'Atau jangan-jangan mas Seno mengetahui sesuatu tentang akun tersebut. Atau bahkan mungkin dia mengenalnya. Apa dia sengaja baru memberitahuku sekarang, karena dia takut kalau aku akan tersinggung. Tapi kenapa dia berani menjelek-jelekkan sepupunya sendiri kepada aku? aku kan suaminya.
Yang jelas aku sangat yakin istriku bukan tipe orang seperti itu. Aku sudah melihat sendiri di aplikasi itu, Ria tidak menanggapi komentar akun [R. Ardiansyah] dan tidak berbalas pesan dengannya. Itu sudah cukup bagiku untuk mempercayai Ria. Menendengarkan mas Seno malah bikin pusing.' Batin Hamid setelah mentelaah cerita dari mas Seno.
Hamid tidak mau ambil pusing dengan omongan mas Seno. Dia lebih percaya dengan istrinya. karena kesetiaannya sudah tidak usah diragukan lagi. Kalau memang istrinya itu suka main belakang, pasti sejak lama Hamid sudah berstatus du*a.
"Sudahlah mas, jangan bahas itu aku tidak mau memikirkan hal yang aneh-aneh. Sekarang sudah waktunya kerja mas. Aku duluan."
Hamid meninggalkan Seno begitu saja. Dia bergegas menuju tempat kerja. Sedangkan Seno tetap di tempat sambil marah-marah atas sikap Hamid kepadanya.
"Woooo.. das*r bocah kurang *j*r susah banget kalau dikasih tahu." Sambil menunjuk Hamid menggunakan jari telunjuknya. Dia berasa gagal telah memberitahu Hamid atau lebih tepatnya menghasut Hamid.
Karena pembangunan proyek yang dikerjakan Hamid sedang di kejar deadline. Untuk mempercepat pembangunan proyek tersebut, semua pekerja diminta untuk lembur. Kali ini Hamid mengambil lembur karena badannya sudah benar-benar sehat. Selain itu dia bisa mendapatkan upah yang lumayan banyak dari jam kerja normal.
------
Kali ini Ria masuk kerja shift sore. Berangkat jam 3 pulang jam 10 malam.
Karena malam ini adalah minggu. Rumah makan tersebut sangat ramai penuh dengan pengunjung.
Dari sekian banyak pengunjung, Ria menangkap seorang laki-laki yang wajahnya yang sudah tidak asing lagi. Sedang duduk tidak jauh dari meja kasir.
'Loh... itu kan Pak Cipto, suami Bik Murti. Tapi itu siapa yang duduk di sebelahnya? masak itu Bik Murti tapi kok cantik banget, kelihatan mesra.'
Laki-laki itu berusia sekitar setengah abad, berambut jarang bisa dibilang botak karena faktor usia, mempunyai kumis agak tebal, dan perutnya sedikit mengembang maju ke depan.
Namun kali ini berbeda laki-laki itu datang dengan seorang wanita yang belum pernah Ria kenal. Wanita yang sedang duduk di sebelahnya itu terlihat lebih muda dan cantik berkulit putih berbadan ramping rambutnya panjang sebahu dan senyumnya sangat manis sekali.
Ada sedikit rasa penasaran menghampiri Ria.
Disela-sela melayani pelanggan, Ria melihat dengan lebih seksama dan ternyata benar memang wanita itu bukan Bik Murti.'Astagfirullah.. dia bukan Bik Murti, karena Bik Murti tidak secantik itu. Kalau anaknya pun juga bukan, kan anaknya laki-laki semua. Ya Allah semoga pikiranku ini salah. Mudah-mudahan wanita itu saudaranya yang belum aku kenal.'
Tidak lama kemudian, pak Cipto dan wanita tersebut menghampiri Ria untuk membayar makanan mereka. Ria pura-pura tidak tahu takutnya nanti malu atau merasa tidak enak kalau di sapa.
"Kayaknya saya kenal, ini mbak Ria istri mas Hamid kan?"
"Eemmm iya pak." Ria sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan pak Cipto takut nanti ada masalah dengannya.
"Oh.. jadi sekarang mba Ria kerja di sini."
"Iya pak Cipto."
"Saya duluan ya mbak Ria." Pak Cipto berpamitan dengan Ria.
"Baik pak silakan." Jawabnya dengan ramah.
'Ya Allah rasanya lega sekali mereka sudah pergi.'
"Mbak Ria kenal dengan Pak Cipto mbk?" tanya salah satu rekan kerjanya, Desi.
"Iya kenal. Kenapa Des?"
"Dia adalah salah satu pelanggan tetap di sini loh mbk, beliau sering banget makan malam ke sini bareng istrinya. Kapan lalu juga kesini tapi mbak Ria pas ke kamar mandi. Istrinya cantik dan masih muda ya mbak. Pasti seneng banget punya istri secantik itu."
Ria hanya melongo mendengar cerita dari Desi.
Tak lama kemudian Pak Cipto kembali masuk ke rumah makan dan mendatangi Ria. Dia memberikan sebuah amplop berwarna coklat dan disodorkan kepada Ria.
Dengan membisikkan sesuatu kepadanya."Bagaimana ini Tya?" "Sudahlah Mbak, jangan terlalu dipikirkan! Biarkan Mas Seno yang menanggung. Kalau aku boleh saran lepaskan saja Mas Seno, Mbak. Semenjak tahu mengenai perlakuan buruk Mas Seno, kepada Mbak Niken aku sudah tidak respect lagi kepadanya. Aku takut kalau Mas Seno akan menyakiti Mbak lagi." "Aku sebetulnya juga sudah tidak ingin meneruskan hubungan ini dengan Mas Seno,Tya. Tapi, aku tidak tega dengan Hani. Aku tak tega jika Hani tahu Ibu dan Ayahnya sudah tidak bersama." "Tapi coba pikirkan baik-baik, Mbak! Aku juga tidak memaksa. Aku soalnya sangat kepikiran jika Mbak Niken masih bertahan dengan Mas Seno. Coba bayangkan jika Hani tahu kalau selama ini Mbak Niken diperlakukan dengan kasar. Sampai sekarang pun Mbak Niken juga tidak beri nafkah." "Iya Tya." Niken terlihat cemas ada perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Sebenarnya saat dia datang di rumah Bu Rahmi dia berencana akan menggugat cerai suaminya. Tapi saat setelah melihat anaknya dia kembali mengurung
"Mas Seno menghilang Dek." "Menghilang? Maksudnya bagaimana?" "Mas Seno membawa kabur upah para pekerja termasuk upahku juga dia bawa kabur." "Ya Allah kok bisa begitu Mas?" "Awalnya dia memberikan upah itu tidak utuh, katanya untuk tabungan gitu. Aku sempat curiga dan beberapa orang yang lain juga menolak. Tapi Mas Seno meyakinkan kami lagi, kalau ini peraturan dari pihak atasan jadi para pekerja diwajibkan. Itu terjadi selama empat bulan. Dan bulan kelima upah yang seharusnya kita terima belum dia berikan, katanya ada keterlambatan. Dari situlah akhirnya aku yakin kalau kecurigaan selama ini adalah benar." "Kemudian kami berembuk untuk menanyakan ke atasan untuk keterlambatan upah dan sistem tabungan yang disampaikan Mas Seno. Setelah kami bertemu dengan atasan, ternyata apa yang disampaikan Mas Seno itu hanya karangan dia saja, kita sudah ditipu. Setelah kebohongan Mas Seno terbongkar, dia pun pergi entah kemana. Kita cari-cari tidak ketemu. Kita mencoba menghubungi saja tidak
"Kamu buka sendiri kalau sudah di rumah!" perintah Bu Martha."Baik Tante, Ria dan Mas Hamid pulang dulu."Kemudian mereka pulang berdua. Tak lupa mobil Ria, mereka kendarai."Mas, aku kok jadi penasaran dengan amplop coklat ini.""Sudahlah, nanti kalau sudah tiba di rumah langsung kamu buka," kata Hamid sambil tersenyum melihat perilaku istrinya itu."Tapi kita sekarang mau kemana, Mas?""Kita jalan-jalan dulu berdua, sudah lama kan, kita nggak pernah jalan berdua? Anggap saja kita lagi pacaran," kata Hamid sambil tersenyum. Tak lupa tangannya memegang tangan Ria, dengan lembut."Tapi, Mas. Aku pakai baju seperti ini. Malulah nanti kalau dilihatin orang-orang!""Tidak apa-apa, setelah ini kita mampir dulu beli baju.""Iya Mas."Mereka saling tersenyum bersama. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan kegiatan ini berdua, semenjak kebangkrutan Hamid. Jangankan jalan-jalan, buat makan sehari-hari saja mereka harus mengirit.Setelah selesai berbelanja baju untuk Ria, Hamid pergi ke temp
"Seno sudah tahu tentang masalah ini belum, Niken?""Saya belum memberitahu kepada dia, Bu. Entahlah rasanya sekarang sudah tidak penting lagi untuk memberitahukan semua kejadian ini kepada mas Seno. Mas Seno sudah tidak perhatian lagi kepada kami. Makanya saya nekad untuk bekerja karena memang Mas Seno sudah tidak peduli.""Tidak peduli, apa maksud kamu, Niken?" tanya Bu Rahmi kaget."Selama ini Mas Seno sudah tidak memberi nafkah kami, Bu. Bahkan tak jarang dia melakukan kekerasan kepadaku.""Ya Allah..." Bu Rahmi bisa memahami apa yang di rasakan mbk Niken. Dia ikut bersedih mendengar pengakuan dari Niken."Kamu itu sudah aku anggap sebagai anak aku sendiri Niken, jika aku mendengar seperti rasanya hatiku teriris-iris, tidak ikhlas.""Kalau begitu kamu tinggal di sini aja, Niken! Kamu bisa bantu-bantu masak di sini. Apalagi sekarang usahaku mulai tumbuh sangat pesat, karena Tya sekarang juga memasarkannya di media sosial.""Tapi, aku sudah banyak menyusahkan keluarga Bu Rahmi. Apal
"Siapa ya? kok kayak mbak Niken. Tapi itu dia naik mobilnya siapa?" Sesosok perempuan itu akhirnya sudah sampai di depan rumah pintu Bu Rahmi dan tak lama kemudian pintu itu berbunyi dengan suara ketokan yang sangat keras dan terburu-buru. Tya bergegas membuka pintu itu. Setelah pintu itu terbuka ternyata benar dia adalah mbak Niken. "Mbak Niken?" tanya Tya. Tya menemukan Niken yang memakai pakaian minim namun bagian dadanya dia tutup menggunakan jaket. "Iya Tya ini aku Niken. Aku mau ajak Hani pulang ke kampung. Dimana dia sekarang?" tanya mbak Niken terlihat terburu-buru. "Dia sedang tidur mbk. Pulang kampung besok saja mbk, biarkan Hani tidur." "Tidak ada waktu lagi Tya. Aku sudah terburu-buru." "Tapi kenapa mbak?" Tya mencegah mbak Niken masuk ke kamar dimana Hani sedang tidur bersama ibu Rahmi. "Tolong jelaskan sebentar saja kepadaku mbk! supaya aku tidak berfikiran kotor kepada mbak Niken." Memang saat Tya melihat penampakan Niken sekarang, pikirannya sudah traveling k
28"Bu, bukannya Tya membela mas Hamid. Tapi Tya yakin banget kalau mas Hamid tidak akan melakukan hal itu kepada kak Ria. Percayalah bu. Aku saja bisa yakin, kenapa ibu tidak? jadi aku mohon percayalah ini hanyalah salah paham," ujar Ria sambil memegang tangan ibunya."Memang dulu mas Hamid itu kaya bu, mau keluar duit berapa aja gampang. Tapi bagaimanapun namanya kehidupan ya pasti ada saja cobaannya. Roda kehidupan itu berputar bu, kadang di bawah kadang juga di atas. Sedangkan mas Hamid dulu di atas sekarang sedang di uji dengan posisi di bawah. Yang penting sekarang mas Hamid juga sudah berusaha untuk bekerja meski hanya sebagai kuli bangunan itu tandanya mas Hamid bertanggung jawab dengan keluarganya, bu. Coba ingat-ingat dulu perjalanan ibu untuk bisa seperti ini bagaimana, pasti ada naik turunnya kan bu? gak tiba-tiba langsung kaya, kan tidak. Semua perlu proses. Ingat tidak, ketika kita tinggal di rumah yang sangat kecil dan ibu menitipkan hasil masakan ke tok