Hari di mana awal mula kehidupan berubah di alami Bella Siva. Biasanya jam makan siang begini, seorang pria datang meminta di buatkan kopi dan makan siang. Padahal jarak kembali ke tempat kerja memakan waktu 20 menit, tapi Rafa tetap pulang demi makanan istrinya. Senyum lembut dan tutur katanya membuat hati Bella terasa sakit menyadari kenyataan jika moment seperti itu tidak akan terulang lagi ketika sang suami meninggal.
Pernikahan yang indah selama 14 tahun di jalani kini harus rela di tinggal, Rafa memang sudah sakit selama satu bulan tapi dia tidak pernah mengeluh terkecuali minta pelukan hangat setiap malam ketika dia merasakan tubuhnya melemah. Merawat suami tercinta tidak pernah membuat Bella mengeluh sekalipun. Kebahagiaan yang dia alami selama bersama tidak bisa menghilang begitu saja hanya karena suami jatuh sakit.Kemarin malam Rafa meninggal di pelukan Bella, di pagi harinya dia menemukan suaminya tidak bernafas tanpa pamit. Bella sadar, Rafa memang sudah sering mengingatkan dia untuk tidak menyerah apalagi terpuruk hanya karena kehilangan seseorang."Selama Kamu bersemangat, maka akan ada banyak orang baik yang selalu mendampingimu meski bukan aku. Jadilah dirimu sendiri, tanpa bergantung pada orang lain selain aku."Bella sangat ingat pesan yang sering di katakan Rafa, keluarga besar Rafa sudah siap memakamkan putra sulungnya. Terlihat dari raut wajah dan tatapan mereka tidak pernah menyukai Bella meski sudah lama menikah."Bu?"Bella tersadar masih ada seseorang yang masih berada di sisinya, yaitu putri satu-satunya dari Rafa yang baru berusia 13 tahun bernama Aria. Senyum menguatkan dari gadis itu membuat Bella menarik nafas mengangguk sambil menggenggam tangan putrinya.Selesai memakamkan, keluarga Rafa meninggalkan pemakaman sambil berdelik tidak suka pada Bella dan putrinya."Bella, kita harus bicara di rumah."Pesan dari seorang wanita paruh baya di balas anggukan Bella, tampak tegas pergi lebih dulu meninggalkan pemakaman. Bella menghela nafas pelan sambil menyentuh papan nisan suaminya."Benar apa katamu, aku memang harus kuat dan siap menghadapi kehidupan termasuk apa yang akan terjadi jika aku sudah tidak bergantung padamu lagi," ucap Bella di hadapan makam suaminya.Aria masih berada di samping ibunya menemani, dia juga terlihat tegar meski Bella sudah menyuruhnya untuk menangis. Bella tahu, Aria hanya akan selalu memegang teguh nasihat ayahnya termasuk sebelum kepergiannya. Bella pikir, Rafa juga mengingatkan Aria untuk bersikap kuat dalam menghadapi apapun yang terjadi."Kita pulang, Bu?" ajak Aria."Ya, jika menunggu lebih lama lagi. Mungkin koper dan barang-barang kita sudah di luar, Sayang."Pahit saat mengatakannya, Bella tahu rumah itu atas nama orang tua Rafa. Meski Bella sempat berusaha untuk meminta Rafa memisahkan bagiannya dengan Aria, tapi dia tidak tahu jika semua aset sudah beralih nama atas nama orang tua Rafa.Bella mendengarnya saat petugas sedang memandikan suaminya. Kedua mertuanya tertawa mengatakan jika semuanya sudah menjadi atas nama mereka. Alasan itu juga yang membuat Bella enggan untuk menangisi suami yang hanya berguna saat hidup tapi tidak untuk di kenang dan di tangisi karena hanya meninggalkan kepahitan untuk anak dan istrinya.Benar saja, saat sampai di rumah. Kedua adik Rafa sudah di luar pintu sambil memegang dua koper termasuk milik Aria."Lama sekali si! Padahal Kau bahkan tidak sedih sama sekali saat kakak aku mati!" rutuk Sindi."Ya, hanya air mata palsu yang keluar dari Aria. Mungkin karena masih darah daging kak Rafa makanya dia menangis," sambung Taufik."Masuk!" ajak ibu Rafa.Tanpa kata atau menanggapi kedua mantan adik iparnya, Bella masih memegang erat tangan Aria masuk ke rumah yang sudah berubah menjadi dingin. Kedua mertuanya sudah duduk bersikap di sofa menunggu Bella."Karena Rafa sudah tidak ada, rumah ini akan di ambil alih untuk Taufik. Karena ini masih rumah ibu," ucapnya."Untuk Aria, kamu ikut Kakek, Nenek yah?" ajak Pak Bara."Ya, Aria tidak akan aman jika bersama Kamu!" sambung Ibu Rafa."Kamu sudah boleh pergi hari ini juga, koper sudah siapkan?" sahut Taufik.Bella masih belum bicara, dia memang sempat menduga hal ini akan terjadi. Perasaan merendahkannya untuk mantan suaminya sangat besar kali ini ketika ternyata pria yang dia hormati dan sayang ternyata tak sebaik itu memberikan satu rumah untuk anaknya."Atau Kamu masih mau bawa barang-barangmu, ambillah!" seru Ibu Rafa masih merasa canggung ketika Bella malah terdiam."Ngomong dong Mbak Bella!" protes Sindi."Sudahlah, biarkan mereka istirahat dulu. Aria mungkin kecapean," sambung Pak Bara."Hmm, tidak perlu. Aku akan ambil barang yang perlu saja, setelah itu pergi dari sini," ucap Bella."Aria?" sahut Ibu Rafa.Bella menoleh ke arah anaknya. "Dia juga yang akan putuskan ikut siapa!" tegas Bella."Tentu saja Aria akan bersama Ibu," sambung Aria ikut berdiri."Aria, Kamu akan menderita jika ikut dengan ibumu!" bujuk Ibu Rafa ketakutan."Akan lebih menakutkan jika Aria tidak bersama Ibu," jawab Aria.Bella menyeringai menarik anaknya untuk berkemas, ke kamar mereka. Meski keluarga suaminya masih ada di ruang tamu, tapi mereka senang ketika berhasil membuat Aria keluar dari rumah."Aku pergi dulu Bu, ada urusan!" pamit Taufik."Ya, sana.""Sindi juga sebentar lagi dijemput Boy, Bu!" sambung Sindi.Kedua anaknya pergi setelah memastikan Bella akan pergi dari rumah. Kedua meetua Bella saling terpaku saat ada beberapa pria datang membawa mobil bak masuk ke dalam rumah mengambil beberapa perabot rumah."Sofa depan dan ruang tamu, Bella yang beli dari hasil pesangon kerja. Televisi dan kulkas juga, beserta perabot rumah di dalam matras juga hasil dari uang Bella. Jadi tidak ada dari Rafa," ucap Bella berdiri di samping ayah dan ibu mertuanya."Kamu ....""Hmm, bingkai poto ini juga Bella yang buat guna dari uangku jadi ibu ambil saja potonya, aku tidak perlu."Ada banyak perabot rumah yang sudah di angkut oleh tukang membuat kedua mertua Bella terkejut. Mereka pikir barang-barang mewah yang ada di rumah adalah hasil anaknya tapi ternyata Bella berani mengambilnya tanpa ragu."Kenapa, apa di suratnya ada atas nama perabot isi rumah? Hmm mungkin ada yang di beli dari uang Rafa, apa yah? Oh, rak sepatu ini kayanya. Ya sudah Bella tinggalkan," ucap Bella menyisihkan rak sepatu tiga undak ke hadapan ibu mertuanya yang masih terdiam.Kosong melongpong rumah yang sangat besar itu tanpa perabot rumah termasuk lemari pajangan di ruang tengah dia ambil. Mobil bak besar itu muat untuk perabot isi rumah. Bella merasa puas ketika dia memiliki ide gila untuk membawa barang-barang di dalam rumah.Ternyata perasaan lega menyuat di dalam hati Bella, keluar dari rumah yang selama ini mengurungnya. Mungkin semasa hidup bertiga bersama limpahan kelembutan Rafa cukup memberi kenyamanan. Tapi kenyataannya, pria itu hanya membuat cangkang yang kokoh tanpa memberikan arti hidup yang sebenarnya kepada Bella. Mantan suaminya itu bahkan tidak meninggalkan harta apapun untuknya. "Kita kemana Bu?" pertanyaan Aria membuyarkan lamunan Bella. Melihat mata indah anak gadisnya cukup memberi Bella semangat lagi. "Pertama, kita cari tempat makan dengan uang ini!" seru Bella menarik putrinya mempercepat langkahnya. Aria tersenyum bersemangat mendengar ajakan ibunya. Dia tahu, jika ibunya sedang dalam kebingungan, dia akan menghabiskan beberapa makanan untuk memuaskan perutnya dulu baru berpikir langkah selanjutnya. Alih-alih makan di pinggir jalan, Bella mengajak Aria datang ke sebuah restauran yang belum sempat dia datangi bersama Rafa. Dia pikir cukup jika hanya sekedar makan di sana, Bella be
Meski Mona terus bertanya dan berbicara, Bella terlihat tenang menghabiskan makanannya. Dia juga membiarkan pelayan membersihkan meja memastikan putrinya kenyang baru melihat ke arah wanita yang masih duduk di hadapannya menunggu dia berbicara. "Ada apa, Kau menemuiku?" pertanyaan pertama Bella mengejutkan Mona. "Aku sudah bicara panjang lebar bertanya semuanya, bahkan tidak ada yang kamu jawab?" protes Mona. "Kalau begitu aku pergi." "Eh tidak tunggu dulu, La?" cegah Mona menghentikan Bella yang hendak pergi. Bella duduk mencoba mendengarkan apa yang akan dikatakan Mona. Sekarang wanita itu malah menjadi ragu, dia tidak mengira jika bicara pada Bella membuatnya sesulit itu merangkai kata hanya sekedar menyapanya saja. "Bagaimana kabarmu, orang rumah dan kamu sedang apa di sini?" "Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Orang rumah yang mana kau maksud, tidak kah kamu lihat kalau kami sefang makan datang ke sini?" balas Bella. "Ah iya, maksudku ... Kamu minggat?" Mona meli
Bella khawatir tentang putrinya yang tinggal di lingkungan yang salah jika harus melewati hari dan malam yang sulit seperti sekarang. Dia berpikir keras sambil keluar dari rumah tantenya. Wanita tua itu memang sangat merepotkan jika Bella tidak waspada. "Apa Kau keponakan mami?" pertanyaan dari seorang gadis yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos ketat berjalan mendekat. "Hmm." "Perkenalkan, aku Lisa." Dia mengulurkan tangan untuk berkenalan dengan wajah cerianya."Bella," sahut Bella. "Kau tinggal di sebelah tempat tinggalku, jangan sungkan ya!" seru Lisa. "Tentu." Bella berlalu pergi menuju kontrakannya. Meski di jawab dengan lugas, tapi Lisa tampak menyukai Bella dari raut wajah yang bersemangat tersenyum mengikuti Bella. Sadar diikuti, Bella berhenti berjalan. "Aw!" rintih Lisa menabrak punggung Bella. "Apa yang sedang Kau lakukan?" tanya Bella. "Aku kan juga mau ke tempatku." "Hmm, jalan di depan," tegas Bella. Lisa berjalan melewati Bella sambil mengamati setiap
Bella masuk ke dalam rumah sambil memegang dadanya yang berdegup kencang akibat berlari, bahkan dia tidak mengkhiraukan orang-orang yang melihatnya berlari begitu saja. "Aku malah bertemu pria mesum yang lebih mengerikan," rutuk Bella menghela nafas. "Apa Ibu tidak tidur?" suara Aria mengejutkannya, dia berjalan mendekati anak gadisnya yang terbangun mendengar ibunya masuk sambil menutup pintu dengan keras. "Apa ibu membangunkanmu?" balas Bella. "Aku hanya kaget saja ibu menutup pintu." "Kembali tidur, besok masih harus sekolah kan?" Aria mengangguk kembali tidur meski ibunya masih duduk di hadapannya. Bella merutuki pria yang menariknya tadi, padahal dia berniat untuk melihat apa saja yang dilakukan tantenya hingga ada begitu banyak pelanggan pria berdatangan dan juga para wanita yang ikut berpasangan keluar masuk membuat dia merasa risih mengetahuinya. "Apa dia masih waras membuka tempat seperti ini apalagi ada anakku di sini?" rutuk Bella menyesal setuju untuk tinggal di tem
Suasana menjadi aneh dirasakan Bella ketika dia berada di dalam satu ruangan dengan pria yang membuatnya tidak nyaman saat ini. Selain keberadaan Noah yang tidak dia sukai, ada juga tatapan dari wanita tadi yang sempat di tolak Noah tergantikan olehnya."Apa si tukang menggigit hanya bisa menggigit?" pertanyaan Noah membuat Bella kesal. Ingat Bella sedang bekerja, kenyamanan pelanggan adalah tugas utama yang harus dijaga olehnya. Bella menarik nafas mencoba untuk mengabaikan Noah setelah menaruh minumam dia berencana untuk kembali keluar tanpa harus berurusan dengan Noah. Ketika diabaikan, Noah mengerutkan dahi sambil merasa heran ada wanita yang bahkan menolak bertatapan dengannya. "Kau wanita apa bukan hah?" teriak Noah. "Mungkin Anda rabun jika tidak tahu jenis apa saya, Tuan," cetus Bella. "Hah, rabun? Kau ...." "Saya permisi," sela Bella pamit. "Hei, siapa yang menyuruhmu keluar hah!" teriak Noah mulai kesal. bella berhenti berjalan menoleh ke aah Noah yang tertegun mendapa
Di lain tempat dalam perjalanan pulang, Noah memikirkan apa yang dikatakan Bella selama masuk dan duduk di kursi mobil. Dia tidak menghiraukan apalagi menjawab pertanyaan sekretarisnya. Leo kebingungan apa yang terjadi dengan tuan mudanya padahal belum lama dia pergi dan Noah berada di bar ruang privat yang sudah dia sediakan, tapi Noah keluar sambil mendengys kesal dan terdiam setelahnya. "Apa menurutmu aku gila kehormatan?" Mendengar pertanyaan Noah yang tiba-tiba, Leo menoleh sambil memikirkan maksud dari tuan mudanya. "Bukan Anda yang gila hormat, Tuan. Tapi mereka yang merasa harus menghormati Anda karena Anda layak mendapatkannya," jelas Leo. "Apa hal itu penting?" Leo mengerutkan dahi, pertanyaan Noah semakin membuatnya kebingungan dari mana Noah mendapatkan deretan pertanyaan itu, padahal dia baru saja bersenang-senang dengan para wanita. "Untuk Anda yang sukses, itu harus Tuan." Leo berusaha mengimbangi pertanyaan Noah. "Apa Kau menyukai hal itu?" tanya Noah lagi. Leo
Bella sedang menghitung jumlah tabungan miliknya, dia memikirkan pengeluaran dan juga kebutuhan Aria yang semakin besar. Dia kebingungan harus mencari pekerjaan tambahan kemana lagi, sedangkan satu kerjaan saja belum ada yang membantunya. Seketika ingat masa di mana Rafa selalu tahu apa yang sedang dipikirkan Bella, dia melihat lagi ke arah putrinya yang sudah tidur pulas di atas tempat tidur kecil meski cukup untuk berdua, tapi itu jauh berbeda dari dulu. "Bagaimana aku bisa membuat ini lebih baik dari sebelumnya?" gumam Bella.Merasa kesulitan menghadapi hari yang berat dengan pekerjaan yang sudah dia lalui. Menjadi pelayan cafe tidak sulit, tapi yang membuat dia berat ketika ada banyak tamu yang memperlakukannya dengan tidak baik. Terlebih lagi, dia juga takut jika putrinya tahu dan akan merasa malu jika ibunya bekerja sebagai pelayan di tempat hiburan.Bella mengela nafas tidak tahu harus melakukan apalagi agar dia bisa dapat penghasilan yang sepadan dengan kebutuhannya. Sebuah ket
Perasaan tak tentu dirasakan Bella ketika dia dalam perjalanan kali ini bersama lima wanita lainnya yang sibuk mempercantik diri, dia duduk di mobil berbeda dengan tantenya, bersama mereka yang biasa melayani pria. "Apa aku salah melakukan ini? Bagaimana kalau aku malah mengacaukan putriku," batin Bella bersandar sambil melihat jalanan yang asing baginya.Tidak ada yang mengajak Bella untuk berbicara, mereka hanya melontarkan tatapan merasa asing dengan kehadiran Bella diajak oleh Mona ke tempat penting kali ini. Sebenarnya dalam pikiran Bella hanya ada tentang putrinya dan segala resiko yang akan dihadapi jika anak gadisnya itu tahu tentang apa yang sudah diambil langkahnya kali ini.Perjalanan yang cukup panjang membuat dia merasa lelah, para wanita yang sudah dari 1 jam lalu berdandan dan mempercantik diri juga merasa kebosanan dan tidak jarang dari mereka yang merutukii perjalanan hingga harus mengoles ulang riasan mereka. Saat Bella melihat ke arah jendela mobil dia merasa kendar