"Shel, kenapa setelah punya Hafiz kamu gak pernah minta jatah lagi?" tanya Bang Habib, seolah ingin mencari tahu. Seperti biasa malam itu kami sedang melakukan sunah rosul, karena ini malam jumat. Akan tetapi, itu adalah permintaan Mas Habib bukan permintaanku seperti dulu lagi."Uda gak nafsu Sheila sama Abang," sahutku bergurau, ia tampak menatapku seperti ingin marah, tetapi lagi-lagi ia menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya."Apa Abang uda gak ganteng lagi di mata Sheila?" tanya Bang Habib dengan mata berbinar.Aku terkekeh saat melihat raut wajahnya, ia sangat menggemaskan dan mirip sekali dengan Hafiz. Bang Habib terasa seperti bayi besar bagiku."Kok malah ketawa sih? Abang tanya serius tau, kalau di mata Sheila Abang gak ganteng lagi Abang sih gak percaya. Soalnya masih banyak cewek-cewek yang terpesona kalau liat Abang!" seru Bang Habib dengan pedenya, rasanya aku bergidik ngeri melihat tingkahnya sekarang. Ia sangat berbeda dengan dulu, ia sangat bucin padaku bahk
Setiap sore aku selalu bermain di teras rumah bersama Hafiz, anak yang masih imut-imutnya itu sudah mulai belajar memiringkan tubuhnya. Biasanya jam segini Bang Habib sudah pulang, tapi entah kenapa sekarang ia pulang lebih lama. Aku berpikir mungkin saja ada lembur di kantornya.Entah mengapa tiba-tiba aku mengalami pusing yang luar biasa, rasanya mual dan ingin muntah. Berkali-kali aku pergi kekamar mandi untuk muntah, sementara Hafiz kubawa masuk kedalam dan kuletakkan di depan tv supaya ia lebih tenang. Untung saja tidak lama kemudian Bang Habib pulang, aku merasa lebih tenang dan segera memintanya untuk membelikan obat."Bang belikan obat masuk angin dong," pintaku diambang pintu kamar mandi lalu masuk kedalam lagi karena terus saja ingin muntah. Bang Habib mengejarku masuk kedalam kamar mandi, ia langsung memijat pundakku agar aku lebih baik."Kamu kenapa Dek?" tanyanya khawatir."Aku masuk angin deh kayaknya, kepalaku pusing banget. Mau muntah terus," sahutku memijat pelipis ya
Aku mengalami mual yang luar biasa, bahkan untuk bangkit dari tempat tidur saja susah. Aku sangat bingung mengapa hamil yang kali ini sangat menyiksa, padahal dulu waktu hamil Hafiz tidak seperti ini.Bang Habib bangun dan membuat sarapan sendiri pagi ini, untung saja sekarang ia sangat pengertian, tidak seperti dulu yang maunya di layani tanpa tau kondisi istrinya."Dek, Abang telefon Ibu ya suruh kesini biar ada yang urus kamu. Abang takut kamu kenapa-kenapa, kasian kamu nanti jaga Hafiz sendirian," ujar Bang Habib sebelum pergi kerja."Sheila takut ngerepotin Ibu Bang," sahutku lirih menahan rasa sakit dikepala."Uda gapapa, ibu uda biasa Abang repotin," ucap Bang Habib yang langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Sebenarnya aku memang sangat butuh bantuan Ibu mertuaku saat ini, rasanya aku pun tidak sanggup jika mengurus Hafiz sendirian dalam posisi mual-mual."Sebentar lagi Ibu kesini, kamu sarapan dulu aja mumpung Hafiz masih tidur. Tadi uda abang masakin nasi goreng, A
POV HABIB…Aku sangat kesal dengan Sheila, ada saja tingkahnya untuk mengerjaiku. Sheila pasti sengaja tidak memberitahu Ibu bahwa ia sedang hamil, karena dia ingin membuatku terkena omelan Ibu."Ayo, Habib anterin Ibu pulang," ajakku menenteng helm."Ihh, ngusir kamu bib?" tanya Ibu melihatku dengan tatapan tidak suka."Ya bukannya mengusir, nanti Ibu dicariin Ayah kalau gak pulang-pulang," kilahku, padahal aku memang sengaja ingin Ibu cepat-cepat pulang agar bisa memarahi Sheila. Jika ada Ibu disini aku tidak berani berkutik sedikitpun, karena Ibu pasti akan menerkamku jika berani menyentuh menantu kesayangannya."Assalamualaikum." Tiba-tiba saja terdengar suara Ayah dari depan pintu, beliau menenteng dua buah tas besar masuk kedalam rumah."Waalaikumsalam. Itu Ayah datang," ujar Ibu sambil menunjuk keluar."Loh, kok Ayah bawa tas besar-besar mau kemana?" tanyaku bingung."Ya mau menginap disini lah! Sheila lagi sakit nanti gak ada yang jagain cucu kesayangan Ayah, jadi Ayah sama Ib
POV HABIB…Dengan secepatnya aku membawa sepeda motorku melaju, tidak ada sedikitpun terdengar tangisan Hafiz dalam gendongan Ayah."Ayah Hafiz tidur?" tanyaku dalam keadaan panik."Iya, sudah kamu fokus bawa motor aja. Hafiz gak kenapa-kenapa kok,"sahut Ayah.Sesampainya dirumah sakit dengan segera aku menggendong Hafiz dan menuju resepsionis, saat melihat keadaan Hafiz perawat disana langsung membawa Hafiz ke UGD. Apakah separah itu sakit yang diderita Hafiz fikirku. Hatiku gelisa berjalan mondar-mandir di depan pintu tempat Hafiz dirawat, sesekali aku mengintip dari cela kaca pintu. Putra sulung kesayanganku sedang di kerumuni tiga perawat dan satu orang Dokter. Pikiranku semakin berkecamuk, tidak henti-hentinya aku memanjatkan doa untuk kesembuhan putraku.Drttt…Tidak lama kemudian ponselku bergetar, dengan cepat aku mengeluarkannya dari dalam saku. Tertulis jelas Mbak Rina manajer kantor yang menelpon, aku lupa meminta izin cuti hari ini."Assalamualaikum Habib," ucap Rina manaj
Kaki-kakiku tidak sanggup lagi untuk melangkah, aku berjalan dengan gontai sembari berpegangan pada dinding-dinding bangunan. Air mata terus saja mengalir tanpa henti, aku tau air mata ini tiada artinya, air mata ini tidak bisa memberi kesembuhan untuk Hafiz. Akan tetapi, aku tidak dapat menahannya untuk tidak jatuh. Kini duniaku terasa runtuh luluh lantah habis seperti diterpa tsunami."Habib kamu kenapa?" tanya Ayah dengan mimik wajah panik, aku hanya terdiam sembari terus merintih. Cengeng? Ya aku memang cengeng untuk masalah anak dan istriku. Aku baru saja berusaha untuk menjadi Suami dan Ayah yang baik, tetapi ada saja ujian yang menerpa jalan hidupku."Habib jawab Ayah, kenapa kamu nangis!" seru Ayah menggoyang-goyangkan tubuhku yang membuat aku jatuh dan terduduk lemas di lantai. Aku meraung-raung di bawah Kaki Ayah, dan terus saja memanggil nama Hafiz."Bicara Habib! Bicara, ada apa dengan Hafiz!" teriak Ayah semakin panik."Ha… Ha… Hafiz menderita jantung bocor Ayah," sahutku
"Nak," ujar Ayah menepuk bahuku pelan."Ada apa Ayah?" tanyaku membalikkan badan."Ayah pulang dulu mengambil keperluan kita untuk menginap disini, kamu jaga Hafiz sendiri dulu gapapa kan?""Iya gapapa kok. Oh ya, Ayah aku titip ambilkan laptop kerjaku ya, nanti tanya Sheila aja dimana soalnya aku harus menyelesaikan pekerjaanku, jika tidak aku bisa kena PHK.""Iya, nanti Ayah bawakan. Sudah tidak ada yang lain kan?""Tidak, itu saja."Ayah langsung berlalu pergi keluar meninggalkan aku seorang diri, untuk sekarang kami tidak diperbolehkan masuk kedalam ruangan Hafiz dirawat. Jadi, mau tidak mau kami hanya bisa menunggunya dari luar saja.Aku duduk disana sambil memainkan ponsel di tangan, aku mencoba mencari tahu dari internet dimana bisa mencari Dokter Ahli jantung. Akan tetapi, hasilnya nihil dan benar yang dikatakan Dokter Revan di daerah sini sangat susah menemukannya. Kalaupun ada, Hafiz harus melakukan operasi di luar provinsi yang terdapat Dokter ahli jantung."Habib," sapa se
"Maaf Wenda, aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku tidak ingin menyakiti istriku, dan kini aku sedang dilanda masalah. Jadi, aku mohon sama kamu jangan membuat masalah baru, kita berteman saja." Aku melepas genggaman tangan Wenda yang begitu erat, seketika mimik wajah Wenda berubah. Matanya berkaca-kaca dan wajahnya memerah, seakan ia sedang menahan tangis."Oke, maaf ya sudah ganggu!" pamitnya yang langsung berlalu pergi. Belum sempat saling bertanya ada keperluan apa dirumah sakit, Wenda malah langsung saja terang-terangan mengungkapkan perasaannya, dan kini malah pergi begitu saja.Kami putus bukan sebab keinginan kami sendiri, dan bahkan tidak ada kata putus dalam hubungan kami. Kesibukan masing-masing mengejar pendidikan lah, yang membuat kami tidak lagi saling berkabar dan lost kontak. Kami berkomitmen untuk saling menunggu sampai sama-sama sukses nanti akan bertemu lagi dan menikah, tetapi sayangnya belum lagi terlaksana janji itu aku sudah di jodohkan oleh kedua orang tuaku.