Share

3. Tamu Yang dihormati

 

Tidak sampai sepuluh menit, Zhalika sampai di kediaman Ibu Daisah. Sebuah kompleks perumahan kelas menengah atas, dengan bentuk bangunan yang hampir sebagian besar bergaya Eropa dengan pilar-pilar penyangga yang besar.

 

Sebuah kompleks perumahan di pinggiran Kota Jakarta, tetapi dengan kemudahan akses ke mana-mana, baik ke bandara internasional ataupun ke pusat kota, karena akses tol tepat ada di pintu belakang perumahan ini.

 

Jalan pintu masuk utama pun di penuhi ruko-ruko yang sudah penuh terisi di kiri dan kanan jalan komplek ini, dengan pohon-pohon palem yang berbaris rapih di kedua sisinya, dan inilah pertama kalinya Zhalika memasuki dan mengetahui seperti apa isi dalam dari perumahan kelas atas ini, karena selama hampir dua bulan tinggal di perkampungan yang tidak jauh dari kompleks perumahan ini, Zhalika tidak pernah pergi ke mana-mana. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar kostnya, untuk belajar, membaca, dan menulis.

 

"Ayuk Teh, kita masuk," ajak Ratih kepada Zhalika dengan ramah. Zhalika mengangguk sembari tersenyum mengikuti Ratih menaiki sedikit tangga berundak untuk menuju teras rumah. Tidak beberapa lama mobil Sadewa pun mulai memasuki halaman rumah yang berpaving, dengan tanaman-tanaman hias dan rumput-rumput hijau terawat mengelilingi tembok dalam halaman rumah.

 

Ratih menunggu sebentar hingga Zhalika sampai di teras depan rumah, lalu kembali menggandeng tangan Zhalika saat akan memasuki pintu utama. Ratih sudah merasakan kenyamanan dan keakraban saat berbincang sebentar di dalam kendaraan bersama Zhalika, dan itu cukup mengherankan bagi Sadewa yang memperhatikan dari belakang mereka, betapa sebenarnya Ratih itu baru bisa terlihat dekat dan akrab dengan orang lain bila sudah mengenalnya dengan cukup lama dan sering bertemu.

 

Daisah menyambut gembira kedatangan guru mengajinya, walaupun masih berusia relatif muda. Ibu Daisah sangat menghormatinya. Zhalika sudah sangat pintar dalam soal ilmu agama, dan seorang murid walaupun usianya melebihi sang guru, tetap harus memberikan penghormatan itu berdasarkan karena ilmu dan pengetahuannya.

 

"Masuk Nak, sini masuk," ujar Ibu Daisah ceria, sembari memeluk tubuh Zhalika. Mengiringi langkah gadis itu menuju sofa ruang tamu yang ternyata sudah dipenuhi berbagai macam minuman dan makanan di atas mejanya, yang sepertinya memang sengaja dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Zhalika.

 

 Zhalika merasa terhormat dengan penyambutan yang terbuka dan bersahabat dari pihak tuan rumah, terutama kepada Ibu Saidah dan Ratih, tapi tidak kepada Sadewa yang tadi sempat dia usir karena ucapannya tidak menyenangkan dan terkesan meremehkan wanita. Zhalika masih menyimpan kesal kepada putra sulung dari Ibu Daisah itu.

 

Ruang tamunya luas sekali, dengan furniture berkelas berharga mahal. Sebuah lampu kristal besar menggantung di ruang utama, dengan beberapa pigura photo-photo keluarga berukuran besar terpasang di tembok yang semuanya bercat putih bersih. Ketiga orang penghuni rumah yang ada di ruangan itu membiarkan Zhalika mengedarkan pandangannya kesana-kemari mengagumi isi dari ruangan ini, sampai akhirnya Zalikha tersadar dan menjadi malu sendiri.

 

"Maaf," ujarnya, sembari menganggukkan wajah sesaat. 

 

"Bukan bermaksud apa-apa, tetapi terus terang saja jika saya memang belum pernah masuk ke dalam rumah sebagus ini, jadi malah terkesan norak yah," ujar Zhalika lagi, tertawa kecil. 

 

Ibu Daisah yang tadinya duduk di depan Zhalika bersama Ratih, langsung berdiri dan berpindah tempat duduk di samping Zhalika. Kembali memeluk tubuh Zhalika erat. Bahkan beliau mulai menangis terisak, tersadar jika Zhalika sedari kecil tinggal di sebuah panti asuhan, yang mungkin tidak pernah mengenal kedua orangtuanya, juga beliau teringat bagaimana perjuangannya dahulu menghidupi ketiga anaknya tanpa adanya suami. Semua hal ini membuat hatinya terasa sakit. Ratih dan Sadewa yang memperhatikan menjadi bingung sendiri, melihat ibu mereka malah menangis terisak-isak memeluk Zhalika.

 

Zhalika sendiri sebenarnya juga ikut bingung, kenapa tiba-tiba Ibu Daisah malah menangis memeluknya.

 

"Maafkan saya Ibu, jika ada ucapan saya yang menyakiti," bisik Zhalika pelan, sembari jemari tangannya mengusap-usap lembut punggung Ibu Daisah.

 

"Tidak Nak, bukan salah Nak Zhalika, ibu saja yang sedang ingin menangis," jawab Ibu Daisah, setelah melepaskan pelukannya dari tubuh gadis yang sedari kecil menganggap dirinya yatim piatu tersebut, dan Ibu Daisah mulai sibuk membersikan limpahan air mata di pipinya. Di bawah tatapan heran Ratih dan Sadewa.

 

"Nak Zhalika belum makan, kan?"

 

Zhalika hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.

 

"Beneran belum makan?" tanya Ibu Daisah lagi. Ragu-ragu, Zhalika menjelaskan.

 

"Saat berpuasa sunah tadi, baru berbuka dengan sepotong kue dan air putih, Bu ... tadi ingin memasak mie instan, tetapi saya pikir nanti saja sehabis dari rumah ibu. Saya tidak ingin membuat ibu lama menunggu."

 

"Ya Allah ..." Mata Ibu Daisah kembali berkaca-kaca.

 

"Ayuk, Nak, ayuk, kita makan dahulu," ajak Bu Daisah cepat.

 

"Tidak usah Ibu, terima kasih, biar nanti saya makan di rumah saja," tolak Zhalika halus.

 

"Jangan, nanti Nak Zhalika bisa sakit. Ini sudah malam sekali." Daisah sedikit memaksa Zhalika untuk berdiri, beliau pun seperti mengabaikan keberadaan anaknya sendiri, Ratih dan Sadewa yang sedari tadi hanya jadi penonton saja.

 

"Ratih! Minta Bik Fitri untuk menyiapkan makanan di meja makan." 

 

"I-iya Buk." Ratih segera menuju ke ruangan dalam tanpa banyak membantah.

 

"Kamu ngapain Sadewa diam di situ. Cepat beli rendang dan sate di depan komplek!" teriak Daisah kepada putranya Sadewa, yang masih saja terdiam, berasa aneh melihat betapa sang ibu sangat perduli pada gadis yang sok jual mahal tersebut.

 

"Kok malah bengong sih Sadewa! Apa mau ibu yang beli!"

 

"Iya, Ibu, iya ..." Sadewa segera berjalan keluar rumah.

 

"Ibu, ibu, tidak perlu seperti ini ... saya makan dengan hanya nasi putih pun tidak apa-apa," ucap Zhalika merasa tidak enak hati, dengan Ratih dan Sadewa. Dan langkah Sadewa sempat terhenti, saat mendengar Zhalika berucap jika makan hanya dengan nasi putih tidak apa-apa, senyum seolah mencibir menghiasi wajah Sadewa.

 

'Pencitraan!' gumamnya, dengan bibir masih tersenyum sinis.

 

"Sadewa ...! Cepetann ....!"

 

"Iya ... Ibu, iya ...."

 

Sadewa semakin mempercepat langkah keluar rumah, guna mengikuti keinginan sang ibu yang meminta dibelikan sate dan rendang buat Zhalika.

 

"Mau kemana, Bang?" tanya Theo, salah seorang yang sering mengawal dan menemani Ibu Daisah kemanapun.

 

"Itu, Ibu minta dibelikan sate dan rendang buat tamu istimewanya, nyusahin aja," umpat Sadewa kesal, melangkah mendekati mobilnya.

 

"Loh, Abang mau kemana naik mobil?"

 

Sadewa berhenti, saat ingin membuka pintu mobil, menatap ke arah Theo kesal.

 

"Mau beli sate dan rendang, Theoo ...," ucap Sadewa, ikut kesal terhadap salah satu anak buahnya.

 

"Jika mau sate dan rendang, kan Abang tinggal telepon aja, nanti juga dianterin."

 

"Ya, Allah ... kok gue lupa," ucap Sadewa menepuk jidatnya, menyadari kebodohannya.

 

"Ini gara-gara perempuan sok jual mahal itu, bikin Ibu ribet sendiri, dan ujung-ujungnya, gue yang dibuat senewen," keluh Sadewa, kembali menutup pintu mobilnya.

 

"Telepon ke depan Theo, suruh antarkan sate dan rendang ke rumah, suruh cepatan dikit."

 

"Baik, Bang." Theo segera menelpon dengan salah satu orang yang berjaga di luar kompleks. Yah, area jalan utama, pedagang-pedagang, dan usaha-usaha di depan kompleks memang masih di bawah kuasa Naga Hitam. Salah satu gang terbesar di pinggiran kota ini, dan Sadewa adalah pemimpinnya. Big bos Naga Hitam.

 

Theo mendekati Sadewa, berbisik pelan kepada bos-nya tersebut.

 

"Gang Serigala api sudah mulai berani masuk wilayah kita Bang, mengedarkan narkoba di tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat keramaian di bawah kuasa kita. Sepertinya ada orang kita yang memuluskan jalan mereka."

 

"Siapa orang kita yang kamu curigai, Theo?" 

 

"Saya belum yakin Bang, tetapi melihat dengan mudahnya mereka bisa masuk wilayah kita, sepertinya tidak mungkin jika tidak ada orang kita yang bekerja sama dengan mereka.

 

"Gamal sepertinya memang ingin mengajak berperang dengan kita," geram Sadewa.

 

"Iya, Bang, yang saya dengar, banyak orang-orang timur yang ikut bergabung dengan mereka," jelas Theo.

 

"Besok malam, kumpulkan kepala-kepala cabang di kantor kita, bilang pada mereka, gue ingin bicara."

 

"Baik, Bang." Theo sedikit menjauhi Sadewa, dan mulai menghubungi beberapa orang pemimpin cabang usaha di bawah kuasa Naga Hitam.

 

'Suatu saat nanti, Serigala api dan kau Gamal, akan kubuat hancur lebur' geram Sadewa, wajahnya menyimpan dendam dan kemarahan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayyubi _
yg bener itu ibu DAISAH apa SAIDAH sh, kd membagongkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status