Arumi perlahan membuka matanya, menatap jam dinding yang ada ujung tempat tidur, perlahan ia berusaha memindahkan sebuah lengan kekar yang melingkar di pinggangnya, bukannya lepas, tangan itu malah semakin erat memeluknya. Membuat Arumi kesulitan untuk bernafas. Arumi berusaha membuka tangan Afif, tapi tetap saja, tangan itu melingkar dengan kuat di perutnya."Mas, pindahkan tanganmu, aku mau mandi," pinta Arumi."Diem dulu, sayang." kata Afif degan suara seraknya."Mas, udah lah. Kalau kamu masih mau tidur ya tidur ajah, aku mau bangun, mau mandi, gerah!""Bentar ajah," kata Afif sambil mempererat pelukannya."Udah malam ini, mas. Bentar lagi makan malam, lagian aku udah laper banget nih,""Iya-iya, tapi mandinya berdua, ya?" Kata Afif sambil menarik turunkan alisnya."Serah!"
Kehangatan yang Arumi rasakan dalam rumah tangganya tak berlangsung lama, dua Minggu setelah kepulangannya dari Singapura, Afif selalu menunjukkan sikap posesifnya terhadap Dinda dan calon anak mereka. Kerap kali Afif menyalahkan Arumi atas keadaan Dinda yang kurang sehat. Berusaha memaklumi, tapi hatinya menolak keras, selalu rasa sakit yang ia rasakan saat suaminya itu lebih condong ke madunya.Seperti saat ini, Art rumah yang sedang mengambil cuti karena anaknya yang sakit, Arumi harus mengerjakan pekerjaan rumah seorang diri tanpa sedikitpun bantuan dari Dinda, karena di larang oleh Afif."Dinda, bisa bantuin mbak bawa masakan ini ke meja makan?" pinta Arumi saat melihat Dinda dan Afif sudah duduk di meja makan, sedangkan dirinya masih sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka."Bisa, mbak""Sayang, kamu harus ngerti dong kalau Dinda itu gak boleh kecapean, kam
Happy reading✨✨✨Setibanya di rumah Maya, Afif langsung menekan bel dan pintu terbuka menampilkan sosok Maya yang sudah menggunakan baju tidur."Dimana Arumi?""Silahkan masuk, tuan. Nona ada di kamar saya.""Bolehkah aku menghampirinya?""Silahkan tuan!"Maya mengantar Afif ke kamarnya yang mana di sana terdapat Arumi yang tengah terlelap. Setelah itu, Maya meninggalkan mereka berdua menuju dapur untuk membuatkan Afif minuman.Afif menghampiri Arumi yang tengah terlelap, ia membelai wajah Arumi rasa bersalah menghantui dirinya."Sayang, bangun." kata Afif membangunkan Arumi sambil menepuk pelan pipi Arumi.Arumi melenguh dan perlahan membuka matanya, di lihatnya wajah Afif yang begitu dekat dengan wajahnya. 
Hari sudah pagi, hanya di temani Maya dan Andra, keadaan Arumi semakin kritis. Sampai saat ini, Arumi belum juga sadarkan diri. Membuat kedua orang itu sangat khawatir.Waktu sudah menunjukkan pukul Dua belas, tapi Afif belum ada tanda tanda akan datang."Dokter Andra, apakah tuan Afif harus kita beritahu tentang keadaan nona Arumi yang sesungguhnya?""Ku rasa tak perlu, dia tak mungkin peduli kepada Arumi. Aku tak ingin Arumi semakin terluka.""Lalu, apa yang harus kita katakan kalau dia datang?""Aku akan membawanya pulang ke rumahku, dia akan di rawat di rumah. Aku akan meminta agar alat alat yang di butuhkan Arumi di bawa ke rumah serta beberapa suster yang akan menjaganya.""Baiklah, dokter, saya setuju. Saya juga ingin nona Arumi bahagia. Lakukan yang terbaik untuk nona Arumi, untuk biayanya laporkan saj
Setelah di nasehati panjang kali lebar oleh mama Ina, Afif pun berangkat mencari Arumi. Tempat yang ia datangi pertama kali adalah rumah Maya. Tapi nihil, di sana Afif tak bertemu dengan siapa pun, rumah Maya tampak sepi tak berpenghuni. Selanjutnya ia menuju salon milik Arumi, Afif juga tak mendapati Arumi di sana. Afif hampir stres mencari Arumi, nomornya pun tak aktif sama sekali membuat Afif semakin cemas.Afif memilih pulang untuk mengecek apakah Arumi sudah ada di rumah atau tidak. Namun keadaan rumah sama seperti terakhir kali ia tinggali, sunyi dan sepi."Arumi, kamu di mana sayang? Maafkan mas yang sudah menyakiti kamu, maafkan sikap mas yang tidak adil. Pulanglah, sudah cukup kemaren selama tiga bulan kamu ninggalin mas, dan sekarang jangan lagi."Hari berganti Minggu, dan Minggu berganti bulan. Satu bulan sudah Arumi pergi tanpa kabar. Satu bulan sudah Afif mencoba mencari keberadaan
Setelah Darryl keluar dari kamarnya, Arumi tak benar benar tidur, ia merenung memikirkan nasib rumah tangganya kedepannya. Ia bukan istri yang sempurna, tak bisa berbuat apa apa untuk sang suami, ia tak bisa memberikan kebahagiaan bagi suaminya, dan ia sudah tersingkir dari hati sang suami. Cinta dan kasih sayang yang Afif katakan tak akan pernah berubah meskipun ada Dinda, itu hanyalah bualan belaka. Apalagi semenjak Dinda hamil, kasih sayang Afif sudah bukan lagi kepadanya. Dirinya sudah tidak lagi menjadi prioritas suaminya. Kehadiran Dinda dan calon buah hati mereka mampu mengalihkan dunia Afif dari Arumi.Air mata sudah menjadi teman setianya saat ini. Beban fikiran dan tekanan batin, membuat kondisinya tak kunjung membaik. Luka di hatinya seakan memaksanya untuk berhenti berjuang melawan penyakitnya. Luka itu seolah mengajak Arumi untuk mati bersamanya. Pergi meninggalkan dunia sambil memeluk luka.Tidak! Ia tak boleh
"ARUMI!"Seseorang memanggil Arumi membuat si empunya nama menegang seketika. Senyum yang amat di paksakan meskipun air matanya semakin deras membasahi pipinya. Arumi berbalik menatap orang itu, senyumnya masih melekat di wajahnya dan air matanya pun juga masih mengalir di pipinya."Afif!""Apa kabar, mas?""Ar, ternyata kamu ada disini, aku mencarimu, Ar, dan sekarang aku menemukanmu, aku menemukanmu, Ar."Ya, yang memanggil Arumi adalah Afif, setelah kepergian Maya tadi, Afif segera keluar menyusul mobil Maya, dan benar saja, Maya pergi ke tempat di mana Arumi selama ini bersembunyi. Bahagia, tentu saja Afif bahagia bisa bertemu kembali dengan Arumi."Stop, mas. Jangan mendekat!"Afif menghentikan langkahnya mendengar perintah Arumi."Apa kamu tak merindukanku, sayang?""Apa? Rindu? Rindu itu sudah pergi seiring datangnya surat ini kepadaku, mas.""Tidak, surat itu palsu, Ar. kembalikan padaku, kembalikan surat itu, itu palsu!" Afif berusaha meraih surat yang ada di tangan Arumi, su
Setelah menunggu selama satu jam, akhirnya Arumi sadar, air matanya kembali mengalir mengingat kejadian sebelum ia tak sadarkan diri. Arumi segera menghapus air matanya dan tersenyum kepada orang orang yang sedang menunggu dia sadar. Arumi tak ingin membuat mereka kecewa, ia ingin membuktikan bahwa dirinya baik baik saja."sayang, kamu mau minum? atau mau makan?" tanya Tante Rita kepada Arumi."aku haus Tante,"Tante Rita membantu arumi untuk duduk dan mengambil segelas air yang ada di atas nakas. Lalu membantu Arumi agar bisa minum.Andra, ia masih terdiam dengan emosi yang membuncah setelah mendengar cerita dari Darryl sehingga membuat Arumi menjadi seperti ini. Ingin sekali rasanya ia menghampiri Afif saat ini juga dan menghajar lelaki brengsek itu. Namun mamanya melarang dan meminta Andra untuk tetap diam, sehingga dengan terpaksa Andra menuruti perintah mamanya walau sesungguhnya dadanya begitu sesak menahan amarah yang sedang membuncah."Tante, aku lelah dengan bau obat obatan,