Share

Bab 4

Bab 4

  

"Apa? Kamu nyuruh aku makan di rumah Ibu? sedangkan aku punya istri? Apakah pantas seorang istri berucap kayak begitu?" Mas Yoga mencerca.

   

"Sebaliknya aku yang tanya sama Mas, apakah pantes seorang suami yang nggak menafkahi istrinya, tapi banyak menuntut?"

   

Mendengarkan sanggahan demi sanggahan yang meluncur dari mulutku, sepertinya emosi Mas Yoga semakin menjadi. 

   

Kulihat Mas Yoga mengangkat tangan kanannya. Tangan itu mengepal. Aku sedikit bergidik.

Dugaanku benar, sejenak kemudian tangan itu melayang ke arah wajahku.

   

Eitt!

   

Secepat kilat aku mengelak.  Tentu saja aku tak ingin menjadi sasaran pukulan tangan kekarnya. 

Akibat pengelakanku, kepalan tangan Mas Yoga hanya mengenai dinding. Kulihat Mas Yoga mengaduh. Dalam hati ingin rasanya aku berteriak, "Rasain!"

   

"Keterlaluan kamu menguji kesabaranku!" umpatnya seraya mengelus-elus tangannya.

"Lho, itu kan kesalahan Mas sendiri, ngapain nonjok dinding." cetusku.

"Istri yang tak tahu berterima kasih dan tak tahu cara menghargai suami dan mertua!" lanjutnya.

 "Jika Mas ingin bermain kasar, maka bukan aku lawanmu, Mas. Mending Mas cari aja lawan yang pantas. Buat adu kemampuan gitu. Di ring tinju misalnya. Tangan kekarmu itu tidak sebanding dengan tenagaku. Tapi apa bila perlu kuladeni, tidak masalah." jawabku santai.

Meskipun ototnya terkesan kekar, tapi orang seperti Mas Yoga tidaklah terlalu membuatku takut. Sebab aku masih menguasai teknik-teknik beladiri yang pernah kupelajari. Hey, Mungkin saja dia tidak tahu sebatas mana dulu aku mempelajari seni tersebut. Jika saja aku mau sepertinya tak terlalu susah jika untuk sekedar membuat lengannya tak berfungsi.

"Awas saja kau!" ia menunjuk mukaku.

    

Kulihat laki-laki itu sesaat melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan, beberapa saat ia nampak kesal lalu menghindar dari hadapanku sembari mengambil kembali koper yang tadi ya taruh di atas kursi. 

Tanpa bicara sepatah kata pun Mas Yoga berlalu. Rasain, pasti tangannya tadi kesakitan berciuman dengan dinding tembok beton. Ha... Ha... terus mungkin saja sekarang ia tengah menahan lapar. Biar tahu rasa, itulah akibatnya kalau terlalu pelit dengan uang nafkah. Sudah Seharusnya aku memperlakukan Mas Yoga seperti. Terlalu bodoh jika seorang istri masih ingin menuruti suami dzolim. Apalagi dengan membawa-bawa dalih taat.. Menurutku tidak ada ajaran yang yang mengajari penganutnya untuk berbuat dzolim kepada yang lain. Jika kita dizalimi, kurasa tak terlalu berdosa jika kita melawan kezaliman tersebut ketimbang melarutkan diri dalam kezoliman itu sendiri.

 

***

  

Aku terbangun .  Kulihat sekeliling, tidak kutemukan keberadaan Mas Yoga.   Mataku melirik ke arah jam dinding. Astaga, Hari sudah menunjukkan pukul 01.30 malam. Mas Yoga belum juga pulang.

   

Meski aku membenci sikap Mas Yoga, akan tetapi sebagai seorang istri aku masih menyimpan kekhawatiran untuknya. Mas Yoga belakangan ini memang biasa pulang terlambat. Akan tetapi itu tidak pernah lewat jam sepuluh malam. Ini sudah hampir menunjukkan angka jam 02.00 dini hari. Bagaimana aku tak merasa khawatir coba?

   

Aku bangun mengecek ponsel. 

 

Dahiku berkerut, di layar ponsel, tertera beberapa panggilan tak terjawab. Aku menebak-nebak ini pasti dari Mas Yoga. Astaga! Jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk padanya.

 

Tapi nanti dulu!

Ini panggilan tak terjawab bukan berasal dari Mas Yoga. Melainkan dari ibu.

Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa ibu menelponku malam-malam hingga beberapa kali seperti ini? 

Dengan cepat aku menekan tombol hijau, memanggil balik ibu. 

Tidak butuh waktu terlalu lama, Ibu segera menjawab teleponku.

"Halo! Assalamualaikum, Bu?"

"Waalaikumsalam, Nak. Bagaimana kabarmu? Tadi kenapa ibu menelpon nggak dijawab?" ibu bertanya. 

"Maaf, aku nggak sempat mengangkat telepon Ibu, aku ketiduran soalnya. Oh ya, kenapa Ibu tiba-tiba menelpon malam-malam. Apa ada sesuatu, Bu?" sapaku deg-degan.

Ibu tidak segera menjawab. Batinku semakin penasaran dan berharap tidak terjadi hal yang buruk-buruk terhadap seluruh anggota keluarga kami.

"Sebenarnya tidak ada sesuatu yang terlalu  penting. Akan tetapi sebenernya ibu mau tanya sama kamu?"

Batinku sedikit lega, namun mendengar pertanyaan ibu, rasa penasaran itu kembali muncul, Hal apa kira-kira yang akan ditanyakan oleh beliau?

"Mau tanya apa, Bu?"

"Hm... kalau boleh tahu, apakah Yoga ada pekerjaan di luar kota sekarang?" tanya ibu di seberang telepon.

Aku bingung ingin menjawab apa. Soalnya Mas Yoga juga tidak sedang berada di rumah, dan dan dia juga belum pulang. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan ibu?

  

"Emang ada apa dengan Mas Yoga Bu?"

   

"Lia, hari ini kebetulan ibu mempunyai perjalanan ke kota Surabaya. Urusan kerja juga. Akan tetapi tadi nggak sengaja ibu melihat Yoga di Surabaya. Ibu Sempat ingin menghampirinya, sayangnya dia keburu pergi dan tidak mendengar sama sekali seruan ibu."

  

Apa? Mas Yoga di Surabaya? 

Batinku terkhenyak. 

Apa mungkin Mas Yoga bepergian ke luar kota tanpa memberitahuku terlebih dahulu? Apa ibu cuma bercanda? Tidak, ibu tidak mungkin bohong. 

Aku berpikir cepat untuk tidak mengundang kekhawatiran ibu.

"Ah iya, Bu. Emang katanya tadi Mas Yoga akan pergi ke Surabaya." jawabku segera.

"Tapi Lia, aku melihat ada sosok yang berbeda dari Yoga." sambar ibu kembali.

"Maksud ibu?"

"Ibu lihat Yoga bersama seorang wanita."

Glegh! 

Aku menelan ludah. Bersama wanita? Wanita siapa? Apa yang mereka lakukan? 

Tentu saja berbagai pertanyaan itu muncul di benakku.

"Siapa wanita itu, Bu? Apa Ibu kenal?" tanyaku refleks.

"Nah ini dia yang ingin ibu tanyakan sama kamu. Sebentar, ibu kirim fotonya ya."

Aku menantikan foto kiriman ibu dengan harap-harap cemas.

"Tadi juga ibu sempet menghubungi suami kamu, tapi suamimu nggak menjawab. Bahkan sebentar kemudian nomernya udah nggak bisa lagi ibu hubungi." sambung ibu.

Kalau soal ini sih dari dulu aku maklumi, Mas Yoga memang tipe suami yang tidak mau mendekatkan diri apa lagi berusaha akrab kepada keluargaku. Ia memang jarang ingin dihubungi dan sama sekali tidak pernah menghubungi orang tuaku. Kecuali ketika sedang butuh saja. Bahkan jika aku ingin pulang ke rumah ibu, Mas Yoga tak mau ikut. Oleh karena itu sesekali pulang aku hanya berdua dengan Chika. Jika Ibu bertanya, sudah pasti aku jawab jika Mas Yoga tengah sibuk dengan pekerjaan. Alasan andalanku.

Sebentar kemudian, foto kiriman Ibu muncul di ponsel. Dengan deg-degan aku membuka foto tersebut. Tidak terlalu jelas karena sepertinya foto itu ibu ambil dari kejauhan. Perlahan aku zoom layar ponsel. Wanita itu memang cantik. Tinggi semampai dengan rambut sebahunya. Tas, sepatu tinggi dan blazer mewahnya membuatku bisa menebak jika wanita itu bukan wanita biasa. Setidaknya wanita itu sudah biasa tampil parlente. Kontan saja batinku menggelegak. Pertanyaan besar muncul di benak, siapa wanita tersebut?

"Bagaimana, Lia? Apakah kamu kenal sama wanita itu?" ibu bertanya.

Aku bingung. Mendapatkan informasi mendadak seperti ini. Jika kukatakan aku tidak mengenali wanita tersebut, aku takut akan membuat ibu  khawatir dan bisa jadi wanita itu akan datang kemari dan marah-marah kepada Mas Yoga. Dari dulu ibu dan ayah pasti akan bertindak tegas apabila ada yang ingin menyakiti putri semata wayangnya ini.

      

Lagipula, aku juga tak ingin bicara banyak soal keburukan Mas Yoga. Sebab selama ini sudah terlanjur aku membaik-baikkan sosok Yoga pada kedua orang tua. Supaya kenapa? Ya karena supaya mereka menganggap aku bahagia. Semua itu aku lakukan karena dulu aku benar-benar cinta sama Mas Yoga. Ternyata aku mencintai orang yang salah.

"Bu, perempuan ini adalah sepupunya Mas Yoga." Jawabku spontan.

"Beneran dia sepupu suamimu? Tapi kenapa tadi sepertinya mereka mesra sekali?" tekan ibu. 

"Mereka memang terbiasa dekat dan intim." aku kembali mengiyakan.

"Lia, ibu ingatkan kamu! Sekalipun wanita itu adalah sepupu suamimu, tapi setidaknya kamu harus hati-hati, Nak. Zaman sekarang, jangankan cuma sepupu, saudara dekat sekali pun bisa menjadi penghancur sebuah hubungan. Jangan terlalu percaya dengan apa yang kamu lihat." nasehat Ibu. 

Ibu memang berkata benar. Jangan terlalu percaya dengan siapapun.

"Ya, Bu. Aku mengerti maksud ibu." jawabku. 

Padahal dalam hati tak bisa ku bohongi jika darah ini tengah mendidih. Bayangkan saja, Mas Yoga pergi keluar kota tanpa memberitahu. Dan tahu-tahu sekarang aku mendapatkan kabar dia tengah bersama wanita lain. Apa yang dilakukannya coba, selain dari bersenang-senang tidak karuan?

Setelah panggilan itu terputus, aku balik menghubungi Mas Yoga. Benar saja, ponselnya tidak bisa dihubungi.

Aku merasa geram.

"Yoga, aku akan selidiki semuanya? Jika sampe kamu ketahuan menghianati rumah tangga kita, maka kau akan tahu akibatnya. Jangan main-main denganku!" Aku mengepalkan tangan. Segenap rencana mulai merayap-rayap di otakku.

To be continued

   

   

   

   

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
alasan lia ini bertahan apa ya?? apa dia suka dihina,di caci maki dan g di nafkahi. perempuan banyak bacot dan g waras. sok2an bilang jgn main2 dg ku. dasar keledai dungu
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
bodooohh ... berpenddikan tapi kog bodoh yaa.. dihina tapi bertahan aja namanya itu tolol permanenn...
goodnovel comment avatar
Risma Nadeak
itulah kebodohan demi cinta org tua pun rela tak di anggap oleh suaminya makan tuh cinta suami busuk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status