Bab 5. Siapa Sebenarnya Embun?
******
“Kenapa dengan Embun? Masa kamu ngeluh menghadapi istri penurut gitu? Kurang apa lagi dia menurutmu, Ray? Jangan nuntut yang macam-macam, deh! Waktunya bahkan kurang untuk mengurus anak-anak dan rumah, jangankan untuk berbuat macam-macam, mandi aja kadang dia enggak sempat.”
“Itu kemarin, Tan. Mulai tadi pagi dia udah berubah.”
“Berubah gimana?”
“Pokoknya Tante datang ke kantor. Aku tunggu!”
“Ya, udah! Nanti Tante singgah sebentar, sebelum pergi arisan.”
Kututup telpon lalu menambah kecepatan mobil. Orang yang pertama sekali ingin kujumpai sekarang adalah Si Ramlan. Si Botak tua itu akan segera kupecat. Berani dia membongkar rahasia keuanganku pada Embun.
Aku meminta security memarkirkan mobil begitu tiba di halaman kantor megah itu. Dengan berlari kecil aku segera menuju lift, naik ke lantai dua, dan langsung menuju ruangan menejer keuangan. Langkahku tertahan. Seorang perempuan cantik duduk dengan anggun di balik meja. Pandangannya tertuju pada layar laptop dan tangan gemulainya menggerakkan mouse. Sepertinya dia sedang sangat serius. Siapa dia? Kenapa dia dudukk di meja Manager Keuangan?
“Ehem!”
Dehamanku tak membuatnya menghentikan aktivitas. Padahal sangat jelas terdengar. Aku juga yakin dia sudah melihat kehadiranku. Namun, sedikitpun dia tak peduli. Belum tahu dia rupanya siapa aku.
“Ehem!”
Aku berdeham lebih keras. Lagi-lagi dia tak tak terusik. Sombong! Kemarahanku pada Ramlan, sepertinya akan kulampiaskan padanya saja. Tapi, mana mungkin aku bisa marah-marah kepada gadis secantik ini. Yang ada malah dadaku semakin tak karuan.
Ok, bersyukurlah! Tuhan menganugerahkan dia wajah yang cantik, kalau tidak, sudah kuseret dia keluar dari kantor ini.
“Maaf, Anda siapa, ya? Kok, berani benar mengutak-atik laptop kerja manejer saya?” tanyaku. Kuatur intonasi agar terdengar berwibawa. Kudekati meja itu, berdiri gagah tepat di hadapannya.
Gadis itu mendongah, menatapku sekilas, dan langsung fokus lagi ke layar laptop.
“Pagi, Pak,” ucapnya tanpa menatapku. Jelas aku tersinggung. Tapi, tunggu! Kenapa aku merasa wajahnya sangat mirip dengan Embun, ya? Apakah hanya perasaanku saja? Ah, mungkin karena sama cantiknya saja.
“Maaf, Anda mendengar pertanyaan saya, tidak?” tanyaku membungkuk. Kepalaku merapat ke wajahnya. Seketika aroma parfum yang begitu lembut menyerang cuping hidung. Aroma lembut ini, membuatku tak henti mengendus, seolah ingin mencari biang wanginya. Sepertinya di daerah dada, gila! Kenapa aku jadi ingin mengendus dada montok gadis ini?
“Maaf, Pak, Anda lupa, ya, arah menuju ruangan Anda? Mari saya tunjukkan!”
Gadis itu bangkit, menatapku dengan tajam.
Aku terperangah, salah tingkah tentu saja. Dia begitu tegas. Beda dengan Sandra. Ok, siapapun dia, aku menyukainya. Ketegasannya ini justru membuat aku merasa tertantang. Persis seperti sikap embun saat awal perkenalan kami dulu. Sok tegas, sekarang lihat! Embun bertekuk lutut juga di kakiku, kan? Hehhehe …. Tapi, siapa perempuan ini? Di mana si botak Ramlan.
“Pak? Pak Ray, kenapa di sini?” Sandra tiba-tiba sudah berdiri di dekat pintu. “Kalau Bapak butuh sesuatu atau ingin berbicara dengan manager keuangan, Bapak cukup perintahkan kepada saya,” tukasnya.
“Aku ke sini mau mencari si Botak itu? Mau memecatnya sekarang juga. Tapi malah perempuan ini yang ada di sini?” gerutuku tetap menjaga wibawa.
“Si Botak yang Anda maksud adalah Papa saya.” Perempuan itu menyela.
Aku terkejut.
“Mulai hari ini, dia dipindahkan ke kantor cabang, untuk membenahi keuangan di sana. Saya yang menggantikannya di kantor ini mulai sekarang, senang bekerja sama dengan Anda, sekarang tolong tinggalakn ruangan saya, karena saya sedang mempelajari laporan keuangan bulan berjalan ini!” tegas perempuan itu lagi.
“Apa? Si Ramlan itu papa kamu? Dia sudah di pecat?” Mendadak aku bagai orang linglung.
“Maaf, bukan dipecat, tapi dipindahkan,” sergahnya.
“Iya, iya, maksudku begitu. Tapi, siapa yang yang memecatnya dan menunjukmu menggantikan dia di sini? Itu tidak sah! Saya wakil direktur di perusahaan ini dan dalam waktu dekat akan diangkat menjadi direktur. Tidak akan sah segala sesuatu tanpa sepengetahuan saya, paham!” bentakku panik.
“Sekali lagi saya tegaskan? Papa saya bukan dipecat. Mengenai siapa yang memindahkan Papa dan menempatkan saya di sini, itu bukan urusan saya. Saya hanya bekerja dan digaji itu saja. Jadi, silahkan keluar dari ruangan saya! Karena saya mau bekerja.”
“Maaf, Bu Dian! Bapak ini wakil direktur, lho, tolong sopan dikit, dong!” tegur Sandra.
Oh, rupanya namanya Dian. Sikap dan gaya bicaranya sangat tidak sopan, tapi aku suka.
“Baik, silahkan bawa keluar Bapak Wakil Direktur ini, ya, Mbak Sandra!” ucapnya, seraya duduk dan menekuni kembali pekerjaannya. Perempuan itu sepertinya mengejek. Tapi sudahlah, tunggu saja, tidak akan butuh waktu lama untuk menaklukkannya.
“Mertuaku ada?” tanyaku sambil berjalan dengan tergesa menuju ruang Direktur.
“Ada, Pak. Tapi, kenapa, sih, manager baru itu tiba-tiba ada di kantor ini, saya kurang suka, lho, Pak,” ucap Sandra menjejeri langkah panjangku.
“Itulah yang ingin kutanyakan pada Pak Direktur, padahal aku baru saja hendak memecat si Ramlan itu, eh, malah udah diganti duluan.”
“Awas aja, kalau Bapak, macam-macam sama dia!” ancam Sandra mengerucutkan bibir tipisnya.
Aku hanya tersenyum, apa yang ditakutkannya itu, sesungguhnya adalah tujuanku.
“Tunggu di ruanganku, ya!” perintahku padanya. Sementara aku langsung menuju ruang Papa mertua.
“Masuk, Ray! Kamu terlambat lagi, ya!” Dia menyambutku dengan kalimat teguran lagi. Huh! Bosan! Kenapa orang tua ini tidak kena serangan jantung atau stroke saja? Rasanya sudah tak sabar untuk duduk di kursi empuknya itu.
“Silahkan duduk! Ada apa? Wajahmu kusut benar pagi ini? Apakah ada masalah dengan Embun?” Dia menatapku lekat. Kacamata bacanya dinaikan ke atas.
“Iya, Pa. Embun mulai berulah! Dia tak mau lagi mengurus cucu-cucu Papa dan mengurus rumah. Entah siapa yang mempengaruhi dia makanya tiba-tiba minta melanjutkan kuliah,” jawabku berharap ekspresi marah terpancar dari wajahnya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Orang tua ini malah terkekeh.
“Kenapa Papa malah tertawa?” tanyaku heran.
“Anak itu memang keras kepala. Emak-emak, kok, mau kuliah? Hehehe … Embuuun Embun, wataknya persis seperti mamanya, jiwa bisnis membuat dia enggak betah di rumah. Sabar, ya, Ray! Biar sajalah dia kuliah, toh dia tidak macam-macam, kan? Dia enggak selingkuh, misalnya, hehehe ….”
Kenapa dia malah membela anaknya? Lalu kenapa pula dia ngucapin kata selingkuh? Nyindir aku? Apakah Embun melapor tentang noda lipstick di kemeja itu? Waduh! Kok, jadi runyam begini, ya.
“Ya, sebenarnya saya kurang setuju, kalau Embun kuliah, Pa. Anak-anak siapa yang ngurus, coba? Tapi, kalau Papa bilang biar saja, ya, sudah, saya nurut,” ucapku pura-pura patuh.
“Iya, bagus nurut sajalah, paling juga dia bosan, lalu berhenti sendiri kuliahnya.” Orang tua itu semringah.
“Iya, Pa. Terus, Pak Ramlan, kok, dipindahkan, ya? Manager baru itu, kenapa bisa masuk begitu saja tanpa sepengetahuan saya?”
“Kok, kamu protes karena tanpa sepengetahuanmu manager diganti? Papa saja selaku direktur di perusahaan ini tidak tahu.”
***
Bab 6. Embun Harus Hamil Lagi*****“Kok, kamu protes karena tanpa sepengetahuanmu manager diganti? Papa saja selaku direktur di perusahaan ini tidak tahu.”Kalimat Papa mertuaku sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin dia tak tahu ada pergantian manager di perusahaannya. Lantas, kalau dia sendiri tidak tahu, siapa yang tahu? Siapa yang mengganti manager keuangan itu? Yang paling membuatku bingung adalah sikap papa mertua terlihat tenang saja. Ada apa sebenarnya ini? “Papa tidak tahu? Maksud Papa?” selidikku.“Iya, Embun tidak ngomong apa-apa sama papa sebelumnya. Tiba-tiba dia pindahkan Pak Rahmad dan menunjuk Dian yang menggantikan,” jawabnya santai.“Embun? Maksud Papa, Embun yang melakukannya?” sergahku tak percaya.
Bab 7. Kejutan Dari Embun******“Tante yang akan bicara dengan Embun masalah itu. Tugasmu adalah buat dia hamil lagi!”“Maksud Tante? Jangan ngawur, Tan! Kemarin aja, Raya masih umur setahun, dia sudah hamil si Radit, sekarang radit masih enam bulan, Tan, mau di suruh hamil lagi?”“Enggak ada cara lain. Kalau Dia hamil, dia akan sibuk dengan kehamilannya, mabuklah, ngidamlah, melahirkan, nah, di situ kita lancarkan tujuan kita.”“Ok, Tante, aku ngerti.”“Awas kalau gagal lagi! Kamu kerja yang bagus, cari selah agar Mas Rahmad tak ragu menyerahkan jabatannya padamu! Tante akan menemui Embun sekarang.”Wanita itu berlalu. Aku harus menyusun rencana agar bisa menghabiskan malam bersama Embun. Supaya perempuan itu segera hamil lagi.***Pukul
Bab 8. Terjangan Embun Menolakku*****“Tidur, yuk! Udah malam. Besok kita sibuk, kan? Kamu harus berangkat cepat ke kantor, aku juga mulai masuk kuliah.” Embun meletakkan ponselnya di atas nakas.“Jangan buat kepalaku pecah, Embun! Tolong jelasin maksud semua ucapanmu ini!”“Sudahlah, Mas! Enggak usah dipikirkan! Nikmatin aja! Ok?”“Kenapa kau curiga pada Sandra? Kau cemburu padanya? Dia hanya sekretaris di kantor, Sayang. Kalau kau memang tidak menyukainya, ok, aku pecat dia!”“Hust! Jangan sembarangan memecat karyawanku, Mas! Kau tak berhak memecat siapapun di kantor itu. Jangankan kamu, Papa aja enggak berhak. Ingat, itu perusahaanku! Keputusanku yang berlaku, semoga kau paham posisimu!” Embun menatapku dengan sorot mata yang lembut, meski kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam, setajam bel
Bab 9. Kuusir Mama TirikuPOV Embun“Hallo! Om Ramlan di mana sekarang?” tanyaku melalui sambungan telepon seluler.Om Ramlan adalah manager keuangan di kantor. Aku harus segera membereskan masalah ini. Sebelum Mas Ray tiba dan mengamuk kepadanya di kantor, karena telah membocorkan rahasia keuangan.“Saya, masih di rumah, kenapa, Bu?” tanya Om Ramlan terkejut.“Dian ada?” tanyaku lagi.“Ada, dia belum berangkat ke kampus, tapi, sepertinya sudah siap-siap itu, motornya udah nyala.”“Om cegah dia kekampus hari ini! Tolong saya, ya, Om,” pintaku memohon.“Ada apa, Bu Embun, apa yang bisa kami bantu?” Suara Om Ramlan terdengar ikut gugup.“Om pindah aja ke kantor cabang yang di Marindal! Suruh Dian
Bab 10. Papa Embun Sudah Di Tangan*****“Tuh, kan, cuman iseng. Mama, sih, udah parno duluan,” sergahku terkekeh. Sakit hati ini, kututupi dengan terkekeh. Sudut mataku bahkan berair, ternyata pengkhianatan mereka tetap berlanjut. Tak hanya di kamar kos-kosan wanita itu, tapi juga di sofa kantor. Kantorku sendiri.“lho, kamu kok, enggak marah?” tanya Mama tiba-tiba tersadar.“Ngapain marah? Mereka cuma iseng, begitu kata mereka, kan, Ma? Lalu kenapa aku marah?”“Tapi, matamu berair? Kamu nangis?”“Oh, enggak, ini karena aku tertawa tadi, abis, mama lucu, orang iseng dianggap serius.”“Iya, sih. Tapi, si Sandra keterlaluan, Dia sedang berusaha merayu suamimu.”“Enggak akan tergoda suami saya, Ma. Mas Ray itu, suami paling setia. Percaya, deh!&rd
***** Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini. “Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon terhubung. “Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar. “Ngerti, Tan. Gak usah diajari! Kayak anak kecil aja! Tuh, udah ada dua cucu Tante buktinya!” “Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!” “Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?” “Iya, Tante gagal. Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kit
Bab 12. Darry Telah Kembali*****“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan, ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang.“Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.”“Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?”“Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?”Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Bab 13. Mas Darry Tak MengenalkuPOV EmbunEntah berapa lama aku terlelap, lalu terbangun saat tangis Radit memekakkan telinga. Ketukan di pintu terdengar samar. Ingatan belum sepenuhnya normal. Peristiwa tadi malam, kembali melintas. Mas Ray terjungkang ke lantai karena terjanganku. Lalu aku gegas pindah kamar. Ya, aku ingat sekarang, bagaimana aku berada di kamar tamu ini bersama bayiku.“Bu, Radit nangis. Buka pintunya, biar saya bawa ke luar!” Itu suara Rika, babysitterku.“Ya,” sahutku bangkit dan memutar anak kunci yang menempel di lubang pintu.“Maaf, kenapa Ibu dan Radit tidur di kamar ini?” Rika langsung mengambil Radit dan menenangkannya.“Iya, jam berapa ini?” tanyaku menutup mulut karena menguap. Rasa kantuk belum hilang.“Pukul tujuh, Bu. Bapak sudah berangkat