Beranda / Rumah Tangga / Ketika Istriku Balik Melawan / Bab 6 Dalam Setiap Langkah

Share

Bab 6 Dalam Setiap Langkah

Penulis: Dama Mei
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-15 23:29:59

Maya terdiam. Napasnya terhenti sejenak mendengar pengakuan itu. “Apa maksudmu, Bim?”

Bima mengangkat wajahnya. “Aku sudah mencoba segalanya. Aku bekerja siang malam, aku memohon pada bank, aku mencari investor, tapi semuanya gagal. Maya, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa gagal ... sebagai suami, sebagai kepala keluarga … ”

Perasaan Maya kini mulai campur aduk. Dia tidak ingin luluh, tapi juga tidak tega melihat kondisi Bima. Dia teringat bagaimana Bima memohon padanya untuk menggunakan uang warisan Maya demi mendirikan bisnis. Kini, bisnis itu berada di ambang kehancuran. Bima bahkan tidak pernah berbicara jujur pada Maya tentang masalah yang dia hadapi.

“Mengapa kamu tidak bilang dari awal?” tanya Maya, suaranya bergetar. “Kita ini pasangan, Bima. Seharusnya kamu cerita, bukan malah memendam semuanya sendiri sampai seperti ini,”

“Aku tidak mau kamu khawatir,” jawab Bima dengan nada penuh penyesalan. “Aku pikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi ... semakin aku mencoba, semakin aku terjebak. Aku hanya tidak ingin kamu menyesal menikah denganku,”

Maya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dia menatap Bima yang tampak rapuh. Seperti pria yang berbeda dari suami yang biasa dia kenal. Maya sampai tidak bisa memutuskan apakah harus merasa kasihan atau marah.

“Kamu tahu aku sudah mengorbankan banyak hal untuk kita. Uang, waktu, mimpi-mimpiku. Aku tidak menyesal, Bima. Tapi aku juga tidak bisa terus-menerus jadi pasif seperti ini,” ucap Maya setelah beberapa saat diam. “Jika kamu benar-benar ingin kita melewati ini bersama, aku butuh kamu untuk jujur. Mulai sekarang,”

Bima menundukkan kepala, lalu mengangguk pelan. “Aku janji, Maya. Aku akan mencoba lebih baik. Aku hanya ... butuh waktu,”

Maya menuntun Bima untuk bangkit dan menuju kamar mereka. Di sana, dengan telaten Maya melepas pakaian kotor Bima, menggantinya dengan yang baru. Bahkan wanita itu juga tidak segan untuk mengambil handuk basah demi menyeka wajah Bima agar merasa lebih baik.

“Terima kasih, Sayang,” ucap Bima pelan.

Maya hanya membalas dengan senyum tipis. Lantas berlalu menuju dapur untuk membuatkan segelas teh hangat. Sambil menunggu air mendidih, Maya mengusap wajahnya sendiri. Pikirannya kalut sekarang.

Sambil merenungkan segalanya, Maya tiba-tiba teringat akan mendiang kedua orang tuanya. Dua orang yang begitu berharga bagi Maya, namun meninggal secara bersamaan dalam sebuah kecelakaan pesawat. Andai ayahnya masih hidup, mungkin segalanya akan lebih mudah.

“Maya?” panggil Bima yang tiba-tiba datang.

Maya spontan menoleh ke belakang. “Kenapa tidak tidur?”

“Aku menunggumu,” Bima mendekati Maya.

“Aku sedang membuatkan teh hangat untukmu,” ucap Maya sambil mengaduk teh.

Bima tersenyum lalu melingkarkan lengannya di pinggang Maya. “Aku sangat beruntung bisa menikahimu. Sangat beruntung,” ucapnya pelan.

Sekali lagi Maya tersenyum tipis. Dia tidak menjawab, pun juga enggan menjawab. Dia memilih diam saja dan memberikan teh hangat itu pada Bima.

“Jika perusahaanku sudah bangkit lagi, aku janji, aku akan membanggakanmu pada semua orang,” ikrar Bima begitu yakin.

“Aku tidak butuh dibanggakan, Bima. Aku hanya butuh kamu selalu ada untukku, melindungiku,”

“Itu pasti,” sahut Bima. “Apapun yang kamu minta,”

***

Malam berikutnya, Maya memutuskan untuk bicara dengan Bima, berharap menemukan jalan tengah. Saat dia masuk ke ruang tamu, Bima sudah duduk di sofa dengan wajah yang masih tampak lelah. Di meja beberapa dokumen berserakan—laporan keuangan perusahaan yang penuh angka merah dan surat-surat utang yang belum terbayar.

Maya berdiri di ambang pintu, memperhatikan suaminya dalam diam. Selama lima tahun pernikahan mereka, jarang sekali dia melihat Bima dalam kondisi seperti ini. Pria itu biasanya penuh percaya diri, optimis, dan ambisius. Tetapi sekarang, Bima terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan semua harapannya.

Maya mendekat, duduk di hadapan Bima. “Kita perlu bicara,” katanya.

Bima mengangguk. “Aku tahu. Aku ... aku tidak bisa lagi menyembunyikan apapun darimu. Perusahaan kita benar-benar di ujung tanduk, Maya. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tidak ada yang berhasil. Kalau kita tidak segera mendapatkan suntikan dana, semuanya akan berakhir,”

Maya terdiam, mencoba mencerna kata-kata Bima. Dia sudah mendengar pengakuan ini tadi malam. Tetapi mendengar lagi dengan lebih jelas hanya membuat beban di pundak Maya semakin berat.

“Apa yang kamu butuhkan untuk menyelamatkan perusahaan ini?” tanya Maya setelah beberapa saat diam.

Bima menatap Maya dengan ekspresi penuh rasa bersalah. “Aku ... aku tidak mau memintamu melakukan ini, tapi aku tidak punya pilihan lain. Tanahmu, Maya. Tanah di kawasan sentral itu. Kalau kita bisa menjualnya, uangnya cukup untuk melunasi sebagian utang perusahaan dan menjaga bisnis tetap berjalan,”

Maya merasa jantungnya seperti dihantam benda berat. Tanah itu adalah aset terakhir yang dia miliki—peninggalan orang tuanya yang berharga. Selama ini, dia menjaga tanah itu seperti warisan tak ternilai. Di sana terkubur banyak kenangan masa kecilnya bersama keluarganya.

Maya menghela napas, menatap suaminya dengan tatapan bimbang. “Itu satu-satunya yang tersisa dari keluargaku. Kalau aku menjualnya, aku tidak akan punya apa-apa lagi,”

Bima menunduk, wajahnya diliputi rasa malu. “Aku tahu, Maya. Aku tahu ini permintaan yang sangat egois. Tapi aku benar-benar tidak punya jalan lain. Kalau perusahaan ini bangkrut, aku ... aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita. Aku hanya ingin memastikan kita punya masa depan,”

Maya merasa dadanya sesak. Di satu sisi, dia merasa marah dan kecewa karena harus mengorbankan satu-satunya peninggalan orangtuanya–lagi untuk menyelamatkan Bima. Tetapi di sisi lain, melihat pria itu begitu frustasi dan putus asa membuat hati Maya luluh.

Setelah beberapa saat hening, Maya akhirnya mengangguk perlahan. “Baiklah, Bima,” katanya dengan suara pelan. “Aku akan menjual tanah itu,”

Bima mendongak, menatap Maya dengan mata berkaca-kaca. “Maya ... terima kasih,” katanya, penuh syukur.

“Tapi aku punya syarat,” Maya menyela tegas. “Kita harus melakukannya dengan cara yang benar. Aku ingin melihat semua laporan keuangan perusahaanmu, berbicara dengan penasihat keuangan, dan memastikan uang hasil penjualan itu digunakan dengan bijak. Aku tidak mau berkorban lagi kalau akhirnya sia-sia,”

Maya menatap Bima begitu tajam, seperti tengah menghakimi. Bahkan untuk beberapa detik, Bima sempat segan memandang Maya.

Bima mengangguk cepat. “Aku janji, Maya. Aku akan melibatkanmu dalam setiap langkah bisnisku,”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 124 Hidupku

    Abi demam tinggi malam itu. Tubuh mungilnya menggigil meski sudah diselimuti rapat-rapat. Bima panik. Ia mondar-mandir di kamar, tak tahu harus melakukan apa. Tangan gemetar saat menyentuh kening Abi yang panas membara. Nafas anak itu terdengar berat, diselingi isakan kecil yang membuat dada Bima seperti diremas."Abi... bangun, Nak..." suara Bima bergetar, mencoba membangunkan Abi yang matanya terpejam namun gelisah. Tak ada jawaban. Panik sepenuhnya menguasainya.Tanpa pikir panjang, Bima menggendong Abi dan berlari menuju mobil. Tengah malam, hujan rintik-rintik membasahi jalanan. Tapi dia tak peduli. Hanya ada satu hal dalam pikirannya: selamatkan Abi.Sesampainya di rumah sakit, Bima nyaris menjatuhkan kunci mobil saat turun. Suster langsung menyambut dan membawa Abi ke ruang observasi. Bima mengejar, tak peduli dengan prosedur atau administrasi.Waktu terasa begitu lambat. Dia duduk di ruang tunggu dengan tangan mencengkeram ujung kursi. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya, dia be

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 123 Demi Fantasi

    Langit mendung menggantung rendah ketika Maya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dingin. Bau logam dan lembab menyambutnya, seolah penjara itu tidak hanya mengurung tubuh manusia, tetapi juga menyimpan semua sisa dosa yang tak pernah sempat ditebus. Petugas mengantar Maya tanpa banyak kata. Di wajah wanita itu tak ada senyum, hanya ekspresi datar—dingin seperti batu nisan.Di balik dinding kaca dan jeruji, Nina duduk membungkuk, tubuhnya tampak lebih kecil daripada terakhir kali Maya melihatnya. Wajahnya pucat dengan luka memar masih membekas di pelipis. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, tapi berubah tegang saat menyadari siapa yang berdiri di seberang kaca.Maya duduk perlahan. Ia tidak mengucapkan salam. Tidak menanyakan kabar. Hanya menatap Nina seperti seseorang memandangi bangkai hewan di pinggir jalan—penuh jijik, tapi tidak cukup penting untuk ditangisi.“Kau kelihatan seperti bayangan dirimu sendiri,” ucap Maya akhirnya, suaranya tenang namun penuh ironi.Nina

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 122 Terbaik Untuknya

    Tatapan Bima pias, tampak kosong. Hari masih begitu pagi untuk dia melamun. Namun tampaknya Bima tidak peduli. Sembari pikirannya melayang ke banyak hal, Bima mengisi botol air panasnya ke dispenser.“Pak Bima, awas!” jerit salah satu karyawannya.“Argh!” Bima mengaduh kesakitan, melepaskan pegangan botolnya setelah sadar tangannya tersiram percikan air panas dari dispenser.“Bapak tidak apa-apa?” Karyawan wanita itu mendekat, mencoba menolong Bima.Bima dengan cepat menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih,”Raka mengawasi peristiwa itu dari kejauhan. Namun tidak ada tanda-tanda dia hendak ikut menolong. Dia terus memperhatikan Bima, dengan satu tangan kanan memegang gelas kopi dan tangan kiri masuk ke dalam saku celana.“Sampai kapan dia akan seperti ini?” gumam Raka, tak melepaskan pandangannya dari Bima.Tidak seperti sebelumnya, Raka sudah lebih melepaskan perasaan iri hati pada Bima. Setelah segala yang terjadi, apalagi dia berjanji pada Maya untuk tidak melakuk

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 121 Neraka

    Bima yang baru saja keluar dari ruang meeting, mengangkat telepon dari ibunya. “Halo, Ma…”“Bim, Mama cuma mau tanya, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Sulastri. Suaranya terdengar pelan, penuh perhatian. Di ujung sana, dia duduk di ruang tengah sambil memperhatikan Abi dan Angel bermain dari kejauhan.Bima menarik napas dalam. Dia menatap jendela kantor yang memperlihatkan langit siang yang terik. “Aku baik, Ma. Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya,”Sulastri diam sejenak. “ Vina tadi sempat bicara. Dia mempertanyakan soal Abi. Tentang statusnya, dan kenapa masih ada di sini,”Bima terdiam. Hatinya berdenyut tak nyaman.“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” lanjut Sulastri. “Tapi Mama cuma mau memastikan kamu siap menghadapi semuanya, Bim. Termasuk pertanyaan orang-orang. Abi memang bukan darahmu, tapi dia tetap anak yang butuh kasih sayang. Yang dia tahu kamu adalah—”“Aku tahu,” potong Bima cepat. “Terima kasih sudah menjaga Abi, Ma. Tapi untuk sekarang, kurasa dia lebih am

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 120 Penuh Kebanggaan

    Bima melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor yang sempat kosong selama beberapa hari. Beberapa staf menyambutnya dengan senyum kaku, tidak berani bertanya.“Selamat pagi, Pak Bima,” sapa para staf. Meski banyak diantara mereka yang cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.Raka yang sedang sibuk di depan layar komputernya, mendongak terkejut ketika melihat Bima lewat di hadapannya sebelum melangkah masuk ke ruang kerja dengan tenang.“Mas Bima?” panggil Raka. Berdiri dari kursinya. “Kamu sudah masuk lagi?”Bima mengangguk kecil. “Terlalu banyak yang harus dibereskan di kantor,”Raka maju beberapa langkah, masih dengan ekspresi bingung. “Tapi … bagaimana kabar Nina?” bisiknya.Bima tersenyum tipis. “Kamu tahu dia sedang tidak bersamaku, kan?”Raka menatap kakaknya lama, sebelum akhirnya mengangguk ragu. “Kalau begitu, aku siap membantu apapun yang kamu butuhkan,”Bima menepuk bahu Raka pelan. “Kamu sudah membantu banyak,” timpalnya. “Bagaimana Abi? Apa dia mencariku?”“Di

  • Ketika Istriku Balik Melawan    Bab 119 Bukan Salahmu

    Rumah besar itu sunyi, seolah kehilangan napas setelah semua kekacauan yang berlangsung tadi. Abi sudah tertidur di kamarnya, setelah susah payah Sulastri mencoba untuk mengalihkan fokusnya pada Nina.Bima duduk di ujung sofa, membungkuk. Wajahnya tertutup kedua tangan. Napasnya berat, seolah menahan beban yang sudah terlalu lama menghimpit dadanya. Setelah memastikan Abi benar-benar terlelap, Sulastri kembali ke ruang tengah dan menatap Bima yang kini tampak begitu rapuh.“Sekarang kamu sendirian di rumah ini, Bim,” tukas Sulastri. “Apa rencanamu selanjutnya?”Bima mengangkat wajahnya perlahan. “Ma, aku belum bisa. Aku belum sanggup menjaga Abi, setelah semua yang terjadi. Setelah mengetahui kebenarannya,” Suaranya parau. “Kumohon… bawa Abi… bawa Abi tinggal bersama Mama untuk sementara waktu, sampai—”“Kamu yakin?” sambar Sulastri. Bima mengangguk perlahan. Nyaris seperti orang yang sedang menahan tangis. “Aku hanya takut dia menjadi korban dari semua kekacauan dan kebohongan ini.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status