Home / Romansa / Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah / 7. Kisah Kelam Di Masa Kecil

Share

7. Kisah Kelam Di Masa Kecil

Author: Pena Asmara
last update Last Updated: 2022-04-13 10:51:34

Sudah lebih dari satu jam, Sadewa merebahkan tubuhnya di kasur empuk dipan tempat tidurnya yang besar, tetapi tidak bisa juga dicapai. Wajah gadis yang dianggapnya sok jual mahal itu terasa begitu melekat dipikirannya. Dan ini pertama kali bagi Sadewa, we have the women that even to be knownya.

 

Bukan hanya soal kecantikan wajah yang membuat Sadewa tertarik, karena di dunia yang dijalaninya saat ini, setiap waktu, setiap saat, wanita-wanita cantik berbadan bagus banyak yang berusaha untuk mendekatinya, tetapi tidak ada yang bisa menyampaikannya kepada gadis-gadis tersebut, dan itu ternyata tidak berlaku bagi Zhalika.

 

Pembawaannya yang santun dan lembut, itu terbalik dengan wanita-wanita yang selama ini berupaya untuk mendekatinya, agresif dan berani, bahkan sampai ada yang tidak punya malu. 

 

Satu hal yang paling mengganggu pikirannya, mengungkapkan dan kepasrahan diri Zhalika kepada sang Pencipta, membuat perbedaan, bahwa wanita yang ingin dijodohkan dengan ibu itu, memang wanita yang terbaik dan spesial, dan semua orang pasti ingin mendapatkan yang terbaik, spesial.

 

Sadewa bangun dari tempat tidurnya, terasa lelah juga dirinya hanya berganti-ganti posisi tidur, tetapi tidak juga bisa terlelap.

 

Sadewa menuju ke lemari pendingin, dan langsung mengambil sebotol air mineral, serta ikut serta dalam ruangan kerja yang menyatu dengan kamar tidur pribadinya. Terduduk di kursi, sembari meletakkan botol sisa air mineral yang baru diminumnya tadi di atas meja kerja yang terbuat dari kayu jati.

 

Tanpa ayah, olahraga melihat ke arah sebuah bingkai kecil berisi foto tua dirinya bersama tercinta, Abimanyu Prakasa, saat sedang berlari di lapangan Senayan Jakarta. Diambilnya foto tersebut, ditatapnya lekat, perlahan pandangannya mulai terasa samar, bulir bening yang menahan banyak pandangannya, sembari berucap pelan sekali.

 

'Sadewa, rindu sama ayah' keluh batinnya, dan bayang kelam peristiwa 22 tahun yang lalu, seperti tergambar jelas di dalam otaknya.

 

Perumahan bertipe kecil di daerah penyangga Ibukota Jakarta itu yang Abimanyu pilih untuk tempat tinggal istri dan kedua anaknya, Sadewa tujuh tahun, dan Bisma tiga tahun, sambil menunggu anak ketiga usia kehamilan Daisah tiga bulan. 

 

Sudah setahun ini mereka tinggal di sana, dengan lingkungan yang masih terbilang sepi, karena akses jalan yang belum terlalu baik jika ingin ke perumahan Palem Griya tersebut.

 

Sakit hari, di saat hanya ada Daisah, Sadewa, dan Bisma di rumah. Sementara, Abimanyu masih belum pulang dari tempatnya bekerja. Daisah mendekati kedua anaknya yang sedang bermain di ruang tamu. , Ibu dari dua orang putra ini hendak pergi, karena sudah terlihat berpakaian rapih.

 

"Dewa ... ibu mau periksa dede bayi ke klinik, Bisma ibu ajak, dan kamu jaga rumah yah, tidak muaturun jika harus naik ojek bertiga, panggang sama Dede bayinya."

 

"Iya Buk, biar Sadewa di rumah saja."

 

"Sadewa berani, kan?"

 

"Berani dong, Buk ... Sadewa, kan sudah besar," jawab Sadewa, bangun dari lantai, sembari mengangkat kedua lengannya, seperti hendak menunjukkan otot-otot tangan. Daisah tertawa, sambil mengusap usap lembut rambut putra sulungnya itu.

 

"Anak ibu memang sudah dan pemberani," puji Daisah besar pada mereka tersebut.

 

"Kalau begitu, ibu pergi dulu ya, Nak."

 

"Iya, ibu ...," jawab Sadewa, sambil mengikuti di belakang Daisah yang menuntun Bisma menuju pintu keluar rumah.

 

"Tutup pintunya ya, Nak," ucap Daisah pada Sadewa.

 

"Iya, Bun." Sadewa langsung menutup pintu rumah, sementara Daisah dan Bisma berjalan ke luar perumahan untuk mencari ojek yang akan mengantar mereka ke klinik kehamilan, dan Sadewa kembali melanjutkan permainan di ruang tamu.

 

Selang lima belas menit, suara motor yang biasa dipakai Abimanyu terdengar oleh Sadewa yang langsung merasakan kehadiran kehadirannya, dan langsung bangun untuk membuka pintu, sembari berteriak senang.

 

"Ayah pulang....!!"

 

Saat pintu terbuka, sang ayah langsung menerobos masuk dan wajahnya terlihat sangatjo dan panik, dan langsung berngkok di depan Sadewa.

 

"Ibu dan adik Bisma di mana, Kak," ucap Abimanyu cepat kepada putra sulungnya, menengok ke arah luar rumah, ada jaringan tamu di wajahnya.

 

"I-ibu ke bidan Ayah," jawab Sadewa. Abimanyu kemudia menuntun Sadewa tepat saat sebuah mobil Jeep masuk halaman rumah mereka.

 

Abimanyu lantas membuka laci bufet paling bawah yang berada di ruang tamu, kembali berjongkok. Wajahnya Abimanyu semakin terlihat panik.

 

"Ingat Sadewa, apa pun yang terjadi, sampai keluar dari bufet ini. Ingat pesan ayah," ucap cepat Abimanyu, jangan lupa mengungkapkan lekat ke wajah sang putra. Sadewa mengangguk, dengan cepat Abimanyu mendukung tubuht itu masuk ke dalam bufe kayu tersebut.

 

"Brakkk....!!" Pintu rumah di dobrak dari luar, Abimanyu melangkah mendekati pintu, untuk sedikit bufet tempat Sadewa baru, yang masih ada sedikit cela untuk Sadewa bisa mengintip.

 

Lima orang bertampang sangar kemudian masuk ke rumah, dan langsung menghampiri Abimanyu, dan salah satu dari mereka, yang menindaklanjuti dari orang-orang tersebut membentak keras.

 

"Mana bukti-bukti foto yang kamu ambil! Serahkan sini!" bentaknya keras. Tangannya menarik baju kemeja yang dikenakan Abimanyu di bagian leher, sehingga wajah Abimanyu berhadap-hadapan dengan wajah Gamal.

 

"Foto apa Gamal? Aku tidak memphoto apa pun," elak Abimanyu.

 

"Banyak bacot!" Sebuah pukulan telak mendarat di ulu hati Abimanyu, sehingga jatuh tertunduk, sambil memegangi perutnya, dan Sadewa menutup mulut, menahan untuk tidak berteriak. Mata kecilnya terus saja mengintip dari sedikit celah yang terbuka.

 

"Kita habisi saja di sini Bang Gamal, dari pada jadi penyakit," ucap salah satu anak buah Gamal.

 

"Iya Bang. Jika dibiarkan bisa bahaya buat kita semua." Seorang yang berkepala botak ikut bersuara.

 

"Buukkk....!" Sebuah pukulan kembali mendarat ke arah kepala Abimanyu, hingga membuat tubuh itu terpelanting keras menghantam lantai. Sadewa berusaha berusaha mungkin untuk tidak berteriak, matanya sudah berlinang air mata, dalam rasa ketakutan yang mencekam.

 

"Jangan dihabisi di sini, terlalu berbahaya. Bawa dia, dan bakar saja motornya. Siapa tahu dia menyimpan bukti-bukti tersebut dalam motornya."

 

"Baik, Bang." Kedua orang anak buah Gamal, mengangkat dan meringkus Abimanyu yang sudah terpasang tidak berdaya, dan masukannya keluar, lalu masuk ke dalam mobil yang mereka bawa.

 

Salah seorang anak buah Gamal lantas menyiramkan bensin ke motor, dan lalu menyalakannya. Kobaran api langsung membesar, dan melalap habis motor milik Abimanyu. 

 

Lingkungan perumahan yang memang masih terlihat sepi dan sedikit penghuninya, membuat kobaran api tersebut semakin membesar. Entah tidak terlihat warga penghuni yang lain atau hanya menganggap pembakaran sampah seperti biasa, mengingat sesuatu di komplek perumahan ini adalah suatu hal yang sering dilakukan, di karenakan masih banyak terdapat rumput alang-alang yang tumbuh di tanah-tanah kosong, atau rumah-rumah kosong yang belum terjual dan menjadi tidak terurus.

 

"Takut-takut dan dengan tubuh yang gemetaran, Sadewa masih-pelan keluar dari tempat persembunyiannya. Wajahnya terlihat sekali, melihat pelan, menyaksikan pengalaman yang dialami oleh ayahnya.

 

Dengan langkah tertatih, Sadewa mulai mendekati pintu rumah, saat tiba-tiba sebuah ledakan hebat terdengar sangat keras, akibat dari motor ayahnya yang dibakar para penyiksa dan sekarang menculik ayah.

 

Tubuh Sadewa yang kecil dan ringkih sempat terpental karena efek kerasnya ledakan yang ditimbulkan, dari terbakarnya tangki bensin.

Kepalanya membentur ujung meja ruang tamu, lalu semua terasa gelap.

 

"I-ibuu," pelannya perlahan, tergeletak di lantai, mata berat dan seluruh tubuh terasa sakit sekali. Lalu semuanya terlihat gelap, dan Sadewa tidak bisa melihat dan mengingat apa-apa lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   34. Tamat

    "SAYA HANYA INGIN NYAWAMU!" geram Sadewa. Api berkobar di dalam matanya yang tajam. Gamal terdiam, saat mendengar jika Sadewa menginginkan kematiannya. Sedikit pun, tidak ada rasa ketakutan yang terlihat pada wajahnya. Masih terlihat tenang. "Apa yang kamu dapat setelah berhasil membunuhku." "Dendam. Dendam saya terbayarkan. Perbuatanmu sudah merusak masa kecil saya, menghancurkan kehidupan keluarga saya. Hanya dengan membunuhmu, maka semua terbayarkan lunas." Gamal masih melihat ke arah Sadewa, lalu mengambil sebungkus rokok miliknya di atas meja. Membakarnya dan mengembuskannya secara perlahan, sambil bersandar di bangkunya. Benar-benar terlihat tenang sekali. "Jika kau berhasil membunuhku, apa akan membuat ayahmu hidup kembali?" Sadewa terpaku, matanya masih menatap Gamal dengan penuh kebencian. "Sudah siap kau hidup di penjara? Menghancurkan hidup dan masa depanmu?" Sadewa masih terdiam. Di dalam hatinya masih tersimpan bara dendam. "Tanpa kau bunuh pun, nanti aku akan mat

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   33. Dendam Yang Tak Pernah Padam

    "Sudah Ri, ini urusan pribadi gue. Tugas lu memastikan kepada Gamal, jika gue pasti datang. Sekarang lebih baik lu pergi dulu.""Gue boleh tahu 'kan urusan pribadi antara lu dengan musuh bebuyutan kita." Sadewa menatap Fahri tajam, raut wajahnya tergambar jelas jika Sadewa tidak suka dengan keingintahuan Fahri tentang masalahnya."Baik, Wa," jawab Fahri pasrah, dia sangat tahu jika Sadewa sudah memiliki keinginan, maka tidak ada yang bisa melarang. "Nanti gue kabari, jika lu ingin bertemu Gamal malam ini juga." Fahri langsung berdiri, dan meninggalkan kamar Sadewa.Selepas Isya, Sadewa mulai meninggalkan kediamannya, sendiri, tanpa pengawalan. Lewat WA, Fahri mengabarkan jika Gamal akan menemuinya di tempat yang sudah disepakati. Sadewa ingin jika masalah antara dirinya dan ayah dari Zhalika harus segera diselesaikan. Dia sudah tidak berpikir lagi tentang keselamatannya, yang terpenting dendamnya harus terbalaskan, meski taruhannya nyawa.Hati dan pikirannya sedang bimbang, antara ci

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   32. Musuh Dalam Selimut

    Mungkin hampir sejam, Gojali, panggilan premannya Gamal, kepala geng Serigala Api yang terkenal kejam, terdiam berzikir dan bertafakur di dalam masjid. Dua orang anak buahnya yang menemani hanya memperhatikannya dari jarak jauh, hanya mengawasi jika ada yang mengganggu. Kesan heran terlihat pada mimik wajah mereka berdua, atas sikap bos besar yang di luar kebiasaannya.Gamal berjalan pelan keluar dari masjid, dan kedua anak buahnya segera menghampiri."Abang jadi ke rumah putri Abang lagi?" tanya seorang dari mereka. Gamal menoleh, lalu terdiam. Wajahnya terlihat tenang, mungkin sedang berpikir."Tidak usah, kita kembali saja ke rumah," ajak Gamal, sembari berjalan menuju kendaraannya. Dan mobil mereka mulai meninggalkan halaman masjid."Adul!" panggil Gamal kepada salah seorang anak buahnya yang duduk di depan."Iya, Bang.""Buat pertemuan dengan Sadewa. Bilang padanya, jika saya ingin bertemu secara pribadi, dan tidak ada urusannya dengan bisnis dan kekuasaan.""Baik Bang, akan saya

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   31. Siapa Ayah Sebenarnya

    Belum begitu lama, Zhalika dan Sadewa ijin pamit dari rumah Gojali. Dua orang anak buahnya, yang terus saja memperhatikan mereka berdua dari jarak jauh mulai mendekati bos mereka, dan kemudian meminta izin untuk bicara dengan atasannya tersebut."Nanti saja, gue mau mandi dulu," jawab Gojali, langsung menuju ke kamarnya, dan kedua pengawalnya tersebut tidak berani membantah, langsung kembali ke depan teras rumah.Satu jam setelah Gojali selesai mandi dan makan, dengan menggunakan baju santai, kepala preman tersebut kemudian menemui kedua orang kedua orang anak buahnya dan langsung duduk di bangku kayu teras rumah, diikuti oleh kedua orang anak buahnya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan segelas kopi hitam dan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gojali. Lalu pelayan tersebut segera undur diri.Gojali menyalahkan rokok miliknya, setelah sebelumnya menghirup kopi yang sudah disediakan pelayannya tadi. Sementara kedua pengawalnya hanya diam memperhatikan."Kalia

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   30. Kabar Mengejutkan

    "Mas Dewa jahat! Tidak punya hati!" teriak Ratih, sembari berdiri dari sofa. Merasa kecewa dengan keputusan sepihak yang diambil Sadewa. Zhalika menangis dalam diam, terjerat rasa penasaran, mengapa Sadewa tiba-tiba berubah pikiran."Ceritakan apa yang terjadi, Mas? Ibu dan Mbak Zhalika berhak tahu, mengapa Mas Sadewa bisa memutuskan sesuatu yang membuat sakit hati Ibu, Ratih, dan Mbak Zhalika?" tanya Bisma tenang, dan ketiga perempuan lain masih menangis. Sadewa diam membeku.Zhalika yang sedari awal diam saja, mulai mencoba bicara."Saya akan mengikuti apapun keputusan Mas Dewa, jika memang ini yang terbaik menurut, Mas. Tetapi saya berhak tahu salah saya, sehingga Mas Dewa membatalkan rencana pernikahan kita?" tanya Zhalika pelan, tersenyum tipis sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Dan Sadewa masih terdiam."Jika kamu masih menganggap aku adalah ibumu, katakan apa yang sudah terjadi Sadewa!" teriak Daisah, berdiri dari tempat duduknya. Terlihat emosi ibu Hajah terse

  • Ketika Kepala Preman Mencintai Ustadzah   29. Menyakiti Hati Ibu

    "Sekarang kita makan bersama dulu," ajak Gamal, kepada Zhalika dan Sadewa, tetapi Sadewa berucap cepat, walaupun suaranya bergetar."Tidak usah Pak, terima kasih, sebelum kemari kami makan dulu tadi. Dan lagi pula, masih ada keperluan yang harus kami selesaikan," jawab Sadewa. Zhalika diam saja, tidak memprotes keputusan calon suaminya itu. Sementara Gamal menatap wajah Sadewa lekat."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Gamal, seperti mengingat-ingat. Sadewa diam saja, tidak menjawab. Kembali mengepal tangannya keras, sampai bergetar, karena menahan amarahnya agar jangan sampai meluap."Mungkin Bapak salah orang," jawab Sadewa, sembari mengangguk kepada Zhalika, untuk segera pergi meninggalkan rumah ini, dan Zhalika mengerti maksud dari Sadewa. Lalu mereka pun segera berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh Gamal dan Claudia."Saya pamit pulang dahulu, Pak. Mungkin dalam waktu tiga minggu ke depan, acara pernikahan kami akan dilaksanakan," ujar Zhalika, lalu berdiri, dan m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status