Share

Bab 7 Terlalu Sensitif

Author: Dama Mei
last update Last Updated: 2024-12-20 17:41:45

Pada akhirnya Bima berhasil menyelamatkan perusahaannya berkat pengorbanan Maya—tanah warisan orang tuanya. Dan hari ini Bima sengaja mengundang keluarganya untuk makan malam bersama di rumah, demi merayakan keberhasilan itu.

Saat bel pintu berbunyi, Bima bergegas menyambut keluarganya. Maya mengintip dari dapur untuk melihat Harjono, Sulastri, Raka, dan Vina masuk ke rumah. Mereka berempat—seperti biasa selalu tampak angkuh.

“Selamat datang! Ayo, masuk,” kata Bima dengan senyuman lebar.

Harjono mengangguk singkat, sementara Sulastri menyapukan pandangan ke ruangan itu dengan bibir melengkung.

“Tumben kalian mengadakan pesta makan malam di rumah?” tegur Sulastri. “Biasanya, kan, di luar. Maya bisa masak?” 

Vina dengan perutnya yang sudah mulai membuncit, duduk di sofa sambil mengelus lembut perutnya. “Wah, dekorasinya bagus juga, Mas Bima. Kayaknya ini hasil sentuhan Kak Maya, ya?” katanya, namun nadanya terdengar seperti basa-basi yang tidak tulus.

Maya keluar dari dapur dengan nampan berisi minuman. “Selamat datang, semuanya,” katanya, mencoba terdengar ramah.

Sulastri langsung menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu sibuk di dapur? Baguslah. Setidaknya kamu punya kesibukan,”

Maya menelan ludah, memilih untuk tidak membalas komentar itu. Dia hanya meletakkan minuman di meja dan kembali ke dapur untuk mengambil makanan.

Makan malam dimulai. Dan Maya duduk di sebelah Bima, mendengarkan percakapan yang didominasi oleh Harjono dan Raka tentang bisnis. Bima dengan penuh semangat, menceritakan bagaimana perusahaannya hampir bangkrut tetapi akhirnya terselamatkan.

“Semua ini berkat Maya,” kata Bima sambil tersenyum pada istrinya. “Dia rela menjual tanah warisan keluarganya demi menyelamatkan perusahaan. Aku benar-benar beruntung punya istri seperti dia,”

Maya merasa wajahnya memerah mendengar pujian itu. Sementara Bima menggenggam erat satu sisi tangan Maya yang ada di sebelahnya.

“Ya, beruntung sekali, Mas Bima,” kata Vina. “Tidak semua istri mau berkorban begitu banyak untuk suaminya. Tapi, itu memang tugas seorang istri, kan?” Ada nada menyindir dari ucapannya.

“Tapi tetap saja, Maya. Jangan terlalu bangga dulu,” Sulastri ikut menambahkan. “Menjual tanah itu keputusan yang baik, tapi kalau dari awal kamu mau lebih perhatian ke bisnis Bima, mungkin situasi ini tidak akan terjadi,”

Maya terdiam. Sulastri bahkan tidak menatapnya saat mengucapkan kata-kata itu, seolah Maya tidak cukup penting untuk diberi perhatian.

Harjono hanya mengangguk sambil memotong makanannya. “Yang penting perusahaan Bima sekarang sudah stabil. Tapi ingat, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Jangan sampai ini terulang lagi,” katanya.

“Ya, ya, tentu. Kita akan bekerja lebih keras,” balas Bima dengan senyum lebar. Dia menoleh ke arah Maya untuk menularkan senyum itu. Sama sekali tidak peka dengan perasaan Maya.

Maya menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Pengorbanannya—sekali lagi tidak dihargai.

Setelah makan malam, Maya membersihkan meja sambil mendengar suara tawa dari ruang tamu, tempat keluarga Bima berbincang santai. Mereka tampak begitu nyaman, seolah dia hanya pelayan yang tidak penting. Bahkan Vina—sesama menantu tidak merasa punya kewajiban untuk membantu Maya.

Ketika akhirnya keluarganya pulang, Maya duduk di meja makan. Memandang piring-piring kotor dan gelas-gelas kosong di hadapannya. Tatapannya pias.

Bima masuk ke dapur. “Terima kasih sudah menyiapkan semuanya, Sayang. Aku yakin mereka senang,”

Maya menatap suaminya dengan mata yang penuh luka. “Bim, kenapa sikap orang tuamu selalu dingin padaku?” tanyanya.

Bima seketika mengerutkan kening. “Dingin bagaimana maksudmu?”

“Kamu masih ingat kejadian saat makan malam tadi, kan? Perkataan ibumu, semuanya,”

Bima menghela napas panjang. Kemudian meneguk segelas air putih yang baru saja dia ambil dari dalam kulkas.

“Kamu yang terlalu sensitif, May. Orang tuaku senang, tidak ada yang bersikap dingin padamu! Jangan berlebihan,” kilah Bima. “Kamu itu kalau sudah terlanjur benci, kamu akan benci seterusnya,”

Maya sudah membuka mulut hendak membela diri. Namun Bima mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, melarang Maya untuk bicara.

“Aku capek, May. Kalau kamu hanya ingin mengajakku berdebat, lebih baik aku istirahat!” seru Bima. Dia berlalu pergi begitu saja.

***

Beberapa bulan setelah tanah warisan Maya dijual, perusahaan Bima mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Maya memperhatikan perubahan itu dari detail kecil yang selalu Bima tampakkan padanya. Bima beberapa bulan sebelumnya selalu pulang dengan wajah lesu dan gelisah, kini mulai tampak lebih ceria. Senyumnya lebih sering menghiasi wajah, dan dia terlihat lebih percaya diri saat berbicara tentang bisnis.

“Perusahaan sudah mulai stabil,” kata Bima suatu malam saat makan malam bersama Maya. “Bahkan, ada investor baru yang tertarik. Kalau semua berjalan lancar, kita bisa melunasi utang-utang dalam waktu dekat,”

Maya tersenyum mendengar kabar itu. Dia benar-benar tulus berharap yang terbaik untuk suaminya.

Namun, seiring waktu janji-janji Bima untuk selalu melibatkan Maya terasa semakin jauh dari kenyataan. Bima mulai sibuk dengan pertemuan-pertemuan bisnis, menghadiri acara-acara eksklusif yang sebelumnya tidak mungkin dia datangi. Tapi tak sekalipun Bima mengajak Maya, meskipun sekadar sebagai pendamping.

“Aku dengar perusahaanmu sekarang sudah mulai berkembang pesat,” ucap Maya ketika mereka istirahat berdua di depan ruang televisi.

Bima yang sedang memeriksa dokumen di laptopnya menoleh sekilas. “Ini semua berkat kamu, Maya,”

Maya tersenyum. Namun senyum itu nampak begitu kecut. “Tapi … kenapa kamu tidak pernah mengajakku datang saat acara makan malam atau apapun yang butuh dampingan istri?”

Bima menghela napas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah-olah tengah berusaha mencari kata-kata yang tepat.

“Maya … kenapa kamu selalu mempermasalahkan hal kecil?” tanya Bima dengan nada pelan. “Aku berusaha membangun citraku di depan para investor,”

Maya mengerutkan kening. “Apa susahnya? Hanya mendampingi, Bima. Apa kamu tidak ingin menunjukkan siapa istrimu kepada rekan-rekan kerjamu?”

Sambil mencengkeram kepalanya, Bima menghela napas lagi. “Baik, baik. Aku akan mengajakmu makan malam di restoran besok. Oke?”

“Apa maksudmu?” Suara Maya sedikit meninggi. “Kamu pikir, aku hanya ingin menikmati makanan mewah, begitu? Aku hanya ingin membantu. Kamu bilang kita akan membangun ini bersama,”

“Suatu saat nanti,” jawab Bima dengan nada menenangkan. “Tapi sekarang, aku perlu fokus dulu. Percayalah, aku melakukan semua ini juga untuk kita,”

Maya tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya masih ada perasaan mengganjal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 124 Hidupku

    Abi demam tinggi malam itu. Tubuh mungilnya menggigil meski sudah diselimuti rapat-rapat. Bima panik. Ia mondar-mandir di kamar, tak tahu harus melakukan apa. Tangan gemetar saat menyentuh kening Abi yang panas membara. Nafas anak itu terdengar berat, diselingi isakan kecil yang membuat dada Bima seperti diremas."Abi... bangun, Nak..." suara Bima bergetar, mencoba membangunkan Abi yang matanya terpejam namun gelisah. Tak ada jawaban. Panik sepenuhnya menguasainya.Tanpa pikir panjang, Bima menggendong Abi dan berlari menuju mobil. Tengah malam, hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Tapi dia tak peduli. Hanya ada satu hal dalam pikirannya: selamatkan Abi.Sesampainya di rumah sakit, Bima nyaris menjatuhkan kunci mobil saat turun. Suster langsung menyambut dan membawa Abi ke ruang observasi. Bima mengejar, tak peduli dengan prosedur atau administrasi.Waktu terasa begitu lambat. Dia duduk di ruang tunggu dengan tangan mencengkeram ujung kursi. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya, dia be

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 123 Demi Fantasi

    Langit mendung menggantung rendah ketika Maya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dingin. Bau logam dan lembab menyambutnya, seolah penjara itu tidak hanya mengurung tubuh manusia, tetapi juga menyimpan semua sisa dosa yang tak pernah sempat ditebus. Petugas mengantar Maya tanpa banyak kata. Di wajah wanita itu tak ada senyum, hanya ekspresi datar—dingin seperti batu nisan.Di balik dinding kaca dan jeruji, Nina duduk membungkuk, tubuhnya tampak lebih kecil daripada terakhir kali Maya melihatnya. Wajahnya pucat dengan luka memar masih membekas di pelipis. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, tapi berubah tegang saat menyadari siapa yang berdiri di seberang kaca.Maya duduk perlahan. Ia tidak mengucapkan salam. Tidak menanyakan kabar. Hanya menatap Nina seperti seseorang memandangi bangkai hewan di pinggir jalan—penuh jijik, tapi tidak cukup penting untuk ditangisi.“Kau kelihatan seperti bayangan dirimu sendiri,” ucap Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh ironi.Nina

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 122 Terbaik Untuknya

    Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 121 Neraka

    Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 120 Penuh Kebanggaan

    Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 119 Bukan Salahmu

    Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status