Setelah kejadian malam itu aku tidak bertegur sapa dengan Bang Habib, aku diam dan ia malah semakin mendiami ku. Ada rasa rindu dan ingin menyapanya, tapi keegoisan mengalahkan kerinduan di dalam dada. Kami bicara hanya seperlunya saja, bahkan kini kami bagaikan dua orang asing yang setiap hari bertemu.Beberapa hari berlalu, Hafiz sudah siuman dan keadaannya semakin membaik, walaupun tidak pulih sepenuhnya. Aku sangat bahagia melihatnya kembali membuka mata, tersenyum dan bahkan ia mengoceh seperti biasanya. Masyaallah, aku sangat merindukan momen tersebut. Setelah dua hari Hafiz siuman kami diperbolehkan untuk membawanya pulang, rasanya aku sangat bahagia karena bisa membawa putraku keluar dari rumah sakit yang pasti sangat menyiksanya.Setelah kepulangan Hafiz, aku dan Bang Habib masih saling diam dan hanya bertegur sapa seperlunya. Sudah sangat lama kami seperti ini, tetapi tidak ada satupun dari kami yang mau mengalah untuk meminta maaf dan memperbaiki semuanya. Rasa gengsi terus
"Mbak, mbak Wenda kamu kenapa malah melamun? Kalau gak bisa bantu juga gapapa kok Mbak!" seruku sambil menaik turunkan telapak tangan tepat di depan wajahnya."Ehh, maaf maaf. Aku pasti bantu kok Shel, kebetulan minggu depan aku free," sahutnya gelagapan."Makasih ya Mbak, uda mau selalu membantu keluarga kami," ujarku tersenyum tipis."Iya sama-sama."Kami saling bertatapan dan melempar senyuman, ku pandangi wajah cantik Wenda terlihat bahwa dia adalah wanita yang polos dan baik hati, seperti hal yang tidak mungkin jika ia menjadi pelakor dalam rumah tangga orang. Akan tetapi, gerak-geriknya sangat mencurigakan. Ia terlihat sangat mencintai suamiku, tetapi kenapa ia sangat baik kepadaku? Ah, entah lah. Aku membuang segala pikiran buruk yang ada di kepala, dan melanjutkan bermain dengan Hafiz dan juga Wenda. Seperti biasa, saat sore hari aku selalu membawa Hafiz untuk bermain di teras rumah, ia memang sangat suka bermain di luar karena udaranya yang jauh lebih sejuk, dan banyak anak
Wenda melirik arloji yang melingkar di tangan kanannya, hari memang sudah mulai petang, ia pun berpamitan pulang. Tidak lama setelah Wenda pulang, aku hendak masuk ke dalam rumah dan tiba-tiba saja Bang Habib sampai dirumah. Aku langsung mencium punggung tangan Bang Habib, padahal kami masih marahan, tetapi entah mengapa hari itu aku lupa dan menyambutnya penuh kehangatan seperti biasanya."Kamu uda gak merajuk lagi Dek?" tanyanya heran sambil meletakkan tangannya di dahiku. "Kamu juga gak lagi sakit kok, berarti kamu uda gak merajuk lagi kan?" tanyanya lagi memastikan. Seketika aku termenung mendengar ucapannya, dan aku baru sadar dengan apa yang aku lakukan tadi. Mengapa aku bisa lupa dan menyambutnya saat pulang, padahal tadi pagi kami masih marahan dan belum berbaikan. Duh, pasti dia jadi geer nih!Aku langsung membalikkan badan dan berjalan masuk kedalam rumah meninggalkan Bang Habib, ia terus saja mengekori aku dari belakang sembari tanpa henti memanggil namaku. Aku tidak menghi
"Bagus ya, pantesan aja aku diceraikan oleh Mas Habib. Ternyata kamu dalangnya! Kamu yang sudah merebut Mas Habib dariku!" seru Fanny dengan suara lantang, matanya melotot menatapku seolah tidak suka."Ada perlu apa kamu kesini?" tanyaku datar yang langsung pada intinya saja, aku tidak ingin menanggapi wanita gila yang tidak punya sopan santun. Umurnya masih sangat muda dan jauh di bawahku, tapi cara bicaranya seperti sudah lebih tua dariku."Suka-suka aku lah mau ngapain, apa urusannya denganmu? Yang jelas aku kesini mau ketemu dengan suamiku!""Suami mu siapa? Gak ada suamimu disini," sahutku sedikit terkekeh."Mas Habib itu suamiku!" Spontan aku tertawa keras, bisa-bisanya ia mengakui Bang Habib sebagai suaminya. Bukankah sudah jelas mereka resmi bercerai, dan bahkan surat cerainya juga sudah keluar dari pengadilan agama."Sudah lah, kalau tidak ada yang penting lebih baik kamu pulang. Aku dan anakku mau istirahat," titahku yang hendak menutup pintu, spontan dia langsung menahanny
"Emangnya malem-malem gini ada topeng monyet ya?" tanya Bang Habib heran sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ada, mantan istri Abang itu lah yang jadi topeng monyetnya!""Ha... Maksud kamu sih Fanny datang kesini? Mau ngapain lagi dia?""Entah, mau minta harta gono-gini kali, atau mau minta aku balikin Abang ke dia!""Ah, ada-ada saja kamu ini Dek. Sudahlah, mari kita masuk. Lebih baik kita bicarakan keadaan Aisyah daripada membicarakan wanita gila itu!""Walau gila begitu, dia juga pernah buat Abang jadi klepek-klepek," cibir ku yang mengekori Bang Habib berjalan masuk kedalam rumah.Bang Habib tidak menghiraukan perkataanku, ia langsung menyambar handuk di kamar dan bergegas untuk mandi. Ia pasti sangat lelah hari ini, karena satu harian belum juga istirahat dan bahkan ia belum ada makan sesuap nasi pun malam ini.Aku menunggu Bang Habib sampai selesai mandi dikamar sambil menyusui Hafiz. "Dek, Hafiz disambung susu formula aja deh kayaknya. Kamu kan lagi hamil emangnya gap
"Abi pergi kerja dulu ya sayang, Hafiz jaga Umi dirumah." Bang Habib berpamitan pada Hafiz."Papapapa," sahut Hafiz yang terus mengoceh sambil memainkan kerincingan di tangannya. Bang Habib pun mencium pipi Hafiz dengan lembut, lalu menyodorkan tangannya padaku. Dengan sigap aku mencium punggung tangannya, lalu ia mencium dahiku seperti biasanya."Adek baik-baik dirumah ya," ujarnya seraya memakai helm."Iya, Abang hati-hati dijalan," sahutku tersenyum tipis.Baru saja Bang Habib hendak menjalankan kuda besi kesayangannya, tiba-tiba saja entah dari mana asal datangnya Fanny, ia berlari memeluk Bang Habib dari belakang. Aku saling berpandangan dengan Bang Habib, spontan ia langsung bangkit dan mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Fanny."Apa-apaan sih Fan, lepasin gak!" seru Bang Habib menepis tangan Fanny, tetapi wanita itu semakin mengeratkan pelukannya. Aku yang tidak terima suamiku dipeluk wanita lain pun ikut turun tangan menariknya, tetapi tetap saja tidak berhasil."Mas Habib
POV HABIB…Aku bingung setengah mati menghadapi dua perempuan yang ada di hadapanku, bukannya ingin membela Fanny. Akan tetapi, aku takut jika tindakan kekerasan yang dilakukan Sheila malah membuatnya dituntut. Aku malah berpikir bahwa ini semua adalah jebakan dari Fanny, karena satupun kata-katanya memang tidak ada yang dapat dipercaya. Wanita itu tidak mungkin meminta kembali padaku karena cinta, pasti ada maksud tertentu yang ingin dituju. Aku hafal betul sifatnya, yang ada di kepala Fanny hanyalah uang dan uang."Sheila lepaskan tanganmu!" titahku dengan tegas."Apa? Kamu mau membela wanita ini!" teriaknya melototkan mata. ini baru pertama kalinya Sheila menentang perkataanku, apalagi melototkan matanya ia tidak pernah berani seperti ini sebelumnya. Entah mengapa semenjak aku pernah menyakitinya, ia sangat sensitif dengan masalah kami yang menyangkut wanita lain."Bukan, aku bukan bermaksud membelanya, tapi tolong lepaskan dan dengar penjelasanku terlebih dahulu," pintaku merendah
"Bang, jaga Hafiz sebentar ya. Sheila mau ke warung beli sayuran." Suara itu membuatku terhenyak, tidak salah dengar lagi kan telingaku sekarang? Itu benar-benar Sheila yang memanggilku?"Iya sayang," sahutku senang, dan langsung bangkit berjalan menuju ke dalam rumah. Aku menatap tetangga kami dengan senyuman mengejek, ia terlihat tidak suka sambil menaikan bibir atasnya dan langsung masuk kedalam rumah. Hahahah, aku tertawa di dalam hati. Sangat puas rasanya bisa membalas perkataan tetangga rese tanpa harus berdebat."Adek uda gak marah sama Abang?" tanyaku menggoda Sheila sambil menoel dagunya."Siapa bilang uda gak marah? Aku cuma gak enak aja jadi bahan gosipan tetangga kalau kita ribut!" sahutnya dengan ketus."Ah yang bener?" godaku lagi."Abang mau Sheila kunci lagi?" ancam Sheila."Enggak, enggak!""Ya udah masuk!""Iya, iya." Aku tertunduk lemas berjalan masuk kedalam rumah, rasanya sakit sekali di galakin Sheila seperti ini. Apa mungkin ini yang dia rasakan dulu? Aku malah