KETIKA LUKA MENYAPA
6. Kejamnya Takdir
Arumi terbangun di pagi hari saat merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya, ia mengerang mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Saat menoleh kesamping tempat tidur, Arumi tak mendapati Afif ada disana, padahal ini masih sangat pagi, dan malam ini harusnya Afif bersama Arumi. Arumi tersenyum kecut, ternyata suaminya mengibuli dirinya, fikirnya.
tes tes
setetes dua tetes darah keluar dari hidung Arumi, bersamaan dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi.
"ya, Tuhan! Ada apa denganku? arrgh sakit!"
Dalam sakit yang kian mendera, satu nama terlintas dipikirannya 'Andra' sahabat sekaligus dokter spesialis penyakit dalam.
Arumi berusah mendial nomor Andra, dan syukurlah segera diangkat oleh pemuda itu.
"halo Ndra," sapa Arumi dengan suara lemah menahan rasa sakit.
"hei, Ar. Tumben Lo hubungin gue, ada apa?" sahut Andra diseberang sana.
"gue butuh bantuan Lo. sekarang Lo ada di rumah sakit atau di mana?" Arumi bertanya sambil membersihkan darah yang keluar di hidungnya dengan tisu
"biasalah, gue ada di rumah sakit, emangnya lu kenapa sih?"
"gue kesana sekarang!"
Tut
panggilan dimatikan sepihak oleh Arumi, ia segera beranjak menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri, setelah itu ia memakan sepotong roti yang ada di atas nakas sebelum ia menelan obat sakit kepala.
selesai bersiap-siap, Arumi segera turun dan mendapati Afif sedang membantu Dinda menyiapkan sarapan pagi. Yah, begitulah kebiasaan Afif setiap pagi, ia selalu membantu Arumi menyiapkan sarapan supaya terkesan romantis kata Afif waktu itu. Tapi sekarang bukan hanya dirinya yang di perlakukan seperti ini, ada wanita lain yang telah menduduki takhta yang sama di hati sang suami, yang juga akan mendapatkan perilaku romantis dari Afif.
"mas, aku berangkat dulu,"
"eh, dek, sarapan dulu ya,"
"maaf, mas. aku terburu-buru, aku sarapan di salon ajah," terpaksa Arumi berbohong karena tak mau suaminya itu khawatir.
"sebentar saja, sayang. Ini udah mau selesai Kok,"
"maaf, mas,"
"dek, tolong hargai Dinda yang mau masak buat kita sarapan!"
Arumi segera berlalu mengabaikan perkataan Afif karena ia sudah merasa tak tahan dengan sakit yang ada dikepalanya juga dihatinya, bagaimana ia bisa sanggup sarapan bertiga dengan adik madunya?
Arumi segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit AKSARA tempat Andra bertugas.
"argh, kenapa kepalaku semakin sakit,"
Setibanya di rumah sakit, Arumi segera memarkirkan mobilnya dan segera masuk, tak lupa ia menghubungi Andra terlebih dahulu.
"Andra gue udah sampai,"
"langsung ajah keruangan gue,"
"oke,"
Arumi mempercepat langkahnya menuju ruangan Andra, setibanya di depan ruangan sahabatnya itu, Arumi langsung saja masuk tanpa mengetuk pintu.
Andra yang menyadari Arumi telah memasuki ruangannya tanpa mengetuk pintu merasa jengkel.
"eh, lu kebiasaan ya gak ad...... Arumi!!!" Omelan pemuda ini berhenti dan berubah menjadi teriakan mendapati Arumi telah jatuh pingsang di ambang pintu dengan darah yang keluar dari hidungnya.
Andra segera menghampiri Arumi, dan memanggil beberapa suster untuk membantunya menangani Arumi, Andra meletakkan tubuh Arumi di brankar rumah sakit dan segera membawa ke ruang ICU.
"Ar, bertahan ya, gue akan segera mengobati elo."
Beberapa jam kemudian Andra sudah menangani Arumi, dan ia sudah mengantongi hasil lab tentang penyakit yang bersarang di tubuh Arumi, sungguh ia merasa sangat prihatin melihat sahabatnya ini tampak tak berdaya dan begitu kaget Dangan apa yang telah terjadi pada Arumi. Selam beberapa menit, Arumi sudah siuman dan ia mendapati Andra sedang duduk di sofa sambil memegang sebuah kertas.
"Ndra," suara Arumi tampak lemah memanggil sahabatnya tersebut
"eh, Ar, lu udah sadar?"
"hm,"
"gue boleh tanya sesuatu sama Lo?"
"tanya apa?"
"sejak kapan Lo mimisan dan di sertai sakit kepala?"
"udah agak lama sih, Ndra,"
"what, agak lama? kenapa Lo gak segera periksa?"
"gue fikir itu hanya gara-gara gue kelelahan, makanya gue mimisan,"
"lu bukan hanya kecapean, Ar. Lu.... ah, gue hubungi suami Lo dulu,"
"jangan!!!"
"kenapa?"
"tolong beritahukan saja padaku apa penyakitku!"
"suami Lo perlu tahu tentang kondisi Lo,"
"Ndra, please, jangan beritahu mas Afif, katakan saja kepadaku!"
"tapi, Ar,"
"Ndra, gue mohon??! gue gak mau suami gue khawatir sama gue dan pekerjaannya jadi terbengkalai,"
"itu bukan alasan yang tepat, Ar, sesibuk apapun dia, dia harus tahu kondisi Lo."
"Andra, gue mohon kepada Lo sebagai sahabat gue," Arumi memohon dengan tampang yang sangat melas, membuat Andra mengiyakan permintaan Arumi.
"huft, baiklah wanita keras kepala,"
"terimakasih, Ndra, terus sekarang tolong katakan sama gue, gue sakit apa?"
"Ar, gue harap lu berlapang dada menerima kenyataan ini,"
"gak usah bertele-tele ndra, cepet katakan!"
"Lo, Lo sakit kanker otak stadium satu, Ar,"
jedaaar
Arumi menggelengkan kepalanya seiring dengan air matanya yang kian menetes,
"nggak, Lo bercanda kan, Andra?"
"Ar, buat apa gue bercanda dengan penyakit seperti ini,"
"Andra, hiks hiks!"
Andra membawa Arumi dalam pelukannya, ia menenangkan berusaha menenangkan sahabat ini, ia tau pasti Arumi begitu terpukul dengan kondisinya saat ini.
"kenapa takdir begitu kejam terhadap gue, Ndra,"
"shutt, gue yakin Lo akan sembuh, ini masih stadium satu, bisa sembuh jika Lo berusaha dan mau menuruti semua perkataanku demi kesembuhan, Lo,"
"Gue rasa gue biarin ajah sakit ini menggerogoti tubuh ku. Toh jika aku mati, mas Afif tak akan sedih berkepanjangan karena ia udah memiliki penggantinya,"
"gak usah ngawur kalo ngomong, gue pastiin Lo bakalan sembuh. Dan yah, apa maksud Lo kalau Afif udah memiliki pengganti?"
"mas Afif nikah lagi dengan Dinda, adik angkatnya,"
"what?? trus Lo mau nyerah gitu ajah?"
"gue gak tau, Andra,"
"hei, tatap gue!" kata Andra sambil memegang kedua bahu Arumi.
"kalau Lo mau nyerah maka jangan salahkan gue kalau gue aduin penyakit Lo kepada Afif, tapi kalau Lo mau berjuang maka gue akan tutup mulut asal Lo mau dengerin omongan gue, inget Ar, gue gak akan pernah tinggal diam jika itu menyangkut Lo, sahabat kesayangan gue!"
"makasih, Andra,"
"Hm, sekarang Lo makan dulu, gue tau sedari tadi perut Lo gak ada isinya,"
Arumi menggelengkan kepalanya pertanda ia menolak untuk sarapan makan.
"aaa," kata Andra hendak menyuapi Arumi, Arumi terpaksa menerima karena tatapan tajam dari Andra.
Dengan telaten Andra menyuapi Arumi, walaupun harus dengan sedikit paksaan karena Arumi selalu enggan membuka mulutnya, hingga pada suapan ke lima, Arumi menggelengkan kepalanya dengan keras meminta untuk berhenti, hingga Andra memberhentikan suapannya dan memberikan air minum kepada Arumi.
"sekarang minum obat dulu, baru istirahat,"
Arumi menuruti perintah Andra, ia meminum empat butir obat entah apa fungsi dari masing-masing Obet tersebut Arumi tak tahu.
"Andra, gue mau pulang,"
"keadaan Lo masih lemah seperti ini, istirahat ajah dulu,"
"aku takut mas Afif marah kalau aku pergi berlama-lama,"
"Ar,"
"Andra, please, Izinin gue pulang. Berikan ajah gue obat untung menghilangkan rasa sakit di kepala jika sewaktu waktu sakit gue kambuh,"
"baiklah baiklah, Lo diem dulu disini, gue urus Administrasi bentar!"
"Andra, pake ini ajah," kata Arumi sambil menyodorkan kartu ATM kepada Andra.
"udah gak usah,"
"tap..." belum selesai Arumi berbicara, Andra sudah melenggang pergi dari hadapan Arumi.
'ya, Tuhan! inikah jalan bagiku untuk terbebas dari semua luka ini? akankah aku segera menyusul mama dan papaku, aku rindu mereka, Tuhan,'
✨✨
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer