Share

7. Kisah Kelam Di Masa Kecil

Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.

 

Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.

 

Pembawaannya yang santun dan lembut, itu terbalik dengan wanita-wanita yang selama ini berupaya untuk mendekatinya, agresif dan berani, bahkan sampai ada yang tidak punya malu. 

 

Satu hal yang paling mengganggu pikirannya, mengungkapkan dan kepasrahan diri Zhalika kepada sang Pencipta, membuat perbedaan, bahwa wanita yang ingin dijodohkan dengan ibu itu, memang wanita yang terbaik dan spesial, dan semua orang pasti ingin mendapatkan yang terbaik, spesial.

 

Sadewa bangun dari tempat tidurnya, terasa lelah juga dirinya hanya berganti-ganti posisi tidur, tetapi tidak juga bisa terlelap.

 

Sadewa menuju ke lemari pendingin, dan langsung mengambil sebotol air mineral, serta ikut serta dalam ruangan kerja yang menyatu dengan kamar tidur pribadinya. Terduduk di kursi, sembari meletakkan botol sisa air mineral yang baru diminumnya tadi di atas meja kerja yang terbuat dari kayu jati.

 

Tanpa ayah, olahraga melihat ke arah sebuah bingkai kecil berisi foto tua dirinya bersama tercinta, Abimanyu Prakasa, saat sedang berlari di lapangan Senayan Jakarta. Diambilnya foto tersebut, ditatapnya lekat, perlahan pandangannya mulai terasa samar, bulir bening yang menahan banyak pandangannya, sembari berucap pelan sekali.

 

'Sadewa, rindu sama ayah' keluh batinnya, dan bayang kelam peristiwa 22 tahun yang lalu, seperti tergambar jelas di dalam otaknya.

 

Perumahan bertipe kecil di daerah penyangga Ibukota Jakarta itu yang Abimanyu pilih untuk tempat tinggal istri dan kedua anaknya, Sadewa tujuh tahun, dan Bisma tiga tahun, sambil menunggu anak ketiga usia kehamilan Daisah tiga bulan. 

 

Sudah setahun ini mereka tinggal di sana, dengan lingkungan yang masih terbilang sepi, karena akses jalan yang belum terlalu baik jika ingin ke perumahan Palem Griya tersebut.

 

Sakit hari, di saat hanya ada Daisah, Sadewa, dan Bisma di rumah. Sementara, Abimanyu masih belum pulang dari tempatnya bekerja. Daisah mendekati kedua anaknya yang sedang bermain di ruang tamu. , Ibu dari dua orang putra ini hendak pergi, karena sudah terlihat berpakaian rapih.

 

"Dewa ... ibu mau periksa dede bayi ke klinik, Bisma ibu ajak, dan kamu jaga rumah yah, tidak muaturun jika harus naik ojek bertiga, panggang sama Dede bayinya."

 

"Iya Buk, biar Sadewa di rumah saja."

 

"Sadewa berani, kan?"

 

"Berani dong, Buk ... Sadewa, kan sudah besar," jawab Sadewa, bangun dari lantai, sembari mengangkat kedua lengannya, seperti hendak menunjukkan otot-otot tangan. Daisah tertawa, sambil mengusap usap lembut rambut putra sulungnya itu.

 

"Anak ibu memang sudah dan pemberani," puji Daisah besar pada mereka tersebut.

 

"Kalau begitu, ibu pergi dulu ya, Nak."

 

"Iya, ibu ...," jawab Sadewa, sambil mengikuti di belakang Daisah yang menuntun Bisma menuju pintu keluar rumah.

 

"Tutup pintunya ya, Nak," ucap Daisah pada Sadewa.

 

"Iya, Bun." Sadewa langsung menutup pintu rumah, sementara Daisah dan Bisma berjalan ke luar perumahan untuk mencari ojek yang akan mengantar mereka ke klinik kehamilan, dan Sadewa kembali melanjutkan permainan di ruang tamu.

 

Selang lima belas menit, suara motor yang biasa dipakai Abimanyu terdengar oleh Sadewa yang langsung merasakan kehadiran kehadirannya, dan langsung bangun untuk membuka pintu, sembari berteriak senang.

 

"Ayah pulang....!!"

 

Saat pintu terbuka, sang ayah langsung menerobos masuk dan wajahnya terlihat sangatjo dan panik, dan langsung berngkok di depan Sadewa.

 

"Ibu dan adik Bisma di mana, Kak," ucap Abimanyu cepat kepada putra sulungnya, menengok ke arah luar rumah, ada jaringan tamu di wajahnya.

 

"I-ibu ke bidan Ayah," jawab Sadewa. Abimanyu kemudia menuntun Sadewa tepat saat sebuah mobil Jeep masuk halaman rumah mereka.

 

Abimanyu lantas membuka laci bufet paling bawah yang berada di ruang tamu, kembali berjongkok. Wajahnya Abimanyu semakin terlihat panik.

 

"Ingat Sadewa, apa pun yang terjadi, sampai keluar dari bufet ini. Ingat pesan ayah," ucap cepat Abimanyu, jangan lupa mengungkapkan lekat ke wajah sang putra. Sadewa mengangguk, dengan cepat Abimanyu mendukung tubuht itu masuk ke dalam bufe kayu tersebut.

 

"Brakkk....!!" Pintu rumah di dobrak dari luar, Abimanyu melangkah mendekati pintu, untuk sedikit bufet tempat Sadewa baru, yang masih ada sedikit cela untuk Sadewa bisa mengintip.

 

Lima orang bertampang sangar kemudian masuk ke rumah, dan langsung menghampiri Abimanyu, dan salah satu dari mereka, yang menindaklanjuti dari orang-orang tersebut membentak keras.

 

"Mana bukti-bukti foto yang kamu ambil! Serahkan sini!" bentaknya keras. Tangannya menarik baju kemeja yang dikenakan Abimanyu di bagian leher, sehingga wajah Abimanyu berhadap-hadapan dengan wajah Gamal.

 

"Foto apa Gamal? Aku tidak memphoto apa pun," elak Abimanyu.

 

"Banyak bacot!" Sebuah pukulan telak mendarat di ulu hati Abimanyu, sehingga jatuh tertunduk, sambil memegangi perutnya, dan Sadewa menutup mulut, menahan untuk tidak berteriak. Mata kecilnya terus saja mengintip dari sedikit celah yang terbuka.

 

"Kita habisi saja di sini Bang Gamal, dari pada jadi penyakit," ucap salah satu anak buah Gamal.

 

"Iya Bang. Jika dibiarkan bisa bahaya buat kita semua." Seorang yang berkepala botak ikut bersuara.

 

"Buukkk....!" Sebuah pukulan kembali mendarat ke arah kepala Abimanyu, hingga membuat tubuh itu terpelanting keras menghantam lantai. Sadewa berusaha berusaha mungkin untuk tidak berteriak, matanya sudah berlinang air mata, dalam rasa ketakutan yang mencekam.

 

"Jangan dihabisi di sini, terlalu berbahaya. Bawa dia, dan bakar saja motornya. Siapa tahu dia menyimpan bukti-bukti tersebut dalam motornya."

 

"Baik, Bang." Kedua orang anak buah Gamal, mengangkat dan meringkus Abimanyu yang sudah terpasang tidak berdaya, dan masukannya keluar, lalu masuk ke dalam mobil yang mereka bawa.

 

Salah seorang anak buah Gamal lantas menyiramkan bensin ke motor, dan lalu menyalakannya. Kobaran api langsung membesar, dan melalap habis motor milik Abimanyu. 

 

Lingkungan perumahan yang memang masih terlihat sepi dan sedikit penghuninya, membuat kobaran api tersebut semakin membesar. Entah tidak terlihat warga penghuni yang lain atau hanya menganggap pembakaran sampah seperti biasa, mengingat sesuatu di komplek perumahan ini adalah suatu hal yang sering dilakukan, di karenakan masih banyak terdapat rumput alang-alang yang tumbuh di tanah-tanah kosong, atau rumah-rumah kosong yang belum terjual dan menjadi tidak terurus.

 

"Takut-takut dan dengan tubuh yang gemetaran, Sadewa masih-pelan keluar dari tempat persembunyiannya. Wajahnya terlihat sekali, melihat pelan, menyaksikan pengalaman yang dialami oleh ayahnya.

 

Dengan langkah tertatih, Sadewa mulai mendekati pintu rumah, saat tiba-tiba sebuah ledakan hebat terdengar sangat keras, akibat dari motor ayahnya yang dibakar para penyiksa dan sekarang menculik ayah.

 

Tubuh Sadewa yang kecil dan ringkih sempat terpental karena efek kerasnya ledakan yang ditimbulkan, dari terbakarnya tangki bensin.

Kepalanya membentur ujung meja ruang tamu, lalu semua terasa gelap.

 

"I-ibuu," pelannya perlahan, tergeletak di lantai, mata berat dan seluruh tubuh terasa sakit sekali. Lalu semuanya terlihat gelap, dan Sadewa tidak bisa melihat dan mengingat apa-apa lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status