah oleh air mata menyaksikan semua ini. Aku bahkan tak tahu apa yang membuatku menangis saat ini. Pengakuan Mas Deni, perasaan Mas Raka, ataukah alasan Mbak Silvi sebenarnya kenapa sampai memilihku.Mungkin benar, karena aku hanya orang kampung dengan latar pendidikan yang begitu rendah. Bisa diatur dan dikendalikan sesuka hati. Sama sekali tak bisa melawan karena tak punya apa-apa, dan tak bisa apa-apa.Hanya bisa bergantung pada mereka. Bahkan, hanya untuk membiayai kehidupan keluargaku di kampung, hanya berharap belas kasih dari mereka."Dek, maafin kesalahan Mas selama ini, ya? Mas janji akan berbuat adil dan membahagiakan kamu. Tawaran Mas masih tetap berlaku. Kita cari rumah baru atas nama kamu, dan kita jemput Bue sama Sidik untuk tinggal bersama. Kamu mau kan, Dek?"Aku semakin sesenggukan, lalu menggeleng tanpa bersuara. Tenggorokanku rasa tercekat. Seperti tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun."Dek....""Cukup, Raka." Mama kembali
Aku dan Mas Raka kini saling menatap. Apa yang akan terjadi jika aku tak memenuhi permintaannya? Apa dia akan mengurungkan niatannya tadi?Ternyata, berbicara dengan Mas Raka tidaklah sesulit yang aku bayangkan. Mas Raka begitu lembut bertutur menyahuti semua ucapanku. Hanya, selama ini aku begitu ketakutan dan bertingkah kasar, hingga membuat dia emosi dan merasa tidak dihargai.Lalu apa ini? Dia mau menuruti semua permintaanku. Meski harus dengan syarat. Di mana dia akan melakukannya? Di sini? Di depan Mama dan juga Mas Deni? Apa tak mengapa mereka menyaksikan adegan ini?Lalu, di bagian mana Mas Raka akan menciumku? Di pipi? Kening, atau di bibir? Hal yang belum pernah kami lakukan sebelumnya? Sanggupkah aku menerima permohonan terakhir dari laki-laki yang masih sah menjadi suamiku ini?"Boleh, Dek?" Dia mengulangi pertanyaan itu. Menandakan dia benar-benar meminta izin, dan tak berniat memaksa seperti waktu itu.Aku kembali menunduk dalam tangisan. Sama sekali tak berani menoleh k
"Maafin Delima ya, Ma. Delima udah bikin kecewa semua orang," jawabku."Enggak, Delima. Bukannya dari awal kita sudah membahas hal ini? Kamu lihat sendiri, bahkan Raka tidak sampai hati marah sama kamu. Apalagi sampai membenci kamu. Jadi, kenapa kamu harus kembali merasa bersalah? Semuanya akan membaik seperti sedia kala.""Mama nggak marah sama Delima?" "Kenapa Mama harus marah?""Nggak tau kenapa, Delima udah merasa nggak layak lagi tinggal di sini. Delima....""Kamu masih tetap anak Mama, Delima!" sela Mama. Air mataku kembali mengalir. Lalu Mama menarikku dalam pelukan."Mama mengerti apa yang kamu rasakan saat ini, Delima. Terlepas bagaimanapun perasaan kamu pada Raka, tetap kamu pasti akan merasa kehilangan pasca perceraian. Merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri kamu. Benar, kan?" Aku mengangguk."Itu yang membuat Mama sayang sama kamu. Kamu masih punya hati untuk tak langsung melupakan anak Mama begitu saja. Tak langsung berpaling pada laki-laki lain hanya karena sudah mer
Aku jadi gugup mendengar pertanyaannya. Tak menyangka kalau Mas Deni masih ada di rumah saat ini. Rona wajahnya tampak bahagia menyambut kedatangan kami."Eh, Mas Deni di rumah," sapa Bik Inah. "Bibik mau beres-beres, Mas. Mbak Delima juga mau ikut katanya.""Oh, iya, Bik. Masuk aja, Bik."Bik Inah segera masuk, aku sedikit menunduk memberi hormat pada empunya rumah, lalu mengikuti langkah Bik Inah untuk masuk ke dalam."Hem, Delima!" Langkahku terhenti sebelum melewati Mas Deni yang masih berdiri di ambang pintu."Iya, Mas?" jawabku semakin gugup."Gimana kabar kamu?" Dia bertanya seperti kami tinggal berjauhan saja."Delima baik-baik aja, Mas.""Udah lebih tenang?""Iya, Mas. Makasih ya, atas perhatiannya.""Iya, Mas jadi khawatir karena kamu ngurung diri terus.""Iya, maaf. Udah buat Mas khawatir.""Oh, iya. Kamu ke sini untuk...." Mas Deni menggantung ucapannya."Delima mau bantuin Bik Inah, Mas. Nggak boleh, ya?""Eh, bukan, bukan. Boleh, kok. Mau datang kapan aja boleh. Mas mal