Abi demam tinggi malam itu. Tubuh mungilnya menggigil meski sudah diselimuti rapat-rapat. Bima panik. Ia mondar-mandir di kamar, tak tahu harus melakukan apa. Tangan gemetar saat menyentuh kening Abi yang panas membara. Nafas anak itu terdengar berat, diselingi isakan kecil yang membuat dada Bima seperti diremas."Abi... bangun, Nak..." suara Bima bergetar, mencoba membangunkan Abi yang matanya terpejam namun gelisah. Tak ada jawaban. Panik sepenuhnya menguasainya.Tanpa pikir panjang, Bima menggendong Abi dan berlari menuju mobil. Tengah malam, hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Tapi dia tak peduli. Hanya ada satu hal dalam pikirannya: selamatkan Abi.Sesampainya di rumah sakit, Bima nyaris menjatuhkan kunci mobil saat turun. Suster langsung menyambut dan membawa Abi ke ruang observasi. Bima mengejar, tak peduli dengan prosedur atau administrasi.Waktu terasa begitu lambat. Dia duduk di ruang tunggu dengan tangan mencengkeram ujung kursi. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya, dia be
Langit mendung menggantung rendah ketika Maya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dingin. Bau logam dan lembab menyambutnya, seolah penjara itu tidak hanya mengurung tubuh manusia, tetapi juga menyimpan semua sisa dosa yang tak pernah sempat ditebus. Petugas mengantar Maya tanpa banyak kata. Di wajah wanita itu tak ada senyum, hanya ekspresi datar—dingin seperti batu nisan.Di balik dinding kaca dan jeruji, Nina duduk membungkuk, tubuhnya tampak lebih kecil daripada terakhir kali Maya melihatnya. Wajahnya pucat dengan luka memar masih membekas di pelipis. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, tapi berubah tegang saat menyadari siapa yang berdiri di seberang kaca.Maya duduk perlahan. Ia tidak mengucapkan salam. Tidak menanyakan kabar. Hanya menatap Nina seperti seseorang memandangi bangkai hewan di pinggir jalan—penuh jijik, tapi tidak cukup penting untuk ditangisi.“Kau kelihatan seperti bayangan dirimu sendiri,” ucap Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh ironi.Nina
Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.