Share

7. Mama Ina

last update Last Updated: 2021-09-08 14:52:40

KETIKA LUKA MENYAPA

7. MAMA INA

Dinda yang saat ini sedang memasak menyiapkan makan siang, aktivitasnya terhenti di saat terdengar suara bel pertanda ada tamu. Dinda bergegas keruang tamu untuk membuka pintu, saat pintu di buka ternyata yang datang adalah mama Ina.

"eh, mama," sapa Dinda sambil mencium tangan mama Ina.

"kayaknya rumah ini sepi deh, kemana wanita sundal itu?" tanya mama Ina sambil masuk dan menelusuri isi rumah.

"iya, ma, mbak Arumi sedang pergi ke salon,"

"terus kamu di tinggal sendirian di rumah ini?"

"emangnya Dinda mau kemana ma, kalau nggak diam di rumah?"

"iya juga sih,"

"eh, ma, Dinda tinggal ke dapur dulu ya, Dinda lagi masak buat makan siang soalnya, ntar kalau udah selesai kita makan siang bersama,"

"kamu masak sendirian?"

"iya ma, ya udah aku ke dapur dulu,"

"iya,"

"mama istirahat dulu gih,"

setelah itu, Dinda melanjutkan masaknya ia memasak ayam Kentucky kesukaan Arumi berharap siang ini Arumi pulang dan mau makan siang bersama, juga memasak soup ayam kesukaannya dan di tambah udang crispy kesukaan mama Ina. Selesai memasak ia menghidangkan masakannya di meja makan dan segera memanggil mama Ina untuk menemaninya makan siang.

Mereka kini sudah ada di meja makan, saat hendak menyendokkan nasi ke piring terdengar suara salam menghentikan aktivitas mereka.

"assalamualaikum,"

"waalaikumsalam," jawab Dinda sambil menuju ruang tamu, sedangkan mama Ina melanjutkan makannya.

"eh, mbak udah datang, ya udah yuk kita makan siang dulu," ya, yang datang adalah Arumi. Besar harapan Dinda agar kembali dekat dengan sang kakak. Namun ia sadar tak mudah bagi Arumi untuk menyembuhkan lukanya.

"mbak udah makan, Din,"

"mbak, apakah mbak jijik makan masakanku?"

Arumi menatap dalam mata Dinda, sungguh kasih sayangnya masih sama seperti dulu kepada adiknya ini, tapi luka itu masih belum sembuh dan menutupi kasih sayangnya kepada Dinda.

"bukan begitu, tapi tadi mbak sudah makan siang sama Maya,"

"baiklah, mbak,"

"aku keatas dulu,"

Dinda hanya mengangguk dan kembali ke meja makan. sedangkan Arumi kini melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, bukan karena jijik, tapi selera makannya kini hilang pun kepalanya yang masih terasa sedikit pusing membuat ia ingin segera beristirahat. Namun saat hendak menaiki tangga ia menoleh ke ruang makan dan mendapati mama Ina sedang makan siang disana.

"eh, ada mama, apa kabar ma?" sapa Arumi sambil menyalami mertuanya tersebut.

"dari mana ajah kamu? main ninggalin Dinda sendirian di rumah, seorang istri itu harusnya di rumah gak usah keluyuran. Mentang mentang ada Dinda kamu seenaknya keluar rumah, mau kamu jadikan anakku pembantu, heh?" bukannya menjawab pertanyaan Arumi, mam Ina malah memarahi Arumi.

"ma, aku ke salon tadi, aku juga udah bilang kok ke mas Afif,"

"kamu berani menjawab perkataanku, Arumi! dasar mantu durhaka!" nada bicara mama Ina kini naik satu oktaf

"maaf, ma, aku gak bermaksud menjadi mantu durhaka, aku hanya menjawab pertanyaan mama,"

plak

satu tamparan mendarat di pipi Arumi, membuat tubuh Arumi oleng karena kepalanya pun masih pusing di tambah tamparan keras dari mama mertuanya ini. Ya, sudah sering Arumi mendapatkan tamparan dari mama Ina.

tanpa pamit Arumi segera menaiki tangga dan dan memasuki kamarnya, air matanya luruh merasakan sakit di pipinya juga sakit dihatinya karena kata kata kasar dari sang mertua.

"heh, mau kemana kamu? dasar perempuan sundal, mandul, gak ada akhlak, kurang ajar!" sakit! tentu saja sakit saat kata kata itu terlontar dari mulut mertuanya, bukan hanya sekali sudah sering ia dikatan mandul oleh mertuanya. Tapi Arumi bisa apa, ia hanya bisa pasrah dan memaafkan sang mertua dan berharap suatu saat mertuanya itu mau menerimanya.

"ma, sudah ya, kasian mbak Arumi, ma.  Dia pasti capek baru datang dari salon,"

"wanita seperti itu gak pantas di kasihani,"

"ma, udah ya, sekarang mama istirahat ajah deh!"

Dinda pun mengantar mama Ina ke kamar tamu, setelah itu, ia menyusul Arumi ke kamarnya berharap hubungannya dengan Arumi segera membaik.

****

Arumi merebahkan badannya di kasur dengan telungkup, ia menangisi takdirnya, keratapi hidup yang terasa tak adil baginya.

"mbak," panggil Dinda dari depan pintu

"masuk!" kata Arumi sambil menghapus sisa sisa air mata dan duduk di tepi ranjang.

Dinda pun masuk dan tanpa di duga Dinda bersimpuh di kaki Arumi.

"apa yang kamu lakukan, Dinda?"

"mbak, maafkan Dinda mbak, maafkan Dinda sudah merusak rumah tangga mbak, maafkan Dinda yang sudah membuat mbak terluka, maafkan Dinda yang sudah merebut kebahagian mbak, maafkan Dinda mbak,"

"bangunlah! jangan seperti ini!"

"nggak! sebelum mbak maafin Dinda, Dinda nggak bakalan bangun,"

"Dinda, bagunlah! jangan membuat aku merasa seolah olah aku yang paling jahat,"

Dinda masih enggan untuk berdiri, membuat Arumi memegang kedua bahu Dinda fan berusaha membantu adik madunya itu berdiri, tanpa Dinda duga ternyata Arumi memeluk erat Dinda tangis Arumi pun pecah di pelukan Dinda, begitupun Dinda tangis kesuanya pecah.

"Dinda, kasih sayang mbak sama kamu tetap sama seperti dulu, tapi sekarang mbak masih butuh waktu untuk menyembuhkan luka ini,"

"jadi, mbak gak benci sama Dinda?"

"nggak dek, mbak gak benci sama kamu, hanya saja mbak......... kecewa,"

"Dinda benar-benar minta maaf mbak, maafkan Dinda,"

"mbak, izinkan Dinda menceritakan yang sebenarnya, agar mbak gak terus terusan membenci mas Afif,"

"cerita yang mana yang tidak aku ketahui, Dinda?"

flashback on

Pagi buta mama Ina sudah membangunkan Dinda, memintanya untuk segera mandi. Selesai mandi, saat keluar dari kamar mandi, Dinda di kaget kan dengan keberadaan beberapa perempuan di kamarnya membawa beberapa kotak kecil dan besar, ada pula yang menghias tempat tidurnya.

"eh, ada apa ini?"

"ah, mbak sudah selesai ya mandinya, sini duduk biar kami rias dulu," kata salah satu dari mereka

"lah, buat apa di rias, emangnya ada acara apaan? ntu lagi tempat tidurku, kenapa di taburin bunga segala kek kamar penganten ajah,"

"aduuuh, mbaknya ini gimana sih, jelas-jelas mbaknya yang mau nikah, malah bingung sendiri,"

"lah, siapa yang mau nikah, boro-boro mau nikah, calon ajah kagak ada, salah orang kali nih mbak-mbak nya,"

saat Dinda kekeuh menolak untuk dirias, mama Ina memasuki kamarnya

"lah, Dinda! kok Dindanya belum dirias sih?"

"mbaknya gak mau, nyonya,"

"Dinda, cepetan duduk dan turuti apa kata mereka!"

"mah, ini maksudnya apaan sih?"

"gak usah banyak tanya, kamu ingat kalau dulu mama pernah mengatakan 'apapun yang menjadi keinginanku maka aku harus mendapatkannya' kamu ingat itu, putriku sayang?"

"mah, jangan bilang..."

"yups! kamu memang bener-bener pinter ternyata. ya udah kalau udah tau cepetan duduk dan gak usah banyak protes,"

"mah, gim...."

belus selesai Dinda bertanya, mama Ina tampak menghubungi seseorang.

"halo Afif,"

"iya ma?"

"kamu ada dimana?"

"Afif lagi dalam perjalanan mau berangkat ke kantor,"

"mama boleh minta tolong nggak?"

"minta tolong apa, mah?"

"mama mintar antar bentar dong ke butik, soalnya papa udah berangkat dari pagi,"

"kok gak minta antar sama supir, ma?"

"supir mama lagi cuti, dia lagi sakit,"

"oh, oke tunggu bentar ya, ma!"

"terimakasih, nak,"

"sama-sama, ma,"

Afif memutar balikkan mobilnya dan segera menuju ke kediaman orang tuanya, sesampainya disana Afif heran kenapa rumahnya tampak ramai dan ruang tamu di penuhi dengan dekor. Bahkan semua keluarganya hadir di sini kecuali Oma dan opa ya yang berada di luar negeri.

"siapa yang mau menikah, ma? tadinya mama bilang mama mau minta antar ke butik," tanya Afif saat memasuki rumahnya.

"Dinda, Fif,"

"lah kok gak ngundang Afif sama Arumi, ma? terus kok gak di beri tahu jauh jauh hari ma?"

"udah mama kasih tahu kok dari jauh jauh hari,"

"memangnya Dinda mau nikah sama siapa ma?"

"kamu!"

"ap-apa maksud mama?"

"dulu kan mama udah bilang, kamu harus nikah sama Dinda supaya kalian bisa beri mama fan papa cucu,"

"udahlah ma, gak usah bercanda, candaan mama nggak lucu."

"siapa yang bercanda? udah sana gih cepetan ke kamar Dinda buat ganti baju,"

"mama makin ngawur deh ngomongnya," kesal Afif sambil berjalan menjauh hendak pulang.

"Afif, mau kemana kamu?"

"kalau kamu gak nurutin mama, siap-siap kamu melihat mayat mama sekarang juga!"

Afif menghentikan langkahnya dan menoleh ke mama Ina yang entah dapat dari mana, mama Ina sudah memegang pisau yang hendak di goreskan ke tangannya.

"mama gila!!"

"ya, mama memang gila karena kamu gak bisa beri mama cucu!"

Afif menghampiri mamanya dan hendak merebut pisau yang ada di tangan mamanya itu. Disana bukan tak ada orang, tapi semua keluarganya hanya diam saja tak ada yang berniat untuk ikut campur, bahkan untuk menghentikan aksi mama Ina yang hendak menyayat tangannya itu mereka terasa enggan.

"jangan mendekat, jika kamu gak mau menuruti kata kata mama!"

"ma, please jangan seperti ini, Afif gak mau menyakiti Arumi ma, Afif sangat mencintainya, ma."

"mama gak mau tau," acuh mama Ina sambil menekan pisau hingga tangganya mulai sedikit tergores.

"ma," lirih Afif sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

melihat pergerakan mama Ina yang tampak semakin menekan pisau, membuat Afif kelabakan dan terpaksa menyetujui.

"ma, oke oke oke. oke Afif mau, puaass!!!"

mama Ina menyeringai mendengar jawaban Afif,

"sangat puas,"

Afif memasuki kamar miliknya yang ada disana, perasaannya bercampur aduk.

"aaaaarrrggggggghhhhhh, mama jahaaaaat!!!!"

"Arumi, maafkan mas sayang, jangan membenci mas,"

akhirnya pernikahan itu pun terjadi, yang menciptakan sesal yang teramat dalam di hati keduanya.

flashback off

******

🙏🙏🙏🙏 semoga masih ada yang suka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Zakiya Paundra
gak mau nikah tapi langsung tidur brg
goodnovel comment avatar
Sriyanti Ela
kok ngk bisa di buka iklannya kak,mulai ke marin malam padahal data ku masih ada
goodnovel comment avatar
Widia Wati
lbh baik arumi~cerai aja,,, knl pelakor yg happh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Luka Menyapa   12. Selesai

    "Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada

  • Ketika Luka Menyapa   11. Memperjuangkan Kesetiaan

    Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb

  • Ketika Luka Menyapa   10. NEGATIF

    "Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi

  • Ketika Luka Menyapa   9. Menunggu kepulangan Arfan

    Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t

  • Ketika Luka Menyapa   8. Pengusiran

    "Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp

  • Ketika Luka Menyapa   7. Terbangun Dari Tidur Panjang

    Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status