Aku begitu terkejut mendengar ucapan Mama. Tiba-tiba saja timbul rasa bersalah di hatiku. Aku tak dapat lagi menahan air mata, membayangkan bagaimana perasaan Mbak Silvi saat ini. Apa lagi yang sedang terjadi pada mereka?Terakhir kali saat masuk rumah sakit, Mbak Silvi dan Mas Raka bertengkar hebat. Apa kali ini terjadi lagi? Atau jangan-jangan Mas Raka masih menyalahkan Mbak Silvi atas perceraian kami? Atau malah membahas lagi soal utang piutang itu?Aku langsung masuk dan bersiap-siap. Rasanya baru saja aku ingin mulai menenangkan diri dari semua masalah. Baru sebentar saja aku dapat merasakan kebahagiaan bersama laki-laki yang aku sukai. Tapi tiba-tiba saja mendapatkan berita duka seperti ini. Wajah Mama tampak pucat. Mama juga pasti merasa sangat terpukul. Meski anak Mbak Silvi bukanlah cucu pertama yang paling dinanti, tapi hati Mama juga pasti merasa sangat sakit. Terlepas dari hal-hal yang sudah membuatnya marah, namun tampak jelas bahwa dia begitu menyayangi menantu wanita s
Bukannya aku tak punya perasaan, hanya saja aku lebih mementingkan pekerjaan dan menjaga Bue saja. Saat laki-laki itu berpaling, dan memacari wanita lain, aku cemburu. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Marah pun tidak boleh. Takut ditertawakan karena merasa aku bukan siapa-siapanya. Begitu juga dengan Mas Raka. Sempat merasa cemburu dan perih di hati ini saat melihat dia bermesraan dengan Mbak Silvi. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan menahan perasaan seorang diri."Cemburu sama siapa? Sama Raka?" Mas Deni langsung menebak. Mukanya kembali cemberut."Bukan, bukan." Sanggahku cepat."Terus? Emang kamu pernah cemburu sama laki-laki lain?" Aku mengangguk. Dia semakin merengut."Siapa?""Anu, itu.""Kan, anu-anuan lagi.""Anu, Mas. Itu. Wanita cantik yang jagain tokonya Mas Deni. Suka curi-curi pandang sama Mas Deni. Mas Deni pacaran sama dia, ya?"Akhirnya bisa juga kuutarakan perasaanku padanya. Saat aku diajak ke kantornya waktu itu, ada seorang gadis yang terus memandang ke arah kami. Ak
"Mbak. Delima mau jujur sama Mbak. Sekali pun, Delima belum pernah tidur dengan Mas Raka." Aku berucap tegas. Mbak Silvi tampak terkejut."Jangan bohong, Delima. Mbak nggak akan marah atau merasa cemburu lagi sama kamu. Saat Mbak nyuruh Mas Raka untuk tidur di kamar kamu, Mbak ikhlas. Karena itu hak kalian sebagai suami istri. Dan kamu lihat sendiri, setiap malam Mas Raka tidur di kamar kamu.""Enggak, Mbak. Mas Raka tidur di ruang tamu.""Di ruang tamu?" Mbak Silvi menatapku tak percaya. "Kenapa?"Ingin sekali rasanya aku menceritakan tentang kejadian waktu itu. Namun aku tak mau Mbak Silvi semakin sedih dan frustasi karena sudah jauh-jauh hari aku mengetahui rencana jahatnya waktu itu. Juga tentang pengakuan Mas Raka bahwa dia sudah jatuh cinta padaku."Delima nggak sanggup menghianati Mbak Silvi." Hanya itu yang bisa kujawab atas keraguannya."Tidak, Delima. Kamu pasti bohong hanya untuk menyenangkan hati Mbak aja, kan? Nggak mungkin kalian tidur terpisah. Dan nggak mungkin Mas Rak
Tapi begitu usulan itu diucapkan Mama, Mbak Silvi menolak. Tak ingin berpisah dari Mas Raka, meski hanya sementara. Akhirnya Mama mengalah, asal ada yang menemani Mbak Silvi.Aku juga menceritakan tentang ketakutan Mbak Silvi yang tidak masuk akal tadi. Itu mungkin hanya halusinasinya saja. Mana mungkin wanita bernama Indah itu tega membunuh suaminya sendiri, apa lagi sampai membuat Mbak Silvi keguguran."Apa mungkin sekarang Mbak Silvi mengalami gangguan mental ya, Mas?" tanyaku pada Mas Deni, saat mobil sedang melaju."Ya, mungkin aja. Sejak awal menyuruh suaminya untuk menikah lagi pun, Mas pikir bukan hal yang wajar.""Iya, benar. Seperti terburu-buru dan memaksakan. Aneh ya, Mas?""Lebih aneh lagi yang nerima lamaran. Mau aja dijadiin istri kedua," sindirnya."Dih, Mas Deni. Kan waktu itu Delima nggak punya pilihan.""Makanya kalau butuh uang bilang sama Mas. Mas kalau nolong nggak minta pamrih.""Kita kan belum kenal, Mas.""Oh, iya juga ya.""Ish. Mas Deni. Delima lagi serius j
Aku membaringkan diri di kamar. Usai mengantarku, Mas Deni langsung pulang. Aku pun belum jadi mengatakan bahwasanya aku masih gadis, seperti wanita yang belum menikah. Lain kali saja kutanyakan pada Bik Inah bagaimana cara memulainya.Baru saja mataku akan terlelap, ponselku berdering lagi. Padahal baru selesai ngobrol dengan Mas Deni. Apa mungkin dia ingin menyambung obrolan tadi? Aku meraih ponsel di atas nakas. Lalu menatap nama siapa yang ada di sana.Mas Raka? Malam-malam begini? Mau apa dia? Kalau terjadi apa-apa pada Mbak Silvi, bukankah sudah ada Mama di sana. Karena penasaran aku pun menjawab panggilannya."Dek?" Mas Raka cepat menyapa saat aku menggeser layar menerima panggilan."I-iya, Mas. Ada apa?" Terus terang aku masih gugup jika berbicara dengannya."Kamu belum tidur?""Ini baru mau tidur, Mas.""Ini sudah hampir tengah malam, Dek. Kenapa hape kamu dari tadi online terus?"Eh, rupanya Mas Raka juga memperhatikan profil akun whatsappku. "Oh, iya, Mas. Delima habis nel
"Soal Mbak Indah. Mas Raka... apa selama ini masih menjalin hubungan sama dia?""Ngawur! Pasti Mbakmu cerita yang macem-macem, kan. Dia selalu saja nuduh Mas seperti itu. Pulang telat dikit, dibilang selingkuh. Mas mau carikan pembantu, dia bilang hanya alasan Mas biar bisa masukin perempuan lain ke dalam rumah. Setiap Mas ngerjain pekerjaan rumah sendiri, dia bilang Mas udah nggak nganggap dia lagi. Serba salah, Dek. Mas capek." Dia terdengar sedang menghela napas.Benarkah yang Mas Raka katakan itu? Atau ini hanya alasannya saja? Kalau memang semua yang dia katakan benar, berarti Mbak Silvi benar-benar butuh bantuan. "Mas Raka yang sabar, ya. Mas Raka juga harus ngertiin Mbak Silvi. Dia hanya merasa tertekan, Mas. Kasihan juga Mbak Silvi.""Lalu kamu nggak merasa kasihan sama, Mas?""Mas. Ikhlasin semuanya, ya? Pasti ada hikmah di balik semua ini. Delima yakin, Mbak Silvi akan segera pulih, dan bisa kembali seperti sedia kala. Mas Raka yang sabar ya.""Nyaman banget bicara sama kam
Tiba-tiba saja jantungku kembali berdegup tak beraturan. Rasa panas menjalar di sekitar wajahku. Mungkin warnanya kini sudah memerah. Aku mengulum senyum mendengar bisikan dari Mas Deni."Emang Mas Deni mau ngapain?" "Maunya gimana?""Dih, nanyak. Delima mana tau.""Beneran kamu nggak takut sama Mas?""Enggak.""Tapi di rumah cuman ada kita berdua lho.""Biarin.""Hem. Nantangin, ya?" Dia mencubit kecil ujung telingaku."Dih. Siapa yang nantangin? Delima cuman percaya aja sama Mas Deni. Makanya Delima nggak takut.""Terus, kenapa takut sama Raka?""Anu, itu, Delima....""Kamu kenapa? Bukannya waktu itu Raka masih jadi suami kamu? Kanapa takut? Memangnya apa yang dilakukan Raka? Apa dia pernah bersikap kasar, atau bahkan memukul kamu?" Aku menggeleng pelan."Terus? Kenapa sampai nggak mau tinggal berdua sama Raka?""Karena... waktu itu Mas Raka meminta haknya sebagai suami sama Delima." Aku meremas jemariku sembari melirik wajah Mas Deni. Wajahnya tampak kecewa. Dia pasti merasa cemb
Ternyata kehamilannya itu yang membuat dia lemah selama ini. Dia tersenyum menyambut kedatanganku. "Mbak udah sehat?" tanyaku, turut merasakan kebahagiaan."Iya, Delima. Mbak pulih lebih cepat.""Nah, gitu dong. Kalau begini kan, Delima dan Mama bisa jadi lebih tenang. Iya kan, Ma?" Aku tersenyum pada Mama. Mama mengangguk."Kalian habis dari mana?" tanya Mama."Dari rumah, Bulek," sahut Mas Deni. "Sengaja mau nemuin Bulek di sini.""Kayak Bulek nggak pulang-pulang aja," seloroh Mama. "Memangnya ada perlu apa kamu sama Bulek?""Begini, Bulek. Deni mau minta sesuatu sama Bulek.""Minta apa, Den?""Deni mau melamar Delima, Bulek. Jadi, Deni minta, Bulek jangan jodohin Delima sama orang lain. Deni dan Delima saling mencintai. Iya kan, Sayang?" Mas Deni seperti anak kecil, memintaku untuk membenarkan ucapannya di hadapan Mama.Aku dan Mama saling menoleh dan tertawa kecil. Membiarkan Mas Deni sibuk dengan ketakutannya sendiri. Kurasa Mas Deni juga tidak menyadari tentang hal itu. Padahal