Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.
Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.
“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.
Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.
“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?”
Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.
Maya keluar dari dapur dengan nampan berisi minuman. “Selamat datang, semuanya,” katanya, mencoba terdengar ramah.
Sulastri langsung menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu sibuk di dapur? Baguslah. Setidaknya kamu punya kesibukan,”
Maya menelan ludah, memilih untuk tidak membalas komentar itu. Dia hanya meletakkan minuman di meja dan kembali ke dapur untuk mengambil makanan.
Makan malam dimulai. Dan Maya duduk di sebelah Bima, mendengarkan percakapan yang didominasi oleh Harjono dan Raka tentang bisnis. Bima dengan penuh semangat, menceritakan bagaimana perusahaannya hampir bangkrut tetapi akhirnya terselamatkan.
“Semua ini berkat Maya,” kata Bima sambil tersenyum pada istrinya. “Dia rela menjual tanah warisan keluarganya demi menyelamatkan perusahaan. Aku benar-benar beruntung punya istri seperti dia,”
Maya merasa wajahnya memerah mendengar pujian itu. Sementara Bima menggenggam erat satu sisi tangan Maya yang ada di sebelahnya.
“Ya, beruntung sekali, Mas Bima,” kata Vina. “Tidak semua istri mau berkorban begitu banyak untuk suaminya. Tapi, itu memang tugas seorang istri, kan?” Ada nada menyindir dari ucapannya.
“Tapi tetap saja, Maya. Jangan terlalu bangga dulu,” Sulastri ikut menambahkan. “Menjual tanah itu keputusan yang baik, tapi kalau dari awal kamu mau lebih perhatian ke bisnis Bima, mungkin situasi ini tidak akan terjadi,”
Maya terdiam. Sulastri bahkan tidak menatapnya saat mengucapkan kata-kata itu, seolah Maya tidak cukup penting untuk diberi perhatian.
Harjono hanya mengangguk sambil memotong makanannya. “Yang penting perusahaan Bima sekarang sudah stabil. Tapi ingat, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Jangan sampai ini terulang lagi,” katanya.
“Ya, ya, tentu. Kita akan bekerja lebih keras,” balas Bima dengan senyum lebar. Dia menoleh ke arah Maya untuk menularkan senyum itu. Sama sekali tidak peka dengan perasaan Maya.
Maya menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Pengorbanannya—sekali lagi tidak dihargai.
Setelah makan malam, Maya membersihkan meja sambil mendengar suara tawa dari ruang tamu, tempat keluarga Bima berbincang santai. Mereka tampak begitu nyaman, seolah dia hanya pelayan yang tidak penting. Bahkan Vina—sesama menantu tidak merasa punya kewajiban untuk membantu Maya.
Ketika akhirnya keluarganya pulang, Maya duduk di meja makan. Memandang piring-piring kotor dan gelas-gelas kosong di hadapannya. Tatapannya pias.
Bima masuk ke dapur. “Terima kasih sudah menyiapkan semuanya, Sayang. Aku yakin mereka senang,”
Maya menatap suaminya dengan mata yang penuh luka. “Bim, kenapa sikap orang tuamu selalu dingin padaku?” tanyanya.
Bima seketika mengerutkan kening. “Dingin bagaimana maksudmu?”
“Kamu masih ingat kejadian saat makan malam tadi, kan? Perkataan ibumu, semuanya,”
Bima menghela napas panjang. Kemudian meneguk segelas air putih yang baru saja dia ambil dari dalam kulkas.
“Kamu yang terlalu sensitif, May. Orang tuaku senang, tidak ada yang bersikap dingin padamu! Jangan berlebihan,” kilah Bima. “Kamu itu kalau sudah terlanjur benci, kamu akan benci seterusnya,”
Maya sudah membuka mulut hendak membela diri. Namun Bima mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, melarang Maya untuk bicara.
“Aku capek, May. Kalau kamu hanya ingin mengajakku berdebat, lebih baik aku istirahat!” seru Bima. Dia berlalu pergi begitu saja.
***
Beberapa bulan setelah tanah warisan Maya dijual, perusahaan Bima mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Maya memperhatikan perubahan itu dari detail kecil yang selalu Bima tampakkan padanya. Bima beberapa bulan sebelumnya selalu pulang dengan wajah lesu dan gelisah, kini mulai tampak lebih ceria. Senyumnya lebih sering menghiasi wajah, dan dia terlihat lebih percaya diri saat berbicara tentang bisnis.
“Perusahaan sudah mulai stabil,” kata Bima suatu malam saat makan malam bersama Maya. “Bahkan, ada investor baru yang tertarik. Kalau semua berjalan lancar, kita bisa melunasi utang-utang dalam waktu dekat,”
Maya tersenyum mendengar kabar itu. Dia benar-benar tulus berharap yang terbaik untuk suaminya.
Namun, seiring waktu janji-janji Bima untuk selalu melibatkan Maya terasa semakin jauh dari kenyataan. Bima mulai sibuk dengan pertemuan-pertemuan bisnis, menghadiri acara-acara eksklusif yang sebelumnya tidak mungkin dia datangi. Tapi tak sekalipun Bima mengajak Maya, meskipun sekadar sebagai pendamping.
“Aku dengar perusahaanmu sekarang sudah mulai berkembang pesat,” ucap Maya ketika mereka istirahat berdua di depan ruang televisi.
Bima yang sedang memeriksa dokumen di laptopnya menoleh sekilas. “Ini semua berkat kamu, Maya,”
Maya tersenyum. Namun senyum itu nampak begitu kecut. “Tapi … kenapa kamu tidak pernah mengajakku datang saat acara makan malam atau apapun yang butuh dampingan istri?”
Bima menghela napas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah-olah tengah berusaha mencari kata-kata yang tepat.
“Maya … kenapa kamu selalu mempermasalahkan hal kecil?” tanya Bima dengan nada pelan. “Aku berusaha membangun citraku di depan para investor,”
Maya mengerutkan kening. “Apa susahnya? Hanya mendampingi, Bima. Apa kamu tidak ingin menunjukkan siapa istrimu kepada rekan-rekan kerjamu?”
Sambil mencengkeram kepalanya, Bima menghela napas lagi. “Baik, baik. Aku akan mengajakmu makan malam di restoran besok. Oke?”
“Apa maksudmu?” Suara Maya sedikit meninggi. “Kamu pikir, aku hanya ingin menikmati makanan mewah, begitu? Aku hanya ingin membantu. Kamu bilang kita akan membangun ini bersama,”
“Suatu saat nanti,” jawab Bima dengan nada menenangkan. “Tapi sekarang, aku perlu fokus dulu. Percayalah, aku melakukan semua ini juga untuk kita,”
Maya tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya masih ada perasaan mengganjal.
Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk
Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am
Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di
Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.
Bima berdiri di ujung tangga. Tatapannya terbelah dua—antara ibunya yang berdiri dengan tubuh bergetar karena marah, dan Nina yang berdiri kaku di dekat pintu. Matanya merah tapi rahangnya mengeras."Ada apa ini?" tanya Bima, matanya langsung menajam ke arah ibunya. "Ma, kenapa Mama teriak-teriak seperti ini?"Sulastri mengangkat wajah. “Bima... Mama tidak bisa diam lagi. Mama tidak bisa terus berpura-pura semua baik-baik saja,” Dia melangkah pelan mendekati anaknya, lalu menunjuk Nina. “Perempuan ini sudah menghancurkan hidupmu. Dia berselingkuh. Sama laki-laki itu—Femil!”Bima mengernyit, matanya bergeser ke Nina. "Apa?" gumamnya nyaris tidak terdengar.Nina buru-buru melangkah naik dua anak tangga. Mendekat pada Bima, mencoba meraih tangannya. “Sayang, jangan dengarkan Ibu! Dia salah! Dia hanya mau memecah kita!”Sulastri menepis tangan Nina sebelum sempat menyentuh putranya. “Kamu jangan sentuh anakku lagi!” bentaknya. “Femil sudah ditangkap karena mencoba membunuh Maya! Dan sebel
Pagi yang biasanya tenang di kantor Bima berubah tegang saat dua orang polisi berpakaian sipil datang dan langsung menuju ruangannya. Para pegawai saling bertukar pandang, bertanya-tanya dalam diam. Bima yang sedang duduk di balik meja, menatap tamunya dengan alis terangkat. Meski tetap menyambut dengan tenang.“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.Salah satu polisi menunjukkan lencananya. “Kami dari satuan investigasi tindak kriminal ekonomi. Kami ingin meminta waktu Bapak sebentar untuk memberikan keterangan. Terkait kasus saudara Femil Arzeta,”Bima sempat terdiam, wajahnya mengeras. “Silakan duduk. Keterangan seperti apa yang Anda butuhkan?”Polisi itu mengeluarkan map dari tas dan meletakkannya di atas meja. “Femil menyebut nama Anda dan istri Anda, Nina, dalam pengakuannya. Dia mengatakan bahwa selama beberapa waktu terakhir, aktivitasnya—termasuk transaksi finansial—berkaitan dengan istri Anda. Bahkan ada dugaan bahwa dana milik Anda disalahgunakan untuk kepentingan priba