Beranda / Romansa / Ketika Luka Menyapa / 5. Sebuah Harapan

Share

5. Sebuah Harapan

Penulis: Raffa Raditya28
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-31 06:43:57

KETIKA LUKA MENYAPA

5. Sebuah Harapan

"Selamat pagi, Nona." sapa para karyawan saat Arumi tiba di salon miliknya.

Ia memasuki salon dan senyum cerah terbit di wajahnya dikala melihat betapa banyak pengunjung salon miliknya ini. Semua karyawan tampak sibuk memberikan pelayanan kepada para pengunjung.

"pagi juga," jawab Arumi sambil memberikan seulas senyum.

"dimana Maya?" tanya Arumi

"Ada di ruangannya, Nona." jawab salah satu karyawan.

"baiklah, aku masuk dulu,"

Arumi berlalu dari hadapan mereka menuju ruangan Maya asisten pribadinya. Saat tida di depan ruangan Asistennya, Arumi langsung saja masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Kalau mau mas....... Eh, Nona Arum, ma-maaf saya tidak tahu kalau Nona yang datang," gugup Maya

"tak apa, May. Aku kesini cuma mau ngomongin sesuatu,"

"Ada apa, Nona? tak biasanya Anda datang kemari kecuali untuk perawatan. Oh, apakah anda ingin perawatan, kalau begitu saya akan panggilkan karyawan terbaik disini, Nona."

"tidak, tidak usah. Aku kesini cuma mau menyampaikan sama kamu, kalau aku akan kembali menghandle sendiri kepengurusan salon ini,"

"oh, benarkah, Nona? Sungguh aku sangat senang bisa kembali bekerja bersama Anda,"

"Dan kamu akan mengurus salon cabang yang ada di Bandung,"

"Benarkah Nona?"

"iya, apakah kamu keberatan?"

"tidak! tidak sama sekali Nona, justru saya sangat berterimakasih karena telah diberi kepercayaan oleh Nona, tapi, bagaimana dengan Luna?"

"dia akan menjadi asistenmu."

"nona memang sangat baik, terimakasih, nona,"

"hm,"

setelah itu, mereka kini larut dalam pembahasan tentang salon milik Arumi yang katanya penghasilan mereka kian hari kian naik dikarenakan semakin banyaknya pelanggan tiap harinya, tentang bahan-bahan serta alat-alat yang berkualitas terbaik. Sungguh Arumi tak menyangka jika salon yang ia bangun dari nol itu kini berada di puncak kejayaan. Yang awalnya Arumi hanya membuka salon dirumah dengan mengambil alih sebagian ruang tamu, kini sudah memiliki gedung sendiri yang lumayan luas dengan fasilitas yang lengkap. Bahkan salon yang di beri nama 'A2 SALON' sudah memiliki beberapa cabang yang ada di berbagai kota, sungguh pencapaian yang luar biasa bukan?

tok tok tok

Suara ketukan pintu menghentikan cerita mereka.

"Masuk!"

"Maaf, nona, di luar ada tuan mencari nona," lapor salah satu karwayan yang bernama Sinta, Membuat Maya menatap heran kepada Arumi. Padahal Arumi baru sampai tapi kenapa kok sudah di cari oleh suaminya. Arumi yang mengerti dengan raut wajah Maya hanya tersenyum semanis mungkin.

"suruh dia keruanganku!"

"baik, Nona,"

"aku ke ruanganku dulu,"

"Anda berhutang penjelasan kepadaku, nona Arumi Permatasari,"

"baiklah, Maya Diandra,"

ya, sudah biasa bagi mereka untuk menceritakan apa yang tengah terjadi kepada mereka.

****

Arumi sudah sampai di ruangannya, dan ternyata Afif sudah ada di sana sambil menatapnya entah dengan tatapan seperti apa.

"ada apa kesini?" tanya Arumi

"kalau cuma mau ngelanjutin  bahas yang tadi, aku rasa gak perlu, semua sudah jelas, silahkan keluar dari ruanganku!"

bukan mau niat kurang ajar kepada suaminya, tapi ia masih sakit hati dengan suaminya yang egois, tak mau meminta pendapatnya terlebih dahulu.

"Arumi, okey mas ngaku mas salah, maafkan mas, ya?!"

Arumi tak menanggapi, membuat Afif semakin merasa bersalah. Afif meraih tangan Arumi dan menggenggamnya.

"sayang, maafin mas, yah!"

"biarkan aku sendiri dulu, mas!"

"tap..."

"ku, mohon!"

"baiklah,"

Sebelum pergi, Afif memeluk erat tubuh Arumi dan mengecup seluruh wajah Arumi.

"kamu gak perlu takut, selamanya mas akan tetap mencintai dan menyayangimu,"

"mas, pulang dulu, jaga diri baik-baik, Assalamualaikum,"

"waalaikumsalam,"

Afif berlalu dari hadapan Arumi, Arumi menatap punggung suaminya itu dengan tatapan sendu, hingga punggung itu menghilang dibalik pintu. Bersamaan dengan itu, air mata yang sedari tadi ia tahan kini tumpah sudah. Ia tak tahu, kenapa sekarang ia serapuh ini. Wanita yang dulunya ceria kini berubah menjadi pemurung, senyum yang selalu menghiasi wajahnya kini sudah sirna.

"seandainya aku bisa memberikan anak untuk mas Afif, mungkin sekarang kita akan hidup bahagia bertiga dengan anak kita, bukan hidup bertiga dengan madu,"

Arumi termenung dengan berbagai macam pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya tak tenang. Meratapi nasib yang terasa tak pernah berpihak kepadanya. Dari awal menikah kedua orang tua Afif tak menerimanya, kecuali Oma Gina yang menetap di Korea. Ah, mengingat Oma Gina, Arumi jadi rindu akan Omanya itu. Meskipun Oma Gina adalah Oma dari Afif, tapi Oma selalu menganggapnya cucu sendiri. Bahkan disaat mama Afif memarahinya maka Omalah yang menjadi tameng baginya.

"seandainya Oma ada disini, mungkin aku sedikit lebih bahagia. Oma Arum rindu. Apakah Oma juga rindu sama Arum?"

******

Afif sampai dirumahnya, dan mendapati Dinda sedang duduk bermain handphone di ruang tamu, menyadari ada yang datang Dinda menghentikan aktifitasnya dan mendapatkan suaminya telah duduk di sofa.

"bagaimana, mas? apakah bak Arumi sudah memaafkan kita?"

"dia masih butuh waktu katanya,"

"mas, lebih baik Dinda kembali kerumah mama, aku gak mau bak Arumi semakin membenci aku, mas,"

"tidak, dek. Kita akan hidup bertiga disini, gak boleh ada yang keluar, itu sudah keputusan mas. Semoga saja lambat laun Arumi akan menerima kehadiran kamu,"

"ah, seandainya mama dan papa gak maksa kita untuk nikah, mungkin bak Arumi dan mas Afif akan baik-baik saja, aku ngerti perasaan bak Arumi mas, gak ada wanita yang rela di madu, termasuk diriku. Aku gak mau jadi yang kedua, tapi mama dan papa memaksaku untuk mau dengan dalih balas Budi karena mereka telah merawatku selama ini," Air mata Dinda luruh merasakan betapa sakitnya harus berbagi suami.

flashback

"Dinda, mama sama papa ada kepentingan sama kamu," kata mama Ina saat mereka baru selesai makan.

"baik, ma,"

mereka kemudian menuju ruang keluarga yang berada tak jauh dari ruang makan.

"ada apa, ma, pa?"

"kuliahmu sudah selesai kan?"

"iya, pa,"

"apakah kamu siap jika kami memintamu untuk menikah?"

"ma-maksud papa?"

"begini, kan kakakmu Afif sampai sekarang belum punya anak, padahal sudah delapan tahun menikah dan kami pun sangat menginginkan cucu, apakah kamu mau menikah dengan Afif?"

"pa, mas Afif sudah punya bak Arumi, Dinda yakin kalau Allah sudah berkehendak pasti mas Afif dan bak Arumi akan diberikan keturunan,"

"tapi, sampai kapan Dinda, kami sudah semakin tua," sela mama Ina

"kita hanya perlu bersabar, ma, pa."

"nggak! mama udah gak bisa bersabar lagi, mama harap kamu mau menerima permintaan mama untuk menjadi istri kedua Afif,"

"tapi, ma, Dinda gak mau jadi yang kedua pun gak mau menyakiti hati bak Arumi,"

"gak ada tapi tapian, anggap saja ini bentuk balas Budi kamu karena selama ini kami sudah merawatku,"

Setelah berkata seperti itu, mama Ina dan papa Aldo pergi meninggalkan Dinda di ruang tamu yang sedang meratapi hidupnya.

beberapa hari kemudian, papa meminta Afif untuk datang kerumah untuk membicarakan hal ini.

"Afif, apakah Arumi sudah ada tanda tanda kalau dia sudah hamil?" tanya mama Ina.

"belum, ma,"

"ah, padahal mama sama papa sangat ingin sekali memiliki cucu, apakah kamu gak kasian sama kami yang menantikan cucu dari ku selama bertahun-tahun?"

"ma, Afif dan Arumi juga sangat ingin memiliki anak, ma. Tapi Tuhan masih belum memberi kepercayaan kepada kami,"

"Afif, kami sudah semakin tua, dan mungkin entahlah tak tau kapan ajal akan menjemput kami, kami hanya ingin menimang cucu, nak,"

"Afif sudah berusaha semaksimal mungkin, ma, pa."

"bolehkah kami memberi usul kepada mu, nak?"

"apa, ma?"

"menikahlah dengan Dinda, mama yakin kalian akan segera diberi anak,"

"maksud mama apa? apakah Afif harus menikah dengan adik Afif sendiri?"

"dia bukan adik kandungmu, dia hanya adik angkat bagimu, jadi wajar-wajar saja jika kalian menikah,"

"tidak! Afif gak mau mengkhianati Arumi, ma, pa,"

"sayang, mengertilah! bukankah kamu ingin sekali memiliki seorang anak yang lahir dari bibitmu sendiri?"

"tapi, apakah harus dengan cara seperti ini, ma?  gak bisakah kita bersabar sedikit saja menunggu keajaiban dari Allah?"

"Afif..."

"Afif pulang, assalamualaikum,"

ada rasa bahagia dalam hati Dinda karena Afif menolak keinginan mama dan papanya.

"kamu gak usah bahagia dulu, mama punya seribu cara agar kalian bisa menikah,"

flashback off

Afif menghampiri Dinda dan merengkuh istrinya itu, "tak perlu ada yang disesali, ini adalah takdir dan ujian untuk kita bertiga. Semoga kedepannya kita bertiga bisa menerima takdir dan hidup bahagia."

selama hampir sebulan ini, Afif tak pernah menyentuh Dinda, pun juga karena Dinda yang menolaknya karena belum siap. Sampai detik ini Dinda masih menganggap Afif adalah kakaknya. Begitupun dengan Afif yang belum sepenuhnya menerima Dinda sebagai istrinya.

***

yuk yuk yuk komen yang bawel supaya authornya makin semangat buat lanjutin👏👏

😘😘😘

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Zakiya Paundra
bikn naik darah
goodnovel comment avatar
Pus Pa
semangat thor ...air mata jatuh sendiri baca part pertama
goodnovel comment avatar
es teh manis
baca dari part awal aja udah emosi.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ketika Luka Menyapa   12. Selesai

    "Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada

  • Ketika Luka Menyapa   11. Memperjuangkan Kesetiaan

    Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb

  • Ketika Luka Menyapa   10. NEGATIF

    "Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi

  • Ketika Luka Menyapa   9. Menunggu kepulangan Arfan

    Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t

  • Ketika Luka Menyapa   8. Pengusiran

    "Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp

  • Ketika Luka Menyapa   7. Terbangun Dari Tidur Panjang

    Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status