Share

Bab 3. Pertengkaran di Pagi Buta

Bab 3. Pertengkaran di Pagi Buta

[Selamat pagi, akhirnya kamu  online juga. Gimana hari ini? Aku bisa lepas kangen enggak?]

Pesan itu diakhiri dengan emoticon kiss tiga buah. Alisya terpana. Mata teduhnya mengulang membaca berkali-kali. Pengirimnya adalah PT. Amor.  Salah bacakah dia? Pesan apa ini?

Alisya harus segera bergerak. Menanyakan pesan itu sekarang juga. Tapi, Deva pasti mengelak lagi.  Bimbang, Alisya belum bisa mengambil keputusan. Segera dia menghapus chat aneh itu, mematikan ponsel, lalu mengembalikannya  ke balik bantal Deva.  Dia  berusaha agar tetap tenang seolah semua baik-baik saja.

Ponsel Alisya tiba-tiba berdering. Buru-buru dia meraih ponsel di atas nakas. Wajah ibu mertuanya ada di layar. “Mama? Ada apa pagi-pagi buta sudah nelpon?”  batin Alisya, wanita itu  segera mengusap layar.

“Hallo, selamat pagi, Ma!” ucapnya dengan nada riang.  Itu yang selalu dia lakukan bila sang mertua menelepon.  Alina akan khawatir bila nada suara  Alisya terdengar sedih. Dia akan segera datang untuk memastikan, meskipun Alisya telah menjelaskan. Begitu biasanya.

“Pagi, Alisya! Mana Deva?”

Alisya terperangah. Nada suara Alina pagi ini sungguh mengagetkan. Suara Alina yang biasanya terdengar ramah, lembut, dan begitu memanjakan Alisya, kali ini terdengar  ketus.

“Ada, Ma, tapi lagi mandi. Bentar, ya, saya panggilkan!”

“Tak usah! Mama bicara sama kamu saja!”

“Baik, Ma! Ada apa pagi-pagi udah nelpon? Mama sehat? Papa juga sehat, kan?”

“Mama cuma mau bilang, kalau mama mau ke situ! Kamu tidak usah ke kantor  hari ini!“  ucap Alina tanpa menjawab pertanyaan Alisya.

“Baik, Ma! Makan siang di sini sekalian, kan? Mama mau dimasakin apa?” Alisya tetap berusaha sopan dan ramah.

“Mama ke rumahmu bukan mau refressing, apalagi cari makanan. Tapi  karena ada keperluan penting! Kalau orang tuamu dari kampung datang … iya, kamu harus sedia makanan enak-enak. Mama maklum, kok, mereka memang butuh menu sehat. Hitung-hitung perbaikan gizi. Biar  tidak sakit-sakitan. Tapi kalau mama, gak penting! Setiap hari gizi mama sudah terpenuhi. Udah, ya! Mama mau siap-siap!“

Elma tersentak. Kalimat Alina makin menohok.

“Baik, Ma! Assalamualaikum!”

“Walaikumsalam!” Telepon langsung terputus.

Alisya tercenung.  Keanehan sikap Alina pagi ini sungguh mengaduk pikiran. Apalagi dengan rencana sang ibu mertua untuk datang secara tiba-tiba, ada apa sebenarnya?

*

“Aku izin tidak ke kantor hari ini, Mas!” kata Alisya sembari menyediakan pakaian kantor buat Deva.

“Kenapa? Kamu sakit, Sayang?” Deva terlihat cemas. Punggung tangannya dia tempelkan di kening Alisya.

“Tidak,  Mama tadi telpon, dia mau datang, katanya ada yang penting!”

“Oh, ya, sudah! Biar aku saja yang ke kantor, ya!” Deva terlihat begitu senang mendengar laporan Alisya. Pria itu langsung meraih ponsel di balik bantal, mengaktifkan, lalu mengetik sesuatu melalui pesan W******p.

Alisya pura-pura tak mlihat tingkah anehnya itu.

Deva begitu tergesa saat berpakaian setelah memasukkan ponsel ke dalam tas kerja.  Pria itu mematut diri di depan cermin berulang kali. Persis seperti anak ABG yang sedang dilanda asmara.

“Mas minum susu saja, nanti sarapannya di kantor, belum lapar soalnya!” ucapnya  sambil merapikan belahan rambutnya.

“Bawakan tas kerja Mas ke mobil, ya!” teriaknya sambil berjalan menuju ruang makan.

“Kenapa Mas Deva terlihat begitu senang kalau aku tidak ke kantor?” tanya Alisya membatin.

Alisya harus menyelidiki  kejanggalan ini.  Diawali dengan ponsel Deva, mungkin bisa memberi sedikit titik terang. Alisya harus mencari tahu, kepada siapa Deva mengirim pesan, begitu mendapat laporan bahwa Alisya tak ke kantor hari ini.

Kebetulan sekali Deva memintanya mengantar tas kerja ke mobil. Alisya punya kesempatan memeriksa benda pipih itu terlebih dahulu. Segera wanita itu mencari ponsel di dalam tas, menyalakannya, lalu memasukkan sandi Pin.

Alisya langsung mencari chat yang baru saja terkirim. Kosong, Alisya tak menemukan apa-apa. Dia tak tahu kalau Deva segera menghapus begitu pesannya terkirim.

Wanita itu mencoba berpikir positif. Deva hanya menghubungi seseorang tentang urusan bisnis. Tak lebih. Deva tak mungkin berbuat macam-macam.

Segera dia  mengembalikan ponsel  ke dalam tas.  Namun, gerakannya terhenti saat sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Deva.  Mungkin penting urusan bisnis, pikir Alisya masih berusaha tenang.  Segera dia baca untuk dilaporkan  kepada Deva.

[Masa cuma ketemu di kantor, Mas? Ke hotel, dong? Tapi, tidak apa-apalah, mumpung istri Mas tidak  ke kantor hari ini. Ketemu di kantor juga tidak apa-apa. Pokoknya satu hari ini waktu Mas Deva buat aku, ya?]

Alisya membeku,  balasan pesan itu dilengkapi dengan emoticon hati tiga buah, dan  kiss empat buah. Kembali PT. Amor mengirim  chat semesra ini? Bisnis apa ini?

“Sayang? Ngapain?”

Alisya tersentak kaget. Deva telah berdiri di belakangnya. Pria itu memanjangkan leher melewati bahu sang istri, ikut membaca pesan masuk. Pesan dari sebuah nomor yang  dibuat Deva dengan nama PT. Amor.

[Masa cuma ketemu di kantor, Mas? Ke hotel, dong? Tapi, tidak apa-apalah, mumpung istri Mas tidak  ke kantor hari ini. Ketemu di kantor juga tidak apa-apa. Pokoknya satu hari ini waktu Mas Deva buat aku, ya?]

Deva membaca pesan itu dengan suara lantang.

“Oh, jadi kamu belum mengantar tas kerjaku karena asik membaca chat canda ini, Sayang?” Deva memeluk bahu Alisya.

“Chat canda? Maksud Mas Deva ini hanya canda?” sergah Alisya segera melepaskan diri dari pelukan. Dia berbalik, kini mereka  berhadapan begitu rapat. Bola mata Alisya menghujam tepat di manik-manik mata elang Deva.

“Jangan emosi, Sya! Ini hanya canda antara sesama pimpinan perusahaan!  Biasalah, bisnis  kalau dibawa terlalu serius, gampang sters. Mudah stroke! Kamu mau punya suami yang mulutnya merot, badan mati sebelah, lalu manggil kamu aaaaaaca … aaaaacaaaaa … aaacaaaaaaaaa …!”

Deva mempraktekkan cara berjalan orang yang menderita lumpuh badan separuh, dengan mulut merot sebelah.

“Gak lucu, Mas! Aku mau tahu apa yang Mas Deva bilang ke dia sehingga balasannya seperti ini!” sergah Alisya emosi.

“Aku buru-buru, Sayang!”  Serta merta Deva merebut ponsel dari tangan Alisya. “Aku harus berangkat sekarang, ya!” tambahnya seraya meraih tas kerja di atas nakas, lalu melangkah  ke arah pintu kamar.

“Tunggu, Mas!” Suara Alisya meninggi. Langkahnya panjang-panjang menyusul sang suami.

“Aku buru-buru, Sya! Sudahlah!”

“Jelasin dulu siapa itu PT. Amor!!” Alisya memalangkan tangan di pintu kamar. Itu membuat Deva tak bisa keluar.

“Kenapa kau curiga kepada PT. Amor? Dia itu mitra bisnis kita, Sayang! Seluruh karyawan di perusahaannya menggunakan sarung tangan saat bekerja. Dan kamu tahu dari mana pimpinan PT itu memasoknya? Dari perusahaan kita, Sya! Kenapa kau malah curiga padanya?”

“Ok, aku percaya. Tapi, pimpinan PT Amor  itu perempuan, kan? Jelasin kenapa dia mengirim chat semesra itu!”

“Stop Alisya!!” teriak  Deva hilang kesabaran.

“Mama! Bantu sisirin  rambut Rena, dong, Ma!” Tiba-tiba Rena muncul di ambang pintu kamar.

*****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
betal.jani
huh.. dave memanfg pibtar sekali ya...
goodnovel comment avatar
Yayu Tinah
nyebelin banget sih tuh Deva gereget dot com deh jadinya aku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status