Share

Bab 3

'Sudahlah Hamid jangan berpikir yang aneh-aneh. Mungkin Ria sedang butuh waktu untuk sendiri, menghilangkan kekecewaannya padamu. Kalau hatinya sudah tenang pasti dia akan menghubungimu.' batin Hamid yang berusaha  menjernihkan pikirannya.

Sebetulnya dari awal Ria kurang setuju dengan langkah yang diambil Hamid, bekerja di posisi sekarang ini (sebagai kuli bangunan). Beberapa kali Ria dan Hamid beradu pendapat, bahkan sampai sekarang pun perdebatan itu masih sering terjadi.

Ria menginginkan Hamid untuk bekerja di tempat yang lebih baik lagi. Namun, Hamid masih teguh dengan pendiriannya, bertahan sebagai kuli bangunan. Bukan karena Ria kurang bersyukur, namun mengingat biaya hidup dan sekolah anak yang tidaklah sedikit. Apalagi kalau sampai ibu Ria mengetahui Hamid sering memberi nafkah kurang. Masalah yang lebih besar akan menghampiri mereka, bahkan masalah itu bisa membuat rumah tangga mereka retak.

Sebelumnya, saat usaha Hamid mulai terlihat kurang baik, tanpa sepengetahuan sang istri  dia sudah mencoba melamar pekerjaan di berbagai tempat. Namun, dari semua lamaran yang dikirimkan, Hamid belum mendapatkan panggilan interview. Sampai akhirnya bengkel itu pun tutup dan Hamid belum mendapatkan pekerjaan.

Setelah satu minggu tutupnya bengkel. Mas Seno, sepupu Ria datang berkunjung ke rumah mereka. Dan mulailah mereka membahas mengenai pekerjaan. 

"Aku sebetulnya lagi cari kuli bangunan, Ham. Dari kemarin masih belum dapat. Kalau kamu ikut kerja saya, gimana? sambil kamu nunggu panggilan interview. Tapi ya begitu kerjaan kuli, berat dan upahnya sedikit."

"Mau mas, meski sedikit tidak apa-apa, yang penting halal tidak masalah."

"Ya sudah kalau begitu, besok lusa aku kesini buat jemput kamu."

" Iya, mas."

Keputusan itu mungkin terlihat sangat tergesa-gesa. Namun bagaimana lagi, karena kondisi ekonomi yang kurang baik. Hamid harus mengambil keputusan dengan cepat. Apalagi waktu itu Fahmi akan naik ke kelas VII pasti butuh biaya yang tidak sedikit.

-

-

-

-

Matahari sudah menampakkan sinar terangnya. Terlihat wajah Hamid sangat lesu. Karena semalaman dia tidak bisa tidur.

Diraihnya HP yang sedang tergeletak di meja. Kemudian dia memeriksa aplikasi berwarna hijau, dengan harapan ada chat masuk dari Ria, namun nyatanya nihil.

Jika ada uang Hamid ingin sekali pulang kampung, mencari istrinya. Namun bagaimana lagi, uangnya hanya cukup untuk makan saja.

Di sela-sela istirahat makan siang, Hamid mencoba menelfon beberapa teman dekat Ria, salah satunya Sari. Namun semua temannya tidak mengetahui keberadaan Ria.

-------

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikum salam, jawab Irsyad dari dalam rumah.

"Eh Irsyad, kamu ada di sini. Fahmi kemana?."

"Hehehe iya. Fahmi ada di dapur tante."

Tya berjalan menuju dapur untuk bertemu dengan Fahmi.

"Kamu lagi ngapain Fahmi?"

"Heheheh lagi masak Tante."

"Fahmi, ini tante bawakan makanan dari Bu Mutia. Bu Mutia tadi antar banyak makanan. Beliau sedang ada acara syukuran. Aku taruh di sini ya. Ngomong-ngomong ibu kamu ke mana?"

Belum sempat menjawab tiba-tiba ada suara perempuan dari arah depan.

"Ria..." 

"Ria..."

Bik Murti berteriak-teriak memanggil Ria, terlihat membawa secarik kertas yang berisi bon belanjaan.

Sudah 2 bulan ini Ria memberanikan diri bon sembako di Warung Bik Murti. Ya meski orangnya sangat cerewet, dan maunya menang sendiri. Tapi, mau bagaimana lagi, hanya dengan cara itu dia bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Fahmi langsung berlari menuju arah suara itu datang.

"Bik Murti, iya besok ya Bik." Fahmi tahu betul tujuan Bik Murti datang ke rumah untuk menagih hutang.

"Besok-besok gimana? wong ibu kamu sudah janji hari ini mau bayar. Eh ditungguin malah gak datang. Ini bon sudah 2 minggu."

"Iya Bik, besok ya. Uangnya masih belum ada."

"Kemana ibu kamu? bisa rugi aku kalau kayak gini, bayarnya telat."

"Iya, maaf ya Bik, sekarang ibu tidak ada di rumah, beliau sedang ada urusan. Pasti besok akan dilunasi."

"Ok, aku pegang omongan kamu. Awas saja kalau meleset. Tak s*di aku membantu keluarga kamu lagi."

"Iya Bik." 

Wanita itu lantas pergi meninggalkan rumah Fahmi.

Karena suaranya yang sangat kencang seperti petir. Membuat Tya penasaran dengan sosok wanita itu. Diam-diam dia mendengarkan pembicaraan mereka dari belakang.

"Fahmi, yang marah-marah tadi siapa?"

"Itu tadi Bik Murti, memang suaranya begitu jadi terlihat kayak marah-marah, padahal tidak. Sebetulnya orangnya baik kok." Fahmi berusaha menutupinya.

"Oh..ya udah tante pulang dulu. Ya."

"Iya tante."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

-------

Malam semakin larut. Jam menunjukkan pukul 23:00. Hamid melihat chat yang kemarin dikirim ke Ria sudah centang biru, secepat kilat Hamid menelfon Ria. Tak lama langsung tersambung.

"Halo..."

'Loh kok suaranya laki-laki.' batin Hamid.

"Halo..." masih terdengar suara di seberang sana.

"Halo ini dengan siapa? kenapa HP istri saya di anda?"

"Saya ad..." tiba-tiba telfon tersebut terputus. Hamid mencoba menelfonnya kembali. Namun sudah tidak aktif.

'jangan-jangan benar dugaanku. Ria sudah berani main api di belakangku. Ah.. tapi mana mungkin, aku yakin dia tidak seperti itu. Tapi siapa laki-laki itu?' Hamid semakin penasaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status