Share

Ketika Istriku Minta Talak
Ketika Istriku Minta Talak
Penulis: Helminawati Pandia

Bab 1. Awal Aku Mendua

Bab 1.  Awal Aku Mendua

Berkali-kali  klakson mobil kubunyikan. Perempuan itu tak  muncul jua. Ke mana dia? Tak tahukah  kalau aku sangat membutuhkannya saat ini?

Hal  pertama yang ingin kulakukan  adalah menatap mata indahnya, menikmati senyum manis di bibir ranumnya, lalu merasakan sentuhan lembut jemarinya.  Setelah seharian berkutat dengan berbagai masalah di kantor, ingin kurenggangkan sejenak syaraf-syaraf di otak. Letih tak hanya di raga. Otakpun serasa terbakar. Masalah kantor yang menumpuk, bisa membuat aku gila.

Hanya satu penyemangat hidup, Embun. Wanita cantik luar biasa, yang pernah  membuatku tergila-gila. Meski akhir-akhir ini, dia semakin membuatku murka. Semoga hari ini, dia tak seperti hari-hari yang lalu. Istriku tercinta, kuyakin bisa memahami apa yang kuminta.

Menekan tombol klakson mobil sekali lagi.  Menghitung sampai tiga. Embun berlari dengan tergesa-gesa menuju pintu gerbang. Langkah yang terburu membuat gelungan rambutnya lepas. Rambut panjang itu seketika terurai, berkibar menutupi sebagian wajah.

Kenapa dia tidak berubah juga? Masih dengan daster lusuh, rambut digelung, wajah berminyak, dan huh! Aroma bau keringat dan asap dapur  menguar dari tubuhnya. Pasti dia belum mandi juga.

“Maaf, Mas, si Radit rewel, gak bisa ditinggal. Raya sibuk minta diambilin boneka lama  yang di atas lemari, tanganku gak sampai meraihnya. Raya nangis terus. Suaranya kenceng banget, gak dengar suara klakson mobil Mas, maaf, ya, Mas!”

Kembali kalimat membosankan itu yang harus kudengar.  Raya yang lasak dan Radit yang rewel. Kapan dia berubah! Di kantor stress, di rumah lebih stress. Harapan menikmati senyum manis dan sentuhan lembut, malah ini yang kudapat. Bisa gila betulan kalau  begini terus.

Aku melajukan mobil perlahan memasuki halaman, begitu dia membuka pintu gerbang.  Kubiarkan dia  berlari kecil, menuju rumah setelah kembali mengunci gerbang.

“Papa …!” Raya berlari memburu, begitu aku  keluar dari mobil.

“Jangan lari-lari, Sayang! Awas jat –“ Kalimatku belum selesai, tapi yang kukhawatirkan sudah terjadi. Raya tersandung  oleh bonekanya sendiri.

“Owww …! Atit! Papa …!”

“Ya, Allah, anak Mama! Sini, Sayang! Cep-cep, mananya yang sakit?” Embun berlari mendapatkan. Memeluk dan membujuk. Raya menyita seluruh  perhatiannya lagi.

Aku menunggu, berdiri mematung di ambang pintu. Berharap dia menyalam dan mencium tanganku, lalu mengambil tas kerjaku. Sudah seharian dia di rumah, menghabiskan waktu utuh untuk anak-anak. Kapan  waktu buatku? Dia tidak peduli sama sekali  akan kehadiranku.

“Ini yang atit, Cayang? Ayo Mama oles minyak, ya? Gak apa-apa, bentar lagi juga sembuh,” bujuknya pada Raya.

Huh, sia-sia aku menunggu. Aku terpaksa mengurus diri sendiri. Melangkah gontai menuju ruang kerja, meletakan tas di sana, masuk kamar lalu  membersihkan tubuh di kamar mandi.  

Untung  dia masih ingat menyediakan pakaian ganti untukku. Pakaian itu sangat  bersih, rapi dan wangi. Lalu, kenapa pakaian untuk dirinya sendiri  amburadul seperti itu? Penampilannya persis seperti bik Iyah, asisten rumah tangga Mama. Atau mungkin lebih wangi bik Iyah.  Embun bau, sumpah.  Mungkin dia belum mandi dari pagi. Ok, akan kutunggu sampai dia mandi nanti malam, mudah-mudahan masih menggiurkan seperti saat awal pernikahan.

**

“Anak-anak udah aman, Mas Mereka sudah tidur. Sekarang Mas makan, ya? Yuk, kita ke  meja makan!” Embun menghampiriku.

Aku  menoleh ke arahnya.  Aroma asem menguar. “Kamu mandi dulu, deh!” ucapku  dingin.

“Mas belum laper? Baik, aku mandi dulu, udah gerah banget dari tadi. Kirain, Mas udah laper,” sahutnya semringah.

Kuraih  ponsel, memeriksa kembali laporan penjualan yang dipermasalahkan Papa mertuaku tadi. Kenapa orang tua itu makin lama makin cerewet. Kesalahan satu angka saja, bisa membuatnya ceramah seharian.

“Ray, perusahaan ini akan Papa serahkan padamu, tolonglah belajar sungguh-sungguh! Teliti dalam segala hal! Papa enggak bisa tenang kalau kamu ceroboh seperti ini terus!” omelnya tadi siang.

Hanya karena Sandra salah ketik satu angka. Satu angka, lho! Padahal ada ribuan  bahkan jutaan angka yang harus diketik Sandra setiap hari. Masa, hanya karena silap satu angka, membuatnya seperti kebakaran jenggot.

Kasihan Sandra dibentak-bentak seperti tadi. Sakit hati, tentu saja. Gadis itu bahkan nekat mau mengundurkan diri. Minta maaf lewat pesan w******p mungkin akan menghiburnya. Begitu pikirku.

[Maafkan Papa mertuaku! Enggak jadi ngundurin diri, kan?] Kukirim pesan untuknya.

[Jadi, males banget kerja di situ lagi. Emangnya gak ada kerjaan lain apa?] balasnya tanpa menunggu lama.

[Jangan, dong! Aku bisa stres sendiri kalau kamu enggak ada. Jangan keluar, ya!] bujukku.

[Bapak juga  sama! Gak pernah ngertiin aku.]

[lho, gimana mau ngerti, kamu minta kita ketemu di luar, sedang aku sudah punya anak istri, apa alasanku keluar, coba? Urusan kantor?  Pemilik perusahaan itu Papa istriku, bisa gawat, kalau ketahuan bohong, iya, kan?]

“Mas! Yuk, kita makan!” Panggilan Embun mengagetkanku.

Segera kututup ponsel, meletakan di atas nakas, lalu menoleh ke arahnya.  Embun terlihat cantik setelah mandi dan berganti daster. Aroma sabun dan sampho  menyerang cuping hidung, melambungkan angan dan hasrat liarku.

“Makan dulu, ya? Setelah itu  boleh?“ bisikku  di telinganya sembari memeluk  tubuh yang tetap indah itu. Padahal sudah dua  kali bongkar mesin.

Mata cantiknya mengerjap, bibir ranum mengulum senyum. “Iya, Mas,” jawabnya, membuatku serasa terbang ke awang. Seketika dongkolku hilang.

Aku memeluk  bahunya menuju meja makan. Embun membalas dengan memeluk pinggangku. Masakannya yang selalu kurindu, kini  terhidang. Embun sanggup mengerjakan semuanya, tanpa asisten rumah tangga. Sengaja aku dan ibu tirinya melakukan itu. Agar Embun tidak memiliki waktu untuk ikut campur di perusahaan milik papanya.

“Mas, kata Mama, minggu depan asisten rumah tangga itu datang, udah tua, sih, tapi kalau sekedar masak dan bersih-bersih rumah , dia masih sanggup.” Embun menyendokkan nasi ke piringku.

“Syukurlah, mudah-mudahan  cocok,” sahutku asal, sekedar membuatnya senang. Aku yakin itu hanya bualan ibu tirinya, agar Embun berhenti mengeluh.

Masih suapan ke sekian, nasi di piringnya  belum habis separuh, tiba-tiba  Embun meletakkan kepala di atas meja. Segera kuhabiskan makananku.

“Sayang! Mas udah, nih, makannya!” kupanggil lembut. Tak ada sahutan, justru dengkuran halus yang terdengar.

Astaga! Dia  tidur! Lupa atau sengaja menghindar. Apa maksudnya? Bukankah tadi aku sudah meminta baik-baik? Aku minta jatah setelah makan malam?  Sial!

Kubiarkan dia dengan sandiwaranya. Ini ke seratus kali dia menolak keinginanku. Cukup sudah! Aku tak tahan lagi. Sandra,  aku datang.

***

“Terima kasih, Sandra!” ucapku  melepaskan bagian tubuhku dari tubuhnya. Aku menjatuhkan diri di sampingnya. Semua pikiran ruwet lenyap untuk sesaat. Pelayanan yang  gadis ini suguhkan  benar-benar bisa mengahalau stres dan memuaskan dahaga. “Kamu hebat, Sayang!” pujiku sekali lagi menyambar bibirnya, lalu tergeletak kehabisan tenaga.

“Bapak juga ternyata hebat banget!” Dia balas memuji  seraya menarik selimut tipis untuk menutup tubuh polosnya. Peluh membasahi kening dan lehernya. Sama sepertiku yang  bermandikan peluh karena kelelahan setelah bertempur.

***

Komen (10)
goodnovel comment avatar
amiyra imran
sakit ,, sakitt banget
goodnovel comment avatar
Arlin
waduhhhh, suaminya egois
goodnovel comment avatar
Surya Jaring
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status