"Hahaha, aku mandul ya? Iya aku memang mandul, dan pantas untuk diceraikan Bang!"
"Kamu benar-benar menguji kesabaranku ya, oke kalau kamu mau cerai. Mulai sekarang kamu aku talak!"Aku membanting kue yang ada di tanganku hingga berserakan di lantai, sementara Sheila masih diam mematung dengan air matanya yang berlinang. Aku lelah dengan sikapnya yang egois, ia benar-benar tidak bisa mengerti suami. Mungkin perpisahan adalah hal yang benar untuk kami, lagi pula hubungan kami sudah tidak sehat untuk dilanjutkan.Aku berlalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, aku mengguyur kepalaku yang panas untuk meredam emosi. Tidak lama kemudian setelah aku selesai mandi, kulihat Sheila dikamar sedang membereskan pakaiannya. Tidak ada sepatah katapun yang aku ucapkan saat Sheila pergi, bahkan ia juga tidak berkata apa-apa selain menangis.POV SHEILA…
Hari yang seharusnya spesial untuk kami, malah menjadi hari malapetaka. Aku tidak tau akan pergi kemana sekarang, tetapi yang pasti aku ingin pergi sejauh mungkin agar tidak bertemu dengan pria itu lagi.Sebenarnya selama ini aku sadar bahwa suamiku tidak mencintaiku, tetapi aku terlalu naif dan percaya bahwa suatu saat aku dapat meluluhkan hatinya. Aku menyusuri jalanan yang genap dengan derai air mata, tidak ada hujan karena ini bukan drama ikan terbang."Sheila?" sapa Aisyah yang kebetulan lewat, seketika ia menghentikan laju sepeda motornya dan menghampiriku dengan raut wajah panik."Kamu kenapa Shel? Kamu mau kemana?" tanyanya bingung menatapku yang menarik seonggok koper di tangan."Aku gak tau mau kemana, tetapi sekarang aku sudah diceraikan suamiku," sahutku menangis sesenggukan"Astagfirullahaladzim." Aisyah memelukku dalam dekapannya, ia menangis bersamaku."Ayo, kita pulang ke rumah umi," ajak nya sembari membantuku mengangkat koper keatas sepeda motornya, aku mengangguk pasrah dan merasa beruntung malam ini bisa bertemu dengan Aisyah, kalau tidak mungkin aku sudah jadi gelandangan malam itu.Aisyah adalah teman satu panti denganku, bisa dikatakan kami adalah sahabat paling dekat di panti. Kami sama-sama diangkat menjadi anak oleh umi, tetapi hanya Aisyah yang ikut tinggal dengan orang tua angkat kami. Aku tidak bisa meninggalkan panti begitu saja saat itu, dan akhirnya aku malah menikah dengan pria jahat itu."Kamu yang sabar ya Shel, laki-laki itu memang gak baik buatmu," ucap Aisyah saat diperjalanan."Ia Ais, dia mengatakan aku mandul dan ingin menikah lagi.""Astagfirullah, dasar laki-laki iblis! Aku tau bagaimana perasaanmu sekarang, tetapi kamu seharusnya bisa bersyukur karena lebih cepat berpisah darinya itu lebih baik. Dia aja bisa mengaku jomblo kepadaku, dan tidak tahu malunya lagi ia merayuku, padahal sudah jelas dia itu punya istri.""Iya, dia terlalu bodoh tidak mengenalimu dan Umi, sampai masuk dalam jebakan kamu!""Aku sudah lama curiga dengan suamimu, jadi pas ia menyerempet ku dan tidak mengenalku, ya aku gunakan saja untuk mengetes kesetiaannya padamu. Maaf ya Shel waktu itu aku nekat.""Iya gapapa kok Ais, seharusnya aku malah berterima kasih padamu."Sesampainya di rumah, Umi sangat kaget melihat kehadiranku. Ia menangis tersedu-sedu sembari terus memelukku dengan erat."Laki-laki itu memang pantas untuk kamu tinggalkan nak, disini masih ada Umi yang siap menerima kamu!""Bukan Sheila yang meninggalkannya Umi," kataku menundukkan kepala, memang setelah kejadian Bang Habib menyerempet Aisyah Umi terus saja membujukku untuk berpisah, ia merasa Bang Habib bukanlah pria yang baik untukku."Maksud kamu?""Suami Sheila yang uda talak Sheila," sahutku meneteskan air mata."Astagfirullah, kamu yang kuat ya sayang. Kamu yang tabah, mari kita masuk kedalam agar kamu lebih tenang."Aku menganggukkan kepala dan mengikuti langkah kaki Umi, beliau memang bukan Ibu kandungku, tetapi perlakuannya sangat baik kepadaku melebihi Ibu kandungku sendiri yang bahkan aku tidak tau dimana rimbanya. Wanita paruh baya tersebut mengajakku duduk disofa, ia memberiku segelas air putih yang sejak tadi tak henti-henti menangis agar aku bisa lebih tenang."Jadi apa rencana kamu sekarang Shel?" tanya Aisyah."Aku gak tau Ais, untuk sekarang aku hanya ingin tenang dan tidak mau bertemu Bang Habib lagi," sahutku."Jangan seperti itu Shel, kamu harus terlihat kuat di hadapannya agar ia menyesal. Kalau bisa kamu harus lebih sering bertemu dengannya agar ia tidak bisa move on darimu, lelaki seperti itu harus diberi pelajaran!" sungut Aisyah mengepalkan tangannya."Tapi sepertinya aku tidak bisa Ais." Aku menggelengkan kepala sembari menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, tetapi Aisyah menarik tanganku dan menggenggamnya dengan erat."Kamu pasti bisa, aku yakin kamu jauh lebih kuat dari yang aku pikirkan."Tidak terasa waktu sudah menjelang magrib, setelah selesai makan Bang Habib langsung mencuci piring. Hari ini ia sangat memanjakan aku sampai-sampai mencuci piring saja pun ia yang mengerjakan sendiri, semua ini ia lakukan hanya semata-mata untuk menebus semua kesalahannya tadi.****Keesokan harinya seperti biasa aku ikut dengan Bang Habib saat berangkat kerja, ia akan mengantarkan aku ke rumah sakit untuk menjaga Aisyah. Syukurlah ini hari terakhir Aisyah dirawat, karena keadaannya yang sudah mulai membaik sore ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang.“Hati-hati di jalan ya Bang,” kataku sambil mencium punggung tangan Bang Habib.Ia mengelus kepalaku dengan lembut lalu berkata, “adek juga hati-hati ya, jangan genit-genit sama Dokter yang ada disini.”“Siapa maksud Abang? Dokter Revan?”“Ya, pokoknya semua Dokter lah. Gak hanya Dokter saja pokoknya semua laki-laki,” ucapnya menoel hidungku pelan.“Ya ampun, Dokternya juga pilih-pilih. Mana mungkin mau sama Ibu beranak satu,” kataku m
"Tuh lah, rasain! Punya istri cantik, pintar, baik hati, rajin disia-siakan," sindir ku padanya. "Iya lah Abang salah, itu kan masa lalu gak usah dibahas lagi. Jadi sekarang Adek mau makan apa, biar Abang masakin?""Oke, karena Abang yang nantangin. Adek mau makan ayam geprek, sambalnya yang pedes ya Bang. Soalnya anak Abang lagi pengen makan yang pedes-pedes nih," ujarku sambil mengelus perut yang sudah mulai membuncit. "Siap Bos," kata Bang Habib yang ikut mengelus perutku. "Kalau gitu Abang keluar dulu ya, mau beli bahan-bahannya. Adek tunggu di kamar aja nanti kalau uda matang Abang panggil," imbuh Bang Habib mengelus kepalaku dengan lembut. Aku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala, lalu ia mencium keningku dan mencubit pipiku dengan gemas.Bang Habib berlalu pergi keluar kamar, tidak lama kemudian aku mendengar suara deru motornya pergi dan tidak butuh waktu yang lama ia sudah kembali. Awalnya aku susah curiga mengapa ia sangat cepat kembali, karena tukang potong ayam b
POV SHEILA… Rasa trauma masa lalu kini menghantuiku. Seandainya kamu jujur sejak awal Bang, aku tidak mungkin akan sesakit ini. Coba kau ada diposisiku sebentar saja, agar kau tau betapa hancurnya saat kebohongan-kebohongan mu menggerogoti batinku.Aku menyeka air mata yang membasahi pipi, setiap teriakan demi teriakan tidak di hiraukan oleh Bang Habib. Ia tetap kekeh mencengkram kaki-kakiku kuat, enggan memberi cela aku untuk pergi. "Tolong tetap disini Dek, malu sama Umi dan Abi kalau setiap ada masalah kita libatkan mereka. Aisyah sedang sakit, jangan buat tambah beban pikiran orang tua lagi," lirih Bang Habib merayu. Aku menelan saliva dengan susah payah, memang apa yang dikatakannya benar. Akan tetapi, hatiku terasa perih saat melihat wajahnya. Entah mengapa bayang-bayang wajah Wenda membuat aku membenci suamiku sendiri.Aku mulai mengendur dan meredam ego perlahan. Tanpa berkata apa-apa aku berbalik kembali masuk ke dalam kamar, ku hempaskan tas di tangan dan kuletakkan Hafiz
"Aku bawa mobil kok, jadi tidak perlu diantar. Kalau begitu aku pamit pulang ya, assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Wenda pun pergi menghilang masuk kedalam mobilnya, ia menyalakan mesin mobil lalu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada Hafiz."Mau aku antar," cibir Sheila menyindirku lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sofa sambil memainkan cream kue dengan sendok, tampaknya ia merasa sangat kesal denganku. Aku datang menghampirinya, lalu duduk tepat di sampingnya. Aku berusaha untuk membujuk Sheila dengan cara menggodanya, tetapi ia tidak peduli dan malah membalikkan tubuhnya membelakangiku. Bahkan ia juga menjauhkan Hafiz dariku, aku tidak dapat menyentuh anakku sendiri. Sontak hal itu membuat aku lepas kendali, emosi yang sejak tadi terpendam kini aku keluarkan semuanya "Kamu ini kenapa sih Dek? Dikit-dikit ngambek, buat suami bosen aja dirumah!" seruku kesal. "Oh jadi Abang bosan dirumah? Jadi, kenapa gak ikut Wenda pergi aja tadi!" sahutnya bersungu
Dia tinggal ngomong sih enak, gak ngerti posisiku seperti apa. Dia juga gak tau bagaimana kebaikan Wenda selama ini pada keluargaku, jadi bisa saja Ridwan bicara seperti itu.Aku menyesap kopi susu dingin yang diberi oleh Ridwan, kini rasanya aku tidak ingin memikirkan masalah apa pun. Otakku sudah terasa buntu memikirkan masalah pekerjaan, dan kini malah di tambah lagi perihal wanita yang tiada habisnya. Aku kembali masuk ke dalam kantor dan kembali bekerja. Niat hati tidak ingin memikirkan hal itu lagi, tetapi tetap saja aku kepikiran. Bagaimana bisa Sheila merencanakan hal seperti itu, kenapa dia bisa berpikir sejauh itu sih. Apa mungkin Risa hanya mengada-ngada saja? Ah Entahlah… Hari mulai menjelang sore, dengan pikiran yang masih berkecamuk aku pulang menunggangi kuda besi kesayanganku. Sepanjang perjalanan aku masih terus saja memikirkan ucapan Risa, bagaimana jika yang ia katakan benar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya hati Wenda nantinya. Dulu aku dan Wend
"Abi, silahkan duduk sini. Sheila buatkan teh ya," kata Sheila yang langsung bangkit dan hendak ke dapur. "Tidak usah repot-repot, Abi hanya sebentar kok," tolak Abi menahan Sheila. Sheila pun kembali dan duduk disamping Abi lalu berkata, "ini sebenarnya ada apa Abi?"Abi tersenyum tipis lalu menatapku, aku terus menunduk ketakutan. Jantungku berdetak tidak karuan, keringat dingin terus saja mengalir dari dahi."Jadi gini Shel, Umi kan sedang sakit. Kamu boleh gak jaga Aisyah dari pagi sampai siang saja, setelah itu Darwis yang bakal gantikan. Abi juga harus jaga Umi dirumah," tutur Abi pelan. Aku langsung merasa sangat lega saat mendengar penuturan beliau. Duh, Abi malam-malam sudah buat olahraga jantung saja batinku."Habib izinkan Sheila menjaga Aisyah untuk beberapa hari saja menggantikan Umi?" tanya Abi seraya menatapku. "Eh… Kalau Habib sih mengizinkan Abi, apalagi selama ini Aisyah yang selalu menemani Sheila saat menjaga Hafiz," sahutku sedikit gagu akibat spot jantung baru