POV HABIB…
Kini aku sudah sendiri dan bisa bebas mencari pengganti Sheila, tetapi permasalahannya aku masih sering mencari Sheila karena tidak terbiasa hidup sendiri. Tidak ada lagi yang membuatkan aku sarapan, tidak ada lagi yang membuatkan ku bekal, tidak ada lagi yang membersihkan rumah, tidak ada lagi yang mencucikan bajuku dan tidak ada lagi yang menemani tidurku. Kini aku hanya bisa menikmati kehidupanku penuh kesendirian."Permisi, saya boleh duduk disini mas. Soalnya tempat duduk yang lain sudah penuh," sapa seorang wanita cantik berambut cokelat yang membuyarkan lamunanku."Eh, iya silahkan Mbak," sahutku mempersilahkan nya duduk.Wanita itu terus menatapku sambil tersenyum, aku mencoba melihat diriku apa mungkin ada sesuatu yang aneh? Akan tetapi tidak ada sedikitpun yang aneh dari diriku. Aku mencoba memberanikan diri untuk menegurnya, rasanya aku sangat risih dan menjadi salah tingkah jika diperhatikan seperti itu."Mbak kenapa liatin aku seperti itu ya? Apa ada yang aneh denganku?""Eh, maaf Mas kalau saya buat Masnya jadi risih. Soalnya saya belum pernah liat cowok setampan Mas," sahutnya cengengesan.Aku hanya tertawa kecil menanggapi ucapannya, ia sangat jujur dan lucu menurutku. Tidak butuh waktu lama kami menjadi akrab, dan entah mengapa aku menjadi nyaman dengannya. Kami saling bertukar nomor ponsel dan juga alamat rumah."Mbak kerja dimana kalau boleh tau?" tanyaku sedikit penasaran."Saya masih sekolah Mas, baru mau lulus SMA tahun ini."Aku sangat terkejut mendengarnya, bagaimana bisa aku dekat dengan bocah belasan tahun itu, sementara umurku sudah menginjak kepala tiga."Jadi umurmu belum ada dua puluh tahun?""Hehehe, umurku masih delapan belas tahun Mas," sahutnya malu-malu.Mendengar ucapannya aku tertawa kecil, dan entah mengapa aku malah semakin tertantang untuk mendekatinya. Baru kali ini aku dekat dengan wanita yang umurnya jauh dibawahku, apa lagi sekarang aku sudah menyandang status duda. Aku menatap arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, jam sudah menunjukan pukul dua tepat, jam makan siang ku sudah habis dan aku harus bergegas kembali ke kantor."Maaf nih saya duluan ya, jam makan siang saya sudah habis. Nanti aku hubungi kamu Dek," ucapku pada gadis belia itu."Iya Mas," sahutnya sembari tersenyum tipis. Senyumannya benar-benar manis sampai membuat jantungku berdegup kencang.Dengan cepat aku melangkah pergi sambil melambaikan tangan ke arah gadis itu, karena tidak memperhatikan jalan sampai-sampai aku menabrak seseorang yang mau masuk ke dalam cafe tersebut."Maaf Mbak saya gak sengaja," ucapku pada seseorang yang ku tabrak, saat aku melihat wajahnya betapa terkejutnya aku seseorang itu adalah Sheila. Ia berpenampilan sangat berbeda dari biasanya, sangat cantik dan menawan tidak seperti dulu saat masih bersamaku. Padahal baru tadi malam dia pergi dari rumahku, bisa-bisanya sekarang penampilannya sudah berubah total."Sheila?""Siapa ya?" ucapnya seolah tidak mengenalku, ia langsung berlalu pergi meninggalkan ku dan menghampiri seorang pria yang tidak ku kenal. Aku mematung menatap pemandangan yang membuat hatiku terbakar, dengan murka aku menghampiri mereka dan langsung menggebrak meja. Aku tidak lagi memperdulikan orang-orang disekitarku, kini aku hanya ingin mendapat penjelasan dari Sheila."Dia siapa Shel? Secepat itu kamu melupakan ku dan mendapat penggantiku!" Aku berteriak sekeras mungkin, tetapi Sheila malah berlalu pergi sambil menggandeng lengan pria asing tersebut.
"Ayo Bang kita pergi, ada orang gila disini." Aku sangat murka mendengar ucapan Sheila yang sangat menyakitkan hati, dengan cepat kutarik tangannya dari genggaman pria tersebut."Shel, kamu gak bisa giniin aku! Aku gak terima kalau kamu secepat ini mendapat penggantiku, bahkan surat cerai kita juga belum diurus kamu sudah kegatelan dengan pria lain!""Maaf ya Mas, jangan kasar sama perempuan dong," sela pria asing yang bersama Sheila."Kamu gak usah ikut campur!" Aku menunjuknya seolah tidak suka, ya memang aku tidak suka melihat mantan istriku dekat dengan pria lain.
Sheila mendorong tubuhku hingga tersungkur di lantai, aku tidak pernah tahu mengapa ia bisa sekuat itu melawanku. Apa karena selama ini aku selalu membiarkan nya mengerjakan semua hal sendiri, hingga ia menjadi sangat kuat."Secepatnya aku bakalan urus surat cerai kita, dan aku peringati jangan pernah ikut campur urusanku. Kalau kita bertemu anggap aja kita gak kenal!" seru Sheila tajam dan menusuk. Ia pergi berlalu begitu saja meninggalkanku, aku benar-benar terlihat sangat menyedihkan kala itu. Gadis yang baru aku kenal tadi langsung membantuku saat Sheila sudah pergi, ia menawarkan untuk mengantarkan ku pulang, tetapi aku menolak. Kini aku hanya ingin sendiri.POV SHEILA…Sebenarnya aku tidak tega melakukan hal seperti itu kepada Bang Habib, tetapi aku tidak ingin dianggap wanita lemah olehnya. Sejak tadi aku melihat ia berkenalan dengan wanita lain di cafe tersebut, hatiku benar-benar sakit dan kecewa padanya. Aku sengaja menabraknya dan menghampiri lelaki yang bahkan aku tidak mengenalnya, aku hanya ingin membalas perbuatan Bang Habib padaku."Maaf ya Bang, maaf banget saya udah ganggu waktunya," ucapku pada pria itu saat kami sudah cukup jauh dari cafe tersebut, ia tersenyum kecil menatapku dan tiba-tiba mengelus kepalaku dengan lembut."Gak papa, saya paham kenapa kamu lakukan ini. Saya udah liat semuanya, dan bagaimana kelakuan mantan suamimu itu." Aku berjalan mundur, dan menghindari sentuhannya. Bagaimanapun aku tetap risih disentuh dengan pria asing."Makasih Bang, kalau gitu aku permisi ya. Assalamualaikum," ucapku padanya sembari sedikit membungkukkan badan. Tidak ada jawaban darinya, ia malah tersenyum tipis melihatku."Saya non-
"Bang, aku mau kita rujuk. Kamu mau kan kembali sama aku," ucap Sheila sembari menggenggam tangan Habib."Bukannya kamu uda ada laki-laki lain?" tanya Habib."Aku kemarin cuma akting Bang, aku gak mau cerai sama kamu. Aku mohon Bang," rintihnya terisak-isak. Habib melepaskan tangannya dari genggaman Sheila lalu merangkul gadis yang sejak tadi bersamanya."Maaf Shel aku gak bisa rujuk sama kamu, setelah surat cerai kita selesai aku akan menikahi Fanny!"Wanita itu memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya lalu berkata, "kamu telat Mbak, aku baru saja dilamar Mas Habib!"Ingin rasanya aku mencakar wajah wanita tidak tau malu itu, sekolah juga belum kelar, tapi uda berhasil jadi pelakor kelas kakap. Mau jadi apa negeri ini, jika kelakuan anak dibawah umur sudah melampaui batas kewajaran."Emangnya kamu dapat restu dari orang tuamu untuk menikah lagi Bib? Aku yakin orang tuamu pasti belum tau tentang perceraian antara kamu dan Sheila," ucapku mengingatkan Habib."Masalah itu bukan
Sudah larut sore kedua orang tuaku tidak kunjung pulang, mereka masih saja di rumahku dan terus berusaha menelpon Sheila, dan untunglah Sheila tidak menjawab panggilan dari mereka jika tidak aku bisa mati dibuatnya."Kamu gak lagi berantem sama Sheila kan Bib?" tanya Ibu dengan tatapan menyelidik."Nggak kok Bu, mungkin Sheila lagi sibuk. Uda lah Habib mau tiduran," sahutku yang langsung berlalu pergi masuk kedalam kamar.Aku terus berharap semoga Sheila benar-benar enggan menjawab telepon dari Ibu, untuk kali ini aku belum siap mengakui tentang perceraian kami, tetapi baru saja aku ingin memejamkan mata tiba-tiba Ibu berteriak memanggil namaku.Ser…Darahku mengalir dengan cepat, dari suaranya Ibu seperti sedang marah. Apakah Sheila sudah menjawab telepon dari Ibu dan memberitahu semuanya? Aku melangkahkan kaki keluar dengan rasa takut yang memuncak, kulihat Ayah dan Ibu tertunduk dengan raut wajah yang tidak enak dipandang."A… Ad… Ada apa Bu?" tanyaku terbata-bata, perasaanku benar
POV ARIFIN (Ayah Habib)...Aku pulang dari rumah anak semata wayangku penuh dengan rasa kecewa, aku banyak mengajarkannya ilmu agama dan kini aku tidak menyangka dia tega menyakiti hati istrinya sendiri. Pernikahan mereka memanglah sebuah perjodohan yang kami buat, awalnya Habib tidak setuju dengan pernikahan mereka, tetapi kami memaksa karena yakin bahwa Sheila adalah gadis yang baik dan cocok dijadikan istri, urusan cinta nanti juga akan tumbuh seiring berjalannya waktu pikirku, tetapi kini malah terjadi perpisahan diantara mereka. Sepanjang perjalanan pulang Istriku terus saja menangis, ia pasti memikirkan bagaimana perasaan Sheila yang sangat rapuh dan malah ditinggalkan oleh Habib. Gadis yatim piatu itu memang sudah kami anggap seperti anak sendiri dari ia masih kecil. Sheila adalah gadis polos yang sangat ceria, ia juga rendah hati dan pemaaf. Ia tidak pernah marah jika orang berbuat jahat padanya, tetapi ia sangat rapuh dengan perkataan seseorang yang tajam.Aku dan Istriku sa
POV Habib…Aku masih diam mematung tanpa kata, seketika sudut mataku berembun mengingat semua perkataan Ayah barusan. Segitu pentingkah Sheila untuk Ayah dan Ibu, hingga mereka rela menganggapku bukan anaknya lagi."Ahhhhhh…" Aku berteriak frustasi sambil mengacak-acak rambutku, hatiku benar-benar hancur kala itu."Mas, kamu kenapa?" Tiba-tiba saja suara lembut yang tidak asing lagi bagiku terdengar, Fanny menggenggam tanganku dan berusaha membantuku untuk bangkit."Kamu kenapa tiba-tiba ada disini?" tanyaku bingung melihat kehadirannya yang secara tiba-tiba muncul. "Maaf, aku tadi sengaja ikutin Mas pulang.""Jadi kamu lihat semua pertengkaran aku dan orang tuaku?"Fanny menganggukkan kepalanya pelan, malu rasanya dibuang oleh keluarga sendiri dan disaksikan dengan orang yang kucintai. Fanny membelai wajahku dengan lembut, dan ia mendaratkan ciuman di bibirku. Spontan aku mendorongnya secara refleks, aku memang ingin menikahinya tetapi untuk hal yang intim seperti itu rasanya tabu k
POV SHEILA…Sudah beberapa minggu setelah kejadian di Cafe waktu itu, dan kini keadaanku sekarang sudah lebih baik, aku sudah bisa melakukan aktivitas dengan normal, dan yang paling aku suka kini aku sudah sadar bahwa Bang Habib bukan orang yang tepat untukku. Tiba-tiba aku tersadar, bahwa kalung yang ditemukan bersamaku sejak bayi tertinggal di rumah Bang Habib. Duh, bodohnya diriku ini bagaimana bisa aku seceroboh ini. Sejak tadi aku hanya berjalan mondar-mandir di ruang tamu, aku masih ragu untuk kembali kesana, tetapi aku tidak bisa membiarkan kalung itu hilang begitu saja karena hanya kalung itu kunci satu-satunya aku bisa bertemu dengan orang tua kandungku."Kamu kenapa Shel?" tanya Aisyah mengagetkan ku, spontan aku langsung terhenyak dari lamunan."Kamu ini ngagetin saja," ucapku mengelus dada."Ya maaf, habisnya dari tadi aku perhatikan kamu mondar-mandir seperti setrikaan!""Emm, gak papa kok.""Yakin?""Iya loh." Aku mencubit pipi Aisyah dengan gemas, masalah kalung aku tid
Aku mencoba membuang pikiran buruk itu, aku tidak mau pikiran burukku malah menjadi suudzon. Aku mencoba kembali menjernihkan isi kepalaku dan kembali keluar dari rumah itu, aku melihat Bang Habib duduk termenung di teras rumah, tampaknya dia sedang menungguku keluar."Ehem…" Aku berdehem untuk memberi kode bahwa aku telah keluar dari rumahnya. Spontan beliau langsung menoleh dan melihat kearah ku."Aku hanya mengambil ini, kamu boleh periksa aku tidak mencuri apa-apa." Aku merentangkan kedua tanganku, agar Bang Habib bisa melihat dengan jelas jika aku tidak mengambil barang apa pun dari rumahnya."Aku percaya padamu, lagipula ini juga rumahmu," sahutnya sembari tersenyum tipis. Rasanya aku ingin muntah mendengar ucapannya, bila mengingat lipstik yang aku temukan tadi di dalam kamar."Hahaha." Aku hanya tertawa mendengar ocehannya, bagiku itu guyonan semata untuk menghibur diri. Sungguh lelaki itu sangat lucu, entah memang sifatnya yang plin-plan atau mau menang sana sini dan tidak cu
"Bagaimanapun juga kamu harus memberitahu Habib masalah ini, karena ia tetap Ayah dari anak ini. Perihal kalian ingin rujuk atau tidak itu terserah kalian," ucap Abi memberi nasihat, beliau memang selalu bijak dalam mengambil keputusan dan selalu mengesampingkan egonya."Iya, apa yang di bilang Abi benar. Bagaimana kalau kita ke rumah Habib sekarang, bicarakan masalah ini baik-baik," celetuk Umi menyambung ucapan Abi. Sementara aku hanya bisa menganggukan kepala pelan sembari mengulas senyuman tipis."Bang Habib saja tidak ada datang kesini dengan itikad rujuk, rasanya sangat berat ingin memberitahu masalah ini," gumamku dalam hati, tetapi aku hanya bisa menahan kata-kata itu di ujung lidah, karena aku tidak mau membantah kata-kata kedua orang tua angkatku. "Baiklah Umi dan Abi, ayo kita kerumah Bang Habib untuk membicarakan masalah ini." Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk mengajak mereka, sementara Aisyah terus menatapku sambil mengacungkan ibu jarinya ke udara untuk membe