"Lia, Sudah kubilang Ini hanya salah paham. Tidak seharusnya kamu mengusir dengan cara seperti ini. Riana masuk ke rumah ini karena ibu menyuruhnya untuk mengambil sesuatu." Yoga perlahan berbicara walaupun terlihat ada setitik rona keraguan pada wajahnya. Riana sedikit merasa lega dengan ucapan Yoga. Meski pembelaan itu tidak terlalu serius, tetapi Riana masih bisa merasakan jikalau Yoga telah berusaha untuk tidak menyalahkan Riana seutuhnya. "Iya, Lia. Aku kemari karena Bu Lasmi sendiri yang menyuruhku untuk mengambil pakaiannya yang katanya masih tertinggal di kamar depan." sahut Riana menimpali. "Lho, lho Riana, kok kamu bilang gitu? Bukannya tadi kamu bilang...," Lala terpaksa menghentikan ucapannya ketika Riana menutup mulutnya. "Iya Lala, Kamu benar. Kita berdua tadi memang berniat mengambil pakaian yang dimaksud oleh Bu Lasmi." todong Riana menyela cepat. "Yang aku maksud bukan itu, Riana. Kok, kok...,
Pagi-pagi terlihat kita sudah rapi dengan pakaiannya. Dengan muka amat subrina gadis kecil itu menghampiri sang papa yang duduk di ruang tamu."Papa! Yuk anterin Chika ke sekolah! Seperti yang Chikat bilang kemarin. Chika pengen nunjukin sama teman-teman kalau Papa Chika udah punya mobil baru. Okey, Pa?" Chika mendekat. "Sana! Sana! sama Mama kamu aja! Ini Papa lagi repot. Banyak urusan yang harus Papa selesaikan. Untuk pagi ini papa nggak bisa nganterin kamu ya. Kamu sekolah pakai sepeda motor mamamu ajah!" Yoga menggeser tubuh Chika yang berusaha mendekat padanya. Sedangkan pandangan mata Yoga tetap terpaku pada benda pipih yang berada di tangan kanannya. Ponsel. Mendengar jawaban sang papa, semburat bahagia yang sejak tadi terlihat pada wajah Chkka, sekarang berubah menjadi kecut dan tak bersemangat. "Pa, jadi kapan Papa bisa anter Chika ke sekolah? Sekaliii ajah, Pa!" Chika tampak amat berharap. "Kamu denger
Mobil Yoga menderu memasuki pekarangan rumah ibunya. Mendengar suara mobil Yoga, seorang ibu paruh baya keluar dari dalam rumah lalu menyambut sang anak dengan senyum manis. "Wah anak Ibu sudah pulang rupanya. Gimana reaksi Lia ketika tadi kamu bawain itu mobil ke sana? Dia kaget nggak?" Bu Lasmi nampak penasaran. Yoga tersenyum sinis mendengar pertanyaan ibunya. "Tentu saja wanita kampungan itu kaget, Bu." jawab Yoga sumringah. "Bahkan dia seperti gak percaya kalo kita habis beli mobil baru. Bahkan tadi udah pengen nyoba-nyoba naik ke mobilku." Yoga nyengir. "Terus kamu izinin, nggak?" "Ya nggaklah. Kukunciin ajah itu pintu mobilnya." sahut Yoga.Nu Lasmi terkekeh mendengarnya. "Baguslah kalo gitu. Biar tahu rasa dia. Biarin dia tahu kalo kamu jauh bisa sukses tanpa andil dari istri kayak dia. Ya udah, sekarang kamu sarapan sana! Ibu udah nyiapin saraoan lezat nuat kamu."
Lia sibuk menata barang di toko. Sedangkan Chika sibuk dengan ponsel ibunya. Sesekali, Lia memang mengizinkan anak itu untuk memainkan benda pipih tersebut, asalkan dengan waktu yang tak terlalu lama. Yoga tidak pernah tahu jikalau Lia sudah berhasil membeli sebuah toko baru. Yang Yoga ketahui, Lia hanyalah seorang penjual online yang hilir mudik mengatur pesanan yang menurut Yoga tidak seberapa besar nilai penghasilannya. Pendek kata, Yoga tidak pernah mengetahui sejauh mana sepak terjang sang istri. "Maaa! Coba Mama lihat ini!" tiba-tiba Chika berteriak. "Ya, ada apa, Nak?" Lia mendekati Chika. Cepat-cepat Chika menunjukkan beberapa foto dan siaran langsung dari akun media sosial yang amat Lia kenal. Sedikit jantung Lia berdetak kencang melihat postingan dan siaran langsung di skun Melisa tersebut. Dengan jelas terlihat Melisa sedang memposting kebersamaan antara dia, Bu Lasmi, Yoga, dan ju
Lia sedang sibuk menata barang-barang di toko ketika telepon genggamnya berdering. Lia melirik layar ponsel. Wajah si ibu mertua terpampang di sana. "Ibu? Untuk apa lagi dia menghubungiku?" Lia merasa heran. Namun mengingat setiap menelepon, Bu Lasmi tidak pernah mengatakan hal-hal penting kecuali umpatan dan celaan, akhirnya Lia memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Lia berfikir jika mengangkat telepon dari wanita paruh baya itu, maka pasti hanya akan mengundang perselisihan belaka. Seperti tak bosan-bosannya menghubungi, panggilan dari Bu Lasmi selalu saja berulang-ulang. Namun berulang-ulang pula Lia mengabaikannya. "Terserah dia mau apa. Aku sudah malas meladeni beliau bicara, tidak lain dan tidak bukan hanya akan bikin sakit hati aja." batin Lia. Lia sibuk kembali dengan packing-an packing-an pelanggannya. Menata barang dan mengecek mana barang stoknya mulai menipis. Di beberapa platfor
"Mbak Lia! Hati-hati kalo ngomong!" Melisa berujar kasar. "Sebaiknya peringatan itu berbalik sama kamu, Mel. Kamu yang seharusnya tahu cara berbicara yang baik kepada sama ipar." "Enak ajah! Nggak! Aku gak akan bisa menghormati kakak ipar seperti kamu!" Melisa menolak mentah-mentah ucapan Lia. "Kalau begitu, sama halnya sama aku. Aku juga gak akan bisa menghormati adik ipar kayak kamu." Melisa mengepalkan tangan. Tingkah Lia benar-benar menguji adrenalin. Selama ini jarang-jarang ada yang mau meladeninya. Tapi sekarang Melisa merasa mendapatkan perlawanan. Sepertinya ia sedang diuji oleh ipar sendiri. "Keluar kamu dari rumah ini, Mbak! Sudah cukup aku sabar telah membiarkan kakakku memelihara wanita sialan kayak Mbak. Mbak di sini cuma numpang di rumah kakakku saja! Jadi kami pengen Mbak segera tinggalin nih rumah! Kalau tidak, maka telapak tangan ini akan melayang ke wajah kamu! Dan aku sendiri yang akan men
(Maaf pembacaku, koinnya agak mahal, hehe.. Tapi ini karena babnya panjang, ya. 2000kwords lebih )"Lia! Katakan sama aku apa yang udah kamu lakuin sama Melisa kemarin?" Yoga membanting pintu. Padahal laki-laki tersebut baru saja datang. "Tanya aja sama adik kamu apa yang udah aku lakuin sama dia. Jadi kamu gak perlu emosi tanya-tanya kemari." Lia menjawab ketus. Yoga nampak menggeram kesal dengan sikap istrinya yang menurutnya semakin menjadi-jadi. "Kamu nggak usah keterlaluan selalu nyakitin keluarga aku, Lia. Sudah cukup selama ini aku, Ibu dan Melisa bersabar sama tingkah kamu. Kamu bisa mikir enggak sih? Mereka itu ibu dan adik aku sekaligus mertua dan adik ipar kamu juga yang harus kamu sayangi." Yoga mengambil posisi tempat duduk di hadapan Lia. Mendengar penuturan sang suami, Lia hanya nyengir kuda. "Yang seharusnya berpikir itu kalian, Mas. Selama ini yang terlalu bersabar dan terlalu mengalah menghadapi
Yoga kembali menelan ludah. Baru saja ia merasa lega, namun tanggapan Lia kembali membuatnya lemas. "Bener-bener nggak ada gunanya aku ngomong sama kamu." Yoga merasa kesal. "Dilembut-lembutin kamu kagak ngerti juga, dikerasin malah tambah menjadi-jadi. Rupa-rupanya emang gak ada niat baik lagi kamu sama aku. Semua percuma! Ya, percuma pengorbanan yang aku lakukan selama ini." Yoga berkata lemas. "Pengorbanan? Emangnya pengorbanan apa sih yang udah kamu lakuin sama aku?" Lia menanggapi santai. "Sudahlah, Lia! Kagak usah ngejawab terus! Kamu gak usah terus-terusan deh menguras kesabaran aku. Barusan aku udah berusaha untuk bicara baik-baik. Tapi ya emang dasar kamunya ajah yang kagak bisa diajak buat kerjasama." Yoga menatap langit-langit. "Kapan kamu mau ajak aku kerja sama? Setahuku, kerjasama itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak, Mas. Masing-masing harus mendengarkan pendapat satu sama lain.