Bab 4. Alina Membandingkan Alisya Dengan Sonya
“Mama! Bantu sisirin rambut Rena, dong, Ma!” Tiba-tiba Rena muncul di ambang pintu kamar.
“Iya, Sayang! Kemarilah!” Alisya menurunkan kedua tangan, memberi jalan untuk Rena.
Kemenangan ada di pihak Deva. Pria itu menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dia langsung buru-buru menuju mobilnya.
Alisya menghela napas panjang. Mencoba menentramkan hati yang gundah gulana. Menyembunyikan perasaan curiga di lubuk hati, agar anak-anak tak terpengaruh akan hal yang belum tentu kebenarannya. Ritinitas pagi ini harus segera dia laksanakan. Membantu putri-putrinya menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Setelah Rena rapi, dia harus menuju kamar Tasya.
“Sudah cantik, sekarang sarapan, sana! Mama mau membantu Kak Tasya lagi!” kata Alisya setelah mengepang rambut Rena.
“Iya, Ma!” Rena mengangguk patuh. Gadis berkepang dua itu segera melaksanakan titah sang bunda.
Alisya buru-buru ke kamar Tasya. Tetapi dia terlambat. Tasya sudah keluar dari kamar dengan rambut acak-acakkan. Tanpa sarapan, putri sambungnya itu berjalan tergesa menuju halaman. Pak Dadang, sang supir pribadi sudah menyiapkan mobil buat mengantar kedua putri majikan.
“Tasya, Sayang? Tunggu, Nak! Mama sisirin dulu rambutnya! Tasya juga belum sarapan, kan?” Alisya mengejar gadis tanggung berusia sepuluh tahun itu.
“Tasya enggak mau sarapan, Ma! Sarapan di sekolah saja!” seru Tasya makin memanjangkan langkah kakinya. “Buka pintu mobilnya, Kek!” teriaknya pada Pak Dadang. Sang supir segera melaksanakan perintah Nona majikan.
“Ok, kalau Tasya tidak mau sarapan, tidak apa-apa! Tapi setidaknya sisirin rambutnya, Sayang! Sini mama rapikan, Nak!” Alisya mengejar sampai ke dalam mobil.
“Tidak usah, Ma! Tasya bisa telat! Biarin rambutnya acak-acakan, gak apa-apa! Renaaaa …! Cepat, dong!” Tasya kembali berteriak.
Rena datang dengan langkah terburu. Gadis kecil berusia delapan tahun itu berusaha menyandangkan tas sekolahnya sambil berjalan. Bik Iyah mengikuti dari belakang dengan segelas susu di tangan.
“Abisin dulu susunya, Non!” bujuknya sambil terus mengejar.
“Gak sempat Bik! Kak Tasya udah marah-marah!” tolak Rena dengan wajah sangat khawatir. Langsung masuk ke dalam mobil, duduk patuh di samping Tasya.
“Ini … ini … kalian sebenarnya ada apa, sih? Ini masih jam berapa? kenapa buru-buru sekali perginya? Tasya tidak sarapan, bahkan tidak sempat sisiran. Rena juga ikut-ikutan? Kenapa kalian ini?” sergah Alisya menatap kedua putrinya keheranan.
“Non Tasya yang buru-buru, Buk. Non Rena takut sama Non tasya, makanya gak sempat menghabiskan susunya,” tutur Bik Iyah menerangkan.
“Berangkat, Kek! Tasya telat, nih!” teriak Tasya langsung menyela, sedikitpun tak menghiraukan aduan ART-nya.
“Tasya kenapa buru-buru sekali ke sekolah, Nak? Ada yang Tasya kejar? Siapa?” cecar Alisya. Tasya tak menjawab.
“Rena habiskan susunya!” perintah Alisya. Gadis kecil itu menurut. Dia teguk susu di dalam gelas hingga tandas.
“Berangkat sekarang, Kek! Cepetan, dong!” Tasya terlihat makin gelisah.
“I-iya, Non! Kami berangkat ya, Bu!” Pak Dadang mengangguk kepada Alisya, lalu mulai melajukan mobil pelan-pelan.
Saat itulah sebuah mobil mewah memasuki halaman.
“Stop, Kek!” teriak Tasya spontan. Mobil berhenti, gadis tanggung itu segera membuka pintu mobil. Dia keluar lalu berlari menghampiri mobil yang baru datang. Rena mengikutinya.
“Nenek!” Tasya menghambur ke dalam pelukan seorang wanita yang baru turun dari dalam mobil mewah. Alina, ibu mertua Alisya.
“Nenek!” Rena tak ikut meghambur. Dia hanya mengulurkan tangan hendak menyalam dan mencium punggung tangan Alina. Namun, wanita paruh baya itu mengabaikan uluran tangannya. Tangan mungil Rena mengambng di udara. Itu tak luput dari perhatian Alisya. Wanita itu segera mendekati ketiganya.
Alina tengah sibuk dengan cucu kandungnya, sehingga abai akan uluran salam dari cucu yang satunya.
“Sayang? Astaga, Tasya! Cucu Nenek! Kamu … kamu kenapa kumal, begini?” tanya Alina dengan kedua mata membulat sempurna.
Wanita itu memindai penampilan Tasya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu beralih menatap Rena. Sang nenek tengah membandingkan kedua bocah perempuan itu.
“Rena begitu rapi, cantik, bersih dan tampak sangat terawat. Lha, kamu? Kenapa kamu terlihat burik dan ya, Tuhan, Tasya! Andai mamamu Sonya ada di sini, Nenek yakin, dia akan mengurus kamu dengan baik. Seperti Mama Alisya mengurus Rena dengan begitu baik, Sayang!” sindirnya melirik ke arah Alisya.
Alisya tersentak kaget. Kalimat sindiran ibu mertua terdengar pedas di telinga. Untuk pertama kalinya, wanita itu menyebut nama Sonya dalam lima tahun ini. Bahkan Alina tak segan membandingkan mantan menantunya itu dengan Alisya. Apa maksudnya? Padahal baru tadi malam Deva juga salah sebut nama yang sama. Kenapa ini berbarengan terjadinya? Ada apa sebenarnya?
“Maaf, Ma! Saya tidak pernah membedakan antara Tasya dengan Rena,” sergah Alisya memberanikan diri menentang ucapan sang ibu mertua.
“Mama tidak menuduhmu membedakan mereka. Mama hanya melihat kenyataan yang ada di depan mata. Ayo, Tasya, masuk dulu, nenek sisirin rambut kamu dulu!” Alina menggandeng cucunya kembali masuk ke dalam rumah.
“Setiap pagi saya mengurus keberangkatan mereka ke sekolah, Ma. Saya pasti sisiri rambut Tasya sama seperti rambut Rena. Tak ada yang berbeda. Biasanya, saya justru lebih mendahulukan Tasya. Setelah Tasya rapi baru saya ke kamar Rena,” papar Alisya mengikuti dari belakang.
“Sudahlah, Sya! Mama tidak menuduhmu tidak mengurus Tasya!” bantah Alina dengan nada datar sambil terus berjalan menuju kamar Tasya.
“Kebetulan pagi ini saya merapikan Rena duluan, karena dia datang ke kamar saya. Saya terlambat ke kamar anak-anak karena sempat cekcok dengan Mas Deva tadi. Tapi, setelah Rena rapi saya langsung ke kamar Tasya, kok. Tasya malah menolak saya sisiri rambutnya. Dia memaksa buru-buru berangkat ke sekolah, tanpa sarapan.”
“Jadi, Tasya belum sarapan juga, Nak?” Alina menatap lekat cucunya.
Tasya menggeleng sambil melirik Alisya.
“Hem, miris betul cucu Nenek! Sudah, sekarang nenek sisir rambutnya, sini kepalanya, Sayang! Bik Iyah …!” Alina mulai menyisir rambut panjang Tasya sambil memanggil ART di rumah itu.
“Saya, Nyonya Besar!” Bik Iyah datang tergopoh-gopoh.
“Buatkan sarapan untuk Non Tasya, bawa ke sini, cepat!”
“Baik, Nyonya Besar.”
Alisya terdiam. Gemas sebenarnya melihat sikap Tasya. Sama sekali dia tak protes saat neneknya memintanya balik ke rumah, bahkan harus sarapan terlebih dahulu. Padahal tadi gadis kecil itu berteriak-teriak mengatakan kalau dia sudah terlambat.
Bik Iyah datang dengan sepiring nasi goreng dan segelas susu. Alisya berinisiatif untuk menyuapi Tasya. Namun Alina segera merebut piring dan gelas dari tangannya.
“Biar mama! Kamu urus yang lain saja!” sindirnya meski dengan nada lembut. Alisya makin tersudut.
“Bik Iyah, tolong masukkan semua pakaian dan barang-barang Non Tasya ke dalam koper. Bawa ke mobil saya, ya!” perintah Alina kemudian.
“Apa? Bu-buat apa, Ma?” Alisya tersentak kaget.
“Mulai sekarang Tasya tinggal di rumah Mama! Sepertinya kamu sangat kerepotan mengurus anak-anak,” jawab Alina semakin mengagetkan Alisya.
*****
Bab 5. Permintaan Mengejutkan Ibu Mertua“Mulai sekarang Tasya tinggal di rumah Mama! Sepertinya kamu sangat kerepotan mengurus anak-anak.” Alina semakin mengagetkan Alisya.“Tidak! Saya tidak mengijinkan Tasya ikut Mama! Bik! Hentikan! Kembalikan koper itu ke atas lemari!” tegas Alisya dengan suara kencang.“Hey, kenapa? Mama hanya ingin meringankan beban kamu! Sepertinya kamu sangat repot mengurus semuanya. Mama tak bermaksud apa-apa!”“Maaf, Ma! Nanti saja kita lanjutkan pembicaraan ini! Saya tak mau kita berselisih di depan Tasya! Tasya cepat makannya, Nak! Lalu berangkat ke sekolah, ya!”Alina terdiam beberapa saat. Alisya ternyata masih setegas dulu. Tetapi, kali ini dia tak akan mau kalah lagi. Alina mengg
Bab 6. Café Seberang Kantor“Kamu?” Alisya mendelik tajam ke arah sang sekretaris. Gadis itu menunduk, menekuri lantai dengan hati yang berdebar.“Apa maksudnya ini? Kenapa ruangan Pak Dirut kosong? Di mana dia? Di mana tamu penting seperti yang kau sebutkan tadi? Di mana mereka? Apakah di toilet?” cecar Alisya menyerbu masuk ke dalam ruangan. Alisya memeriksa hingga ke toilet, namun tak menemukan siapa-siapa di sana. Dia juga mencari ke balik lemari tempat penyimpanan dokumen perusahaan, hasilnya juga nihil.“Di sini tak ada siapa-siapa, Deby! Ke mana Pak Dirut, ha?” teriak Alisya kebingungan.Deby masih menunduk. Ketakutan makin mendera. Sedikitpun dia tak menyangka kalau Alisya bakal datang ke kantor. Menurut keterangan Deva tadi pagi, Alisya tidak masuk kantor hari ini. Bila a
Bab 7. Wanita Dari Masalalu DevaAlisya segera menyapu seluruh ruangan café dengan netra. Benar saja, sepasang mantan suami istri sedang bercengkrama di sudut sana. Sonya.Sesaat Alisya membeku di posisi berdirinya. Serasa tak percaya dengan apa yang disaksikan olehnya saat ini. Deva suami yang begitu dia percaya, ternyata menemui wanita lain di belakangnya. Lebih mengagetkan lagi karena wanita itu ternyata Sonya.Wanita dari masalalu suaminya. Apa artinya ini? Jadi, tadi malam yang Deva sempat salah sebut nama itu benar adanya? Bahwa ternyata memang sudah ada nama Sonya di hatinya? Kenapa? Bagaimana bisa wanita itu kembali hadir di hati Deva? Bukankah Deva sangat membenci Sonya?Alisya menatap lekat keduanya. Mata elang Deva terlihat begitu intens memandang wajah Sonya. Penampilan Sonya yang berubah setelah keluar dar
Bab 8. Jebakan Dalam Chat Mesra“Aku milik Mas Deva! Kita nikah, ya, Mas! Tolong miliki aku!” Sonya merengek seraya meneteskan air mata.“Maaf, Sonya. Tolong jangan menangis! Permintaanmu sangat berat untukku. Aku tidak bisa penuhi itu. Sebaiknya kamu pulang! Aku ada meeting setengah jam lagi,” bujuk Deva. Bujukan itu justru membuat tangis Sonya pecah.Alisya merasa sedikit lega mendengar jawaban Deva.“Jangan menangis, dong! Kamu tahu ‘kan watakku? Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis. Kau tentu belum lupa itu!” sergah Deva mengingatkan Sonya.“Ya, aku akan coba untuk tidak menangis. Tapi aku sangat kecewa dengan jawaban kamu, Mas.”“Maaf, ini, hapus air matamu!” Deva mengulurkan beberapa lembar
Bab 9. Rahasia Sonya dan Ibu Mertua“Ok, cukup! Angap saja chat mesra kalian sudah sampai ke aku!” teriak Alisya bangkit dari duduknya. Wanita itu berjalan menghampiri Deva dan Sonya yang sempat saling berebutan ponsel.“Alisya?” Deva menoleh ke arah Alisya. Wajah penuh emosi itu kini berubah tegang.“Kau … di sini?” pekik Sonya tak kalah kaget.“Ya, aku di sini! Senang bisa bertemu dengan kalian di sini. Terutama dengan Ibu. Apa kabar, Bu Sonya?” tanya Alisya kini berdiri tepat di hadapan keduanya. Tatapannya lekat di wajah Sonya.“Sejak kapan kamu di sini, Sya?” tanya Deva dengan suara bergetar.“Apakah itu penting?” sahut Alisya melirik Deva sekilas seraya tersenyum tipis.
Bab 10. Zina Lewat Chat Dianggap Biasa“Alisya, kau di sini? Aku sudah memintamu jangan ke kantor hari ini, kan?” Alina, sang ibu mertua menatap nanar ke arah mereka. Wanita itu terlihat salah tingkah. Langkah kakinya tertahan seketika. Betapa dia juga sama terkejutnya. Semua yang dia rencanakan bersama sang mantan menantu kesayangan gagal total.Tetapi itu hanya sesaat. Wanita itu kini berdiri tegak dengan wajah sangar. Menatap ke Alisya tanpa rasa bersalah sedikitpun.“Ma, kenapa Mama bisa ke café ini juga? Dan Tasya?” Alisya masih tak percaya dengan penglihatannya.Alina yang dulunya teronggok lemah di kursi roda, kini telah kembali ke watak aslinya. Sejak Alisya resmi menjadi menantu, kasih sayang tak terhingga senantiasa Alisya curahkan kepadanya. Perawatan paling sempurna dia lakukan pada
Bab 11. Ancaman Alina“Mama Alisya …. Tungguin Tasya!”Alisya tercekat, Tasya mengejarnya. Langkah kaki Alisya terhenti seketika.“Mama, Tasya ikut pulang bareng Mama ….” Langkah kaki kecil gadis menjelang remaja itu terdengar kian mendekat.“Tasya! Sayang!” panggil Sonya dan Alina bersamaan. Mereka tersentak kaget. Keduanya segera mengejar Tasya. “Tasya! Tunggu!” Alina berteriak.“Sayang, ini Mama, Nak! Tasya …!” Sonya ikut berseru.Namun, Tasya tak peduli. Gadis itu menubruk Alisya, memeluk sang mama sambung dengan erat. “Ma, jangan tinggalin Tasya. Maaf, tadi pagi Mama udah berpesan agar Tasya pulang sekolah bareng Kek Dadang. Tapi, Nene
Bab 12. Big Bos Tertampan Tapi Arrogant“Apa? Surat cerai untuk Alisya? Dari Mama? Mama yang menceraikan dia?” Deva terperangah.Alisya tak kalah kaget. Ucapan ibu mertuanya bagai petir menyambar di siang bolong. Tak ada lagi praduga-praduga. Ungakapan Alina adalh suatu kejelasan yang tak perlu diragukan lagi. Ini adalah jawaban dar semua tanda tanya yang berseliweran di benak Alisya. Ibu mertuanya ingin menyingkirkannya.“Maksud Mama, Mama ingin aku menikahi Sonya meskipun aku sudah memiliki Alisya? Mama ingin aku memiliki dua orang istri? Dan kalau Alisya tidak setuju, Mama akan menceraikannya?” ulang Deva menatap ibunya dengan mata membulat tajam.“Iya, kenapa? Apakah ada yang aneh dengan rencana mama ini?” Alina balas menatap tak kalah tajam. Sonya tersenyum samar di balik pung