Share

Bab 2

Bab 2

"Ini apaan? Sayur sama tempe doang?" Mas Yoga menatap tak suka pada menu yang kusajikan di atas meja.

  

"Itu masih untung aku mau masakin, Mas."

"Kamu kok ngomongnya gitu? Memang kamu udah nggak mau masakin aku? Sampe-sampe masaknya sembarangan begini. Coba masak tuh yang enak dikit." celoteh Mas Yoga.

"Bukannya aku nggak mau masak enak. Tapi uangnya yang nggak ada buat beli yang enak-enak." jawabku ketus.

"Uang yang aku kasih bulan kemarin kamu kemanakan?" tanyanya.

Aku geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Mas Yoga.

"Uang yang Mas kasih bulan kemarin udah habis seminggu yang lalu." jawabku.

  

"Uang habis, uang habis, itu aja yang selalu kau sebut. Di otakmu cuma ada uang, uang, dan uang. Lama-lama bosan aku mendengarnya."

Mas Yoga merogoh kantong dan mengeluarkan dompet. Entah apa yang akan dia lakukan.

"Nih! Uang dua ratus ribu untuk seminggu! Awas ajah kalau sampai masih bilang nggak cukup! Mulai sekarang uang untukmu akan benar-benar aku batasi!" Mas Yoga melempar dua lembar uang berwarna merah ke atas meja.

     

Apa dia pikir uang dua ratus ribu itu cukup untuk seminggu? Astaga!

  

"Mas! Sudah kubilang nggak usah kasih aku uang lagi. Ambil kembali uang kamu! Aku nggak membutuhkannya. Tapi dengan syarat, jangan suruh aku masak ini dan itu. Jangan terlalu banyak menuntut." aku berkata ketus.

 

"Kamu berani menantangku rupanya? Baiklah Lia, akan lebih baik jika begitu. Lagipula rugi juga jika setiap bulan aku kasih uang ke kamu. Berterimakasih juga nggak. Malah sok-sokan seolah penghasilanmu lebih gede. Padahal kenyataannya seuprit. Buat makan kamu sama anakmu saja nggak cukup. Tapi tak apa-apa, karena kamu sendiri yang menginginkannya, maka kamu akan merasakan akibat dari keinginanmu tersebut." tanggap Mas Yoga.

   

"Tapi ingat, Lia! Karena ini merupakan keinginanmu, maka aku ngga ingin denger kamu minta uang lagi sama aku!"

   

"Baiklah Mas. Aku gak akan minta uang sama kamu. Handle saja semua kebutuhan rumah tangga ini sama Mas sendiri ! Jangan menuntut banyak sama aku sebagaimana aku juga gak akan menuntut banyak sama Mas." balasku.

   

"Baiklah. Itu bukan hal sulit." ucap Mas Yoga enteng. 

   

Dalam hati sebenarnya sulit aku berkata demikian. Akan tetapi letih juga rasanya setiap hari dirongrong dengan ucapannya yang menyinggung masalah uang yang ia berikan setiap bulan. Tanpa dia pikirkan betapa kepalaku puyeng mengatur uang dua juta darinya agar cukup untuk sebulan. Dan pada kenyataannya tidak oernah mencukupi.

Tentu saja untuk menutupi semua kekurangan, sebagian besar aku menggunakan hasil dari penjualan onlineku. 

Masih beruntung online shop yang aku kelola  alhamdulillah perlahan mengundang banyak follower dan tentu saja pembeli juga ikut naik.

     

Sedangkan Mas Yoga dan mertua tidak pernah tahu dan tidak pernah ingin memaklumi kesibukan yang aku rasakan. 

     

***

Menjelang siang, aku tengah bersiap-siap akan membawa Chika ke dokter karena panas tubuhnya tidak juga mereda .

   

Baru saja ingin melangkah, tiba-tiba Bu Lasmi, mertuaku datang tergopoh-gopoh. 

"Lia!" ujarnya sambil nyelonong masuk tanpa salam.

   

"Ya, Bu!" 

   

"Ibu bisa pake uangmu lima ratus ribu? Ntar ibu kembalikan." ucapnya tana basa basi

    

"Uang untuk apa lagi, Bu?"

   

"Pake nanya lagi, Ibu masih ada cicilan koperasi. Jadi harus kudu dibayar lunas hari ini. Kamu tahu sendiri kan jikalau tidak segera dibayar, maka Ibu harus membayar denda. Dan ini sudah beberapa hari yang lalu nunggak." ucap ibu mertua tanpa rasa bersalah.

"Aduh! Maaf sekali Bu, aku udah nggak punya uang lagi."

Muka mertuaku yang tadi cerah sekarang terlihat mulai berubah suram.

"Lia, Ibu datang kemari baik-baik. Kenapa sebegitu susahnya kamu meminjamkan uang kepada mertuamu ini? Apakah kamu merasa rugi?"

"Bukan masalah rugi atau tidaknya, Bu. Tapi aku berkata benar. Sisa uang yang diberikan oleh Mas Yoga bulan kemarin telah habis untuk membayar cicilan sepeda motornya dan juga cicilan sepeda motor Melisa." jawabku berterus terang.

"Halah... gaji Yoga yang ia berikan padamu kan dua juta, cicilan motornya sama Melisa mah nggak nyampe dua jutaan. Masih ada sisanya itu. Kok bisa-bisanya kamu bilang habis?" Ibu mertua aku tetap ngotot seakan aku mempunyai uang yang bisa ia tarik kapan saja.

"Bu, uang-uang itu sudah dibelikan sama kebutuhan dapur. Itu saja jauh dari kata cukup." jawabku.

"Untuk kebutuhan dapur kalian? Halaah... Ibu ini sudah tahu kisaran kebutuhan dapur kalian berapa? Tidak mungkinlah uang kalian semuanya habis hanya untuk kebutuhan dapur. Tidak usah terlalu mengada-ada. Kan sedikit-sedikit kamu juga masih punya simpanan sendiri tuh." 

Kesal itu pasti ketika mendengar perkataan mertua yang seakan tidak percaya. 

Padahal dalam hatin mungkin  beliau pun pasti mengakui kalau akan terlalu sulit mengatur uang segitu untuk kebutuhan rumah. Tapi entahlah, aku tidak tahu cara berpikir orang-orang seperti mereka.

"Bu maaf, sekali lagi aku bilang kalo aku udah gak punya uang lagi buat meminjamkan Ibu." aku tetap pada keputusanku.

Aku merasa sudah capek menuruti kehendak mereka sekeluarga. Selama ini, jika mereka ingin meminjam uang pasti aku berikan, meski aku tahu uang uang itu tidak akan pernah kembali lagi. Jika ditanya dari mana uang  yang aku pinjamkan pada mereka? Tentu saja uang hasil dari usahaku. 

Bukannya mengungkit-ungkit dan merasa rugi terhadap mertua dan keluarga, seandainya saja mereka tidak bersikap angkuh dan tidak terlalu merendahkanku, setidaknya bisa menghargai aku sebagai seorang menantu pun sudah cukup. Dengan demikian, tentu saja tidak terlalu berat bagiku untuk membantu mereka. 

Akan tetapi, jangankan berterimakasih atau berlaku sedikit baik, mereka justru memandangku sebelah mata. Tidak peduli mertua, Melisa, maupun Mas Yoga sendiri. Mereka semua lebih tepat disebut sebagai keluarga toxic.

"Tidak usah terlalu pelitlah, Lia. Aku tahu kamu masih nyimpen duit. Ibu ingin minjem beberapa hari ajah. Karena Ibu benar-benar sedang butuh. Biasanya juga kamu selalu punya uang kan untuk meminjamkan Ibu maupun Melisa adikmu?" cerocos ibu mertua.

"Ya biasanya aku punya uang, tapi tidak dengan kali ini."

Mendengar ucapanku yang tak kunjung mengiyakan permintaannya, Bu Lasmi menatap sangar ke arahku.

"Ada apa denganmu, Lia? Apa sekarang kamu udah merasa hebat?" Bu Lasmi mengernyit heran.

Kubiarkan saja dia keheranan. Peduli amat.

"Kamu mulai mau belajar menjadi menantu pelit! Awas aja! Akan kulaporkan perbuatanmu sama Yoga. Biar kamu tau rasa!" ancam Bu Lasmi.

 

Aku menghela nafas panjang dengan sikap beliau.

  

"Terserah, Bu. Yang pastinya Sekarang aku sudah tak punya uang lagi buat kasih pinjam ke ibu. Lagi pula sekarang anakku sedang tidak enak badan. Aku ingin membawa Chika ke dokter." aku mulai Geram. 

   

Tak kupedulikan apa yang ingin wanita paruh baya itu lakukan. Aku melangkah keluar menuju ke sepeda motor.

   

"Nah, ketahuan kan kalau kau bohong. Tadi katanya nggak punya uang, tapi sekarang malah membawa Chika ke dokter? Itu artinya kamu masih punya simpanan, kan?" Pandangan matanya mendelik.

     

Aku menghentikan langkah.

   

"Ya, aku memang masih punya uang. Tapi uang itu akan  lebih penting gunakan untuk biaya berobat Chika." jawabku.

"Oh jadi menurutmu aku ini tidak lebih penting dari Chika?"

Benar-benar keterlaluan. Sudah tahu aku ingin membawa berobat Chika, tapi kok dia masih saja menuntut. 

"Jelas, Bu. Kesehatan anakku jauh lebih penting."

Kulihat muka Bu Lasmi menatapku geram. Biar saja. Dia pikir aku selamanya bisa diinjak-injak?

"Hei, Lia! Uang yang kau gunakan itu adalah uang dari anakku, uang dari hasil jerih payah Yoga. Dan kau tahu, dari mana Yoga bisa mempunyai gaji lumayan sehingga bisa menghidupi kau dan anakmu? Itu aku yang  telah bersusah payah menyekolahkan dia, dengan hasil dari jerih payahku bekerja sebagai seorang pembantu di kota sebelah, sehingga Yoga bisa menjadi pegawai sukses seperti sekarang ini. Dan setelah sukses, malah kau yang berleha-leha menikmati hasilnya. Aku ini ibunya Yoga, aku lebih berhak atas uang anakku dibanding kamu! Jadi tidak pantas kamu jahat kepada ibunya Yoga ini."  Bu Lasmi semakin menjadi-jadi. Tangan kanannya menepuk-nepuk dada seolah dia adalah pahlawan hebat  yang harus kuturuti semua keinginannya.

"Bu, selama ini aku tidak sepenuhnya mengandalkan gaji anak Ibu." Aku berkilah.

"Apa? Jika tidak karena uang anakku dari mana kau bisa makan? Dari mana kau bisa tidur di kasur empuk? Dari mana kau bisa berteduh di rumah yang cukup besar kalau bukan dari hasil jerih payah Yoga? Tak kusangka sikapmu bisa berubah begini buruk. Kurang ajar. Akan lebih baik untuk Yoga menceraikan wanita seperti kau, Lia!"

"Bu! Mulai sekarang, silakan Ibu ambil semua uang gaji Yoga yang kalian bangga-banggakan itu. Atur dan handle saja semuanya sama kalian. Terus semua kebutuhan Mas Yoga silakan Ibu yang urus!" 

"Apa? Kamu bilang apa tadi? Jika aku yang masih harus mengurus Yoga, lalu apa fungsinya kamu sebagai istrinya Yoga?" Bu Lasmi menbentak.

"Nah, Bu. Sekarang aku kembalikan fakta itu ke Ibu, buat apa aku punya suami kalau tidak mampu mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya? Buat apa aku punya suami jika aku yang harus menjadi tulang punggung rumah tangga?"

To be continued

   

    

     

   

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Viona Manurung
bagus lia, udah ada nyali kamu lia! gitu dong, biar tau rasa mertua kayak gitu.
goodnovel comment avatar
Anna Karmila
thor mantap, seorang istri harus berani,
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
kenapa ya selalu korbannya perempuan aja yg dihina² ama laki dan keluarganya.. klo sifat laki kayak gitu mahh buang aja di tempat sampah gak perlu mikirin yg lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status