Klinik tempat Daisah memeriksakan kehamilannya tidak terlalu banyak pasien yang berobat, sehingga tidak terlalu lama di sana, mungkin hanya sekitar 30 menit. Setelah membelikan Bisma jajanan makanan kecil, Daisah pun kembali menaiki ojek yang sama dengan saat dia berangkat tadi, Mang Burhan, tukang ojek yang memang biasa mangkal tidak jauh dari pintu masuk perumahan mereka tinggal. Jalan raya menuju ke arah arah rumahnya memang tidak terlalu bagus, masih banyak terdapat lubang-lubang di kanan kiri jalan, bahkan juga banyak terdapat retakan aspal.Kurang lebih 300 meter lagi Daisah sampai ke depa
4 hari sudah, Abimanyu tidak diketahui keberadaannya. Daisah yang hidup merantau jauh dari orang tua, kesana kemari mencari keberadaan suaminya dengan mengajak kedua anaknya yang masih belia.Ke kantor jurnalis lokal tempat suaminya bekerja, bahkan sudah membuat pengaduan ke pihak yang berwenang, tetapi belum juga ada hasilnya. Keberadaan suaminya tetap belum ditemukan.Di hari ke lima, dua orang petugas kepolisian datang menjemputnya. Membawa Daisah dan kedua anaknya ke sebuah rumah sakit pemerintah, mereka langsung menuju ruang penyimpanan mayat."Kami ingin Mbak Daisah mengenali, apakah ciri-ciri mayat yang kami temukan di semak-semak dalam jurang dekat sungai, adalah jasad suami Mbak," ucap salah seorang petugas, dan Daisah meng'iyakan.Sadewa dan Bisma diminta menunggu di luar ruang penyimpanan mayat, hanya Daisah yang dipersil
Kampung Pejagalan, nama tempat tinggal Daisah dan anak-anaknya sekarang. Terletak di daerah perbatasan antara utara dan barat Jakarta, daerah padat penduduk, tidak jauh dari sentra dagang pecinaan, stasiun kereta, dan pasar induk buah dan sayuran.Sebuah perkampungan masyarakat kecil dengan berbagai macam etnis. Pemukiman padat yang tidak pernah mati. 24 jam aktivitas penduduk terus bergerak tidak pernah berhenti. Jika pagi hingga petang pergerakan penduduk banyak berpusat di pasar dan stasiun, sementara jika senja menjelang pagi, kesibukan banyak berpusat di tempat-tempat hiburan malam, dengan banyak wanita penghibur kelas menengah bawah dan atas.Yah, kampung ini adalah cerminan surga dunia. Segala aktivitas yang yang dilarang agama, semua ada dan banyak peminatnya. Dari perjudian, minuman keras, narkoba, bahkan prostitusi, dikarenakan perempuan-perempuan yang bekerja di tempat hiburan malam, bany
Pletakk ....!!"Auuwww ....!!"Batu koral sebesar biji kelereng menghantam keras kening si botak hingga berteriak kesakitan. Pisau lipat yang hendak dipakai untuk menusuk Sadewa terlepas dalam genggamannya. Saking kencangnya batu yang mengenai kepalanya, si botak itu sampai terduduk di tanah dengan terus mengusap-usap keningnya sembari meringis kesakitan.Semua mata menoleh ke arah si pelempar batu, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri sekitar jarak tujuh meter, sembari berjalan mendekat. Wajahnya terlihat tenang.Sadewa pun melihat ke arah pria paruh baya tersebut, dan Sadewa tidak mengenalnya, melihat wajahnya pun hanya baru kali ini.Si botak yang masih merasa kesakitan, kembali melampiaskan amarahnya kepada sosok pria paruh baya itu."Ban*s
Suara mobil dan motor terdengar di pagi hari ini selepas Sholat Subuh. Zhalika masih saja melantunkan bacaan ayat kitab suci Al-Qur'an, sebuah rutinitas pasti jikalau tidak sedang datang bulan. Dan Zhalika baru saja menyelesaikan bacaannya. Menutup kitab suci, dan meletakkannya di atas pangkuan, lalu terdiam mengingat kejadian semalam di rumah Hajah Daisah. Semalam, sepulang dari rumah Sadewa. Zhalika langsung terlelap, karena memang terbiasa tidur tidak terlalu malam, selepas Salat Isya pun Zhalika biasanya langsung tidur.Semalam, jam setengah empat Zhalika sudah me
"Mungkin sebagian untuk membeli perlengkapan buat sang mayit, Buk," jawab Zhalika, walaupun sebenarnya tidak akan habis seperempatnya dari jumlah uang yang diberikan tersebut."Tidaklah Ustazah, uang itu khusus buat biaya memandikan dan mengkafaninya saja, sedangkan perlengkapan kebutuhan mayit, macam kain kafan dan lain-lain, tetap dari keluarga si mayit," jelas Bu Deden. Zhalika terdiam."Maaf ya Ustazah jika saya lancang bertanya, tarif Ustazah berapa untuk memandikan dan mengkafani orang yang meninggal?" tanya Bu Heni, dan sem
Ceu Entin langsung berdiri dan memeluk Zhalika yang masih terduduk di tempatnya, bahkan ingin berlutut di kaki ustazah muda tersebut, tetapi Zhalika cepat-cepat mencegahnya."Tidak boleh seperti itu Ceu, berterima kasih dan bersujud-lah kepada Allah. Sekali lagi, saya hanya perantaranya saja.""Saya benar-benar mengucapkan terima kasih ya, Ustazah, satu beban sudah terlepas dari pundak saya. Sedih rasanya, jika untuk memandikan jenazah ibu pun, saya harus berhutang." Tangisnya tak jua berhenti.Ibu Hajah Rosna pun ikut berlinang air mata, tersenyum penuh arti, menyaksikan adegan mengharukan di depan matanya. Seorang wanita muda dengan segala keterbatasannya, mau membantu walaupun dirinya sendiri kekurangan.Zhalika segera mempersilahkan Ceu Entin untuk duduk kembali. Dia sendiri yang memasukkan uang yang dia berikan ke dalam amplop
Baru saja Zhalika membalikkan badan hendak kembali masuk ke dalam rumah kost-nya, sebuah motor berhenti tepat di depan pagar. Motor sport, dengan pria bertopi hitam yang menungganginya.Zhalika yang merasa tidak mengenali siapa pengendara motor tersebut, langsung melangkah menuju pintu pagar, saat sebuah suara memanggil namanya.“Mbak Zhalika…!” Zhalika menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah pria tersebut, yang langsung membuka helm dan masker yang dipakainya.