Share

Bab 3

Bab 3

     

"Lia! Darimana aja kamu? Ditelpon nggak diangkat-angkat. Apa Kamu sengaja mengabaikan panggilanku?"

    

Baru saja aku menginjakkan kaki di rumah, sudah di sambut dengan teriakan Mas Yoga. Ya, aku baru saja pulang setelah membawa Chika ke dokter. Aku lupa, tadi karena terlalu sibuk dengan Bu Lasmi yang merongrong, aku terlupa akan ponsel.

   

"Jawab aku Lia! Jangan cuma bisa diem gitu! Apa kamu sedang berpikir buat cari-cari alasan?" Mas Yoga membentak.

   

"Bukan aku nggak mau mengangkat panggilan dari Mas, tapi ponselku memang ketinggalan di rumah." jawabku.

   

"Ooh, jangan-jangan kamu emang sengaja ninggalin ponselmu, ya? Dengan begitu kamu bisa mengelak? Iya?" tanya Mas Yoga membabi buta.

   

"Mengelak? Mengelak dari apa, Mas?" Aku benar-benar bingung.

   

"Nah kan! itu saja kamu masih berpura-pura?"

   

Aku semakin kebingungan dengan arah pembicaraan Mas Yoga.

   

"Apa maksudnya? Aku benar-benar tidak ngerti?"

   

Tiba-tiba Mas Yoga mendekat dan mencengkram daguku kuat.

   

"Apa kamu kira aku nggak tahu apa yang barusan kamu lakuin sama ibu aku?" Mas Yoga terlihat menahan amarah.

   

Aku terkejut bukan kepalang.

   

"Aku tidak melakukan apapun sama Ibu, Mas!"

   

"Jangan bohong kamu!" Mas Yoga semakin kuat dengan cengkramannya sehingga membuatku kesakitan. Keterlaluan memang.

   

"Jangan terlalu bersikap kasar sama Ibuku jika kau tak ingin kubuang ke tong sampah." cerocosnya lagi.

   

Darahku mendidih mendengarnya. Memangnya siapa aku dalam benaknya? Lagipula, perbuatanku yang mana yang ia sebut-sebut terlalu kasar pada ibunya.

   

"Memangnya apa yang telah aku lakuin sama ibumu, Mas?" aku kembali meminta penjelasan.

   

"Baru saja ibuku dateng, dengan maksud mau pinjem uang sama kamu. Tapi kamu malah nolak ibu mentah-mentah. Apa kamu pikir itu kelakuan yang pantes untuk kamu lakukan sama mertuamu yang telah bersusah payah melahirkan suamimu ini? Haa? Apakah seperti itu bentuk baktimu pada orang tuaku? Ingat Lia! Aku bisa seperti ini karena ibu. Aku bisa sukses juga karena perjuangan ibu. Setelah menikah sama kamu, kamu bisa memetik hasilnya dengan  begitu saja. Setiap bulan tahumu hanya menerima  dan menikmati gajiku. Tanpa kau pikirkan siapa sosok yang telah berjuang keras di belakang semua kesuksesanku ini. Dari kecil aku dipelihara dengan kasih sayang ibu, eh punya istri malah tidak bisa membantuku berbakti pada ibuku. Sialan!" Mas Yoga bertutur panjang.

   

Selalu saja seperti itu. Tak bosan-bosannya mereka membahas perjuangan seorang ibu. 

   

"Mas, kalau bicara soal perjuangan dan jasa orang tua, aku  sebagai istri juga tidak kalah disayang sama Ibu dan ayahku. Aku juga dibesarin dengan kasih sayang, dibiayai pendidikan, dan nggak pernah dibuat susah. Tapi mereka nggak pernah tuh minta timbal balik dan mengharap balasan."

  

"Lihat saja selama ini, apakah kita pernah memberi sesuatu baik itu berupa uang atau barang kepada kedua orang tuaku? Apakah kamu pernah mendapati mereka menuntut dengan dalih membalas jasa? Tidak pernah kan, Mas?" emosiku benar-benar dibuat naik ke ubun-ubun.

   

Mendengar tuturanku, Mas Yoga semakin nampak menggeram.

  

"Lah, wajar saja kamu tidak memberi apa-apa kepada orang tuamu. Toh kamu tidak bekerja. Mau dapat uang dari mana kamu ingin memberi kedua orang tuamu? Mau mengharap sebagian dari gajiku? Jangan terlalu banyak tuntutan, Lia! Makanya jadi wanita itu harus kudu Mandiri. Kerja, kerja, dan kerja! Supaya tidak membebankan semuanya pada suami." Mas Yoga menunjuk nuju mukaku. 

Ya Tuhaan... Aku mengelus dada. Artinya selama ini dia hanya menganggapku pengangguran.

 

"Aku di rumah ini bukan hanya menganggur belaka, Mas. Aku juga banting tulang." 

   

"Halah banting tulang dari mananya? Banting tulang usaha onlinemu itu? Tiap hari otak-atik HP dengan alasan jualan online, padahal kerjanya cuma scroll scroll media sosial." cibir Mas Yoga.

 

"Astaga, Mas! Rupanya semua usahaku selama ini tidak pernah kau hargai."

  

"Bukannya aku tidak menghargai, akan tetapi begitulah kenyataannya. Jika penghasilanmu cukup, tentu saja kau tidak akan bergantung sepenuhnya padaku."

Gila, laki-laki ini benar-benar gila. 

   

"Mas, kamu adalah seorang suami, sudah sepatutnya kamu memenuhi kebutuhan kami. Tapi apa? Untuk kebutuhanmu sendiri pun kekurangan. Lagipula selama ini aku tidaklah bergantung pada gajimu, Mas! Bahkan yang Mas berikan padaku selama ini, untuk kehidupan Mas sendiri saja tidak cukup! Justru Mas memberikan sebagian besar gaji pada ibu dan adikmu, tanpa memikirkan kebutuhanku dan Chika." tidak tanggung-tanggung aku jawab mentah-mentah ucapan Mas Yoga.

"Oh kau berkata seperti ini  karena uang yang aku berikan pada ibu? Ingat Lia! Kau tidak bisa mengungkit-ungkit uang yang aku jatahkan sama ibu dan Melisa. Itu sudah hak mereka. Jangan turuti egomu. Aku tahu maksudmu kamu ingin menjauhkan aku dengan ibuku, kan? Jangan harap aku akan menuruti kemauanmu, Lia! Sampai aku mati dan tinggal tulang-belulang sekalipun, Ibu tetaplah ibu, tidak akan pernah ada seseorang pun yang bisa menggantikannya. Sedangkan kau, kau hanya seorang istri. Hari ini  juga kita bisa bercerai, dan setelah bercerai tidak akan ada hubungan apa-apa lagi di antara kita."

 

Laki-laki yang tidak berpikir panjang. Semudah itu ia berkata tanpa berpikir bagaimana perasaan seorang wanita yang berada dihadapannya saat ini. Wanita yang telah Rela mengabdikan diri untuknya melahirkan dan menyusui anaknya. Dan juga membantunya dalam mencukupi kebutuhan ekonomi. Tapi sepertinya pria ini tak berterima kasih.

"Mas, bukannya Mas sendiri yang melarangku bekerja di luaran selama ini?" imbuhku.

   

"Meski aku melarangmu bekerja di luar sana, tapi kalau saja kau mau banyak pekerjaan yang bisa kau lakukan dari rumah. Membuka usaha produksi makanan. Itu lebih baik daripada usaha online  yang tidak tahu menahu tersebut." tutur Mas Yoga kembali.

"Untuk membuka usaha seperti itu butuh modal, Mas? Lagipula apa kamu mau membantuku untuk mengasuh Chika? Aku sudah nyaman dengan usaha online yang aku kelola, dan hasilnya juga lumayan. Mengapa aku harus membuka usaha lain yang belum tentu aku kuasai? Seharusnya kamu mendukungku, Mas!  Bukannya malah  mengolok-olok." tuturku. Bukan karena apa, aku terkadang sedih dengan tingkah Mas Yoga  yang selalu mengolok-olok profesiku saat ini.

   

"Selalu saja membantah! Begini ya sikap seorang wanita yang tidak mau bekerja keras. Tapi tahunya hanya bisa menguras uang suami saja." kembali  Mas Yoga mengulangi ucapan menyakitkan tersebut.

   

"Mas! Bukankah dulu aku juga kerja?  Demi kamu aku rela resign. Apa Mas ingat apa yang pernah Mas katakan dulu? Janji Mas adalah mencukupi kebutuhan kami, meskipun aku nggak lagi kerja. Kalau saja aku tidak menghormatimu sebagai seorang suami, tentu saja sudah kucari pekerjaan yang layak untukku. Mas tahu, banyak perusahaan di luar sana yang mau menerimaku sebagai karyawan." tuturku.

Sungguh aku masih ingat, dulu karena aku yang begitu mencintai Mas Yoga, maka aku rela resign dari pekerjaan. Ya, sebelumnya aku dan Mas Yoga bekerja pada sebuah bank swasta yang sama. Dan sesuai dengan peraturan bank yang berlaku, Jika kami menikah, maka salah satu dari kami harus resign. Dan Bodohnya, aku rela kehilangan pekerjaan demi bisa hidup bersama Mas Yoga. Sebagai gantinya, Mas Yoga memintaku untuk benar-benar fokus ke rumah tangga kami .  

Mengingat gaji Mas Yoga yang masih pas-pasan untuk ukuran kehidupan di perkotaan,  akhirnya, sebagai sampingan aku memilih untuk memulai usaha online, untuk membantu bantu mencukupi kebutuhan. Dan sekarang beginilah kenyataannya. Justru penghasilanku tidak lagi bisa disebut dengan sekedar membantu ekonomi rumah tangga, akan tetapi menjadi tulang punggung. Mending kalau dihargai, dianggap pun bahkan tidak. Mengenaskan.

"Memangnya perusahaan mana yang mau menerima karyawan yang gak berpengalaman kayak kamu? Besar omong aja! Baiklah, tidak perlu diperpanjang lagi, hari ini aku gajian. Tapi aku nggak akan memberikan gajiku sama kamu. Aku ingin lihat, apakah kamu mampu memenuhi kebutuhanmu sendiri atau tidak." Mas Yoga mencibir.

***

Pagi ini aku sengaja santai. Aku lebih fokus pada packingan-packingan yang harus kusiapkan untuk para pelanggan. 

   

Kulihat Mas Yoga bangun lebih cepat, dengan muka yang memandangku jijik, seperti biasanya. Aku tak peduli. Kubiarkan saja apa yang dia lakukan. Ketidakpeduliannya terhadap Chika juga membuatku semakin kesal. Tidak lagi seperti dulu di mana setiap pagi hari, ia selalu mencium dan memeluk Chika. Tapi sekarang hal itu tak pernah lagi kulihat.

    

"Lia! Mana kemejaku?" teriaknya dari kamar.

   

"Mana kutahu." Jawabku singkat.

   

"Lho, istri macam apa kamu ini? Suami mau berangkat kerja pakaian tidak juga disiapkan." umpatnya.

   

"Mas! Aku tidak banyak menuntut padamu. Jadi kau tidak usah banyak menuntut padaku. Soal pakaian kerjamu, tentu saja kamu bisa menyiapkannya sendiri." jawabku sambil meneruskan pekerjaanku.

   

"Keterlaluan!" imbuhnya. Ah peduli amat.

   

Tidak berapa lama kemudian, kulihat ia telah mengenakan kemeja putih dengan tidak begitu rapi. Masa bodoh! Cukup selama ini saja aku selalu merepotkan diri dengan kebutuhan suami, sedangkan dia sendiri tidak pernah mau tahu akan diriku.

    

Aku tengah mengambilkan minum untuk Chika ketika kulihat Mas Yoga melangkah ke dapur. 

 

"Kok kosong? Kamu belum masak pagi ini?" Mas Yoga berseru dengan mata menatap tajam ke arah tudung nasi yang kosong melompong dengan tidak ada satu hidanganpun yang tersaji di sana.

  

"Ya. Aku memang gak masak." jawabku singkat.

  

"Apa? Apa kamu gak tahu kalau aku akan berangkat kerja? Kau tidak menyiapkan sarapan? Istri macam apa kamu ini? Astaga. Pakaian dan sarapan suami semua tidak kamu utamakan."

   

Aku mendekati Mas Yoga.

  

"Mas! Bukankah kau tidak memberikanku jatah uang bulan ini? Jadi, aku tidak ada uang untuk membeli bahan makanan buat memasak sarapanmu. Kamu pikir aku akan merogoh kantongku untuk memasakkanmu? Tidak. Kan kamu memberi uang dan nafkah hanya sama Ibu dan adikmu, jadi pergi aja sana! Sarapan di rumah ibumu!"

Kulihat muka Mas Yoga merah padam.

To be continued

     

   

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
yg bikin cerita g waras kayak tokohnya. cuman berantem adu mulut kayak preman terminal. ceritanya cuman berisi sumpah serapah dan caci maki.
goodnovel comment avatar
Ardy 1
masak isinya percakapan beranten semua yg diulang2?
goodnovel comment avatar
Sulastri
rasakan!!!,gak diks uang gak usa masak diemin aja,suruh suami urus semua,masak nyuci beres2, cukup kita urus anak,bila perlu tinggalkan suami anak mami itu,dia punya ortu,kita juga punya ortu,d suami bilang" bekas istri ada bekas ortu gak ada",balas "bekas suami anak mami ada,bekas ortu gak ada",
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status