Bab 5. Permintaan Mengejutkan Ibu Mertua
“Mulai sekarang Tasya tinggal di rumah Mama! Sepertinya kamu sangat kerepotan mengurus anak-anak.” Alina semakin mengagetkan Alisya.
“Tidak! Saya tidak mengijinkan Tasya ikut Mama! Bik! Hentikan! Kembalikan koper itu ke atas lemari!” tegas Alisya dengan suara kencang.
“Hey, kenapa? Mama hanya ingin meringankan beban kamu! Sepertinya kamu sangat repot mengurus semuanya. Mama tak bermaksud apa-apa!”
“Maaf, Ma! Nanti saja kita lanjutkan pembicaraan ini! Saya tak mau kita berselisih di depan Tasya! Tasya cepat makannya, Nak! Lalu berangkat ke sekolah, ya!”
Alina terdiam beberapa saat. Alisya ternyata masih setegas dulu. Tetapi, kali ini dia tak akan mau kalah lagi. Alina menggeleng beberapa kali, lalu melanjutkan menyuapi cucunya dengan penuh kelembutan.
“Sudah, sekarang berangkat, ya, Sayang!” Alina mengecup lembut kedua pipi Tasya.
“Dadah, Nek!” Tasya terlihat begitu gembira.
“Ingat, Sya! Pulangnya dijemput Kakek Dadang, jangan ke mana-mana! Paham, kan, Sayang!?” Alisya mengingatkan.
Tasya hanya mengangguk lalu berjalan cepat menuju halaman depan.
“Baik, Ma! Sekarang sudah tak ada anak-anak! Kita langsung saja. Kita bebas berbicara sekarang. Saya memang menghormati Mama, tapi saya tidak suka Mama menyindir-nyindir saya di depan anak-anak. Terutama di depan Tasya!” kata Alisya begitu Tasya berlalu.
“Mama tidak bermaksud menyindir kamu, Sya! Apa yang mama lihat, itu yang mama ucap!” sanggah Alina sambil keluar dari kamar Tasya. Wanita yang tetap terlihat anggun itu berjalan menuju ruang keluarga.
“Apa yang Mama lihat, itu tak seperti yang Mama pikirkan, Ma! Saya sudah jelaskan tadi, bahwa saya tidak pernah membedakan antara Rena dan Tasya. Bahkan saya selalu lebih mendahulukan Tasya karena dia anak paling besar,” tegas Alisya sambil berjalan mengikutinya.
“Ok, anggap saja mama percaya! Sudahlah, berhenti bahas itu!” Alina menghenyakkan bokongnya di sofa.
“Maaf, Ma! Saya tidak bermaksud berkata kasar pada Mama. Saya hanya tidak mau ucapan sindiran Mama akan meracuni pikiran Tasya. Tasya itu bukan anak kecil lagi. Dia sudah mulai memasuki usia remaja. Sangat gampang terpengaruh dengan hasutan. Saya tidak mau dia membenci saya karena kalimat sindiran Mama tentang saya! Saya menganggap Tasya itu putri pertama saya. Mama tak perlu ragu akan kasih sayang saya padanya. Saya mohon, ya, Ma!”
“Ok, saya bilang cukup! Kita sudahi pembicaraan tentang itu!” Alina menghentak napas dengan kasar.
“Baik, Ma. Terima kasih. Mama mau minum apa? Biar saya buatkan.” Alisya ikut duduk tak jauh dari ibu mertuanya.
“Tidak usah, saya sudah kenyang dengan situasi ini! Tak perlu repot!” Kembali kalimat sindirin yang terlontar.
Alisya menghela napas panjang. Sikap ibu mertuanya benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat.
“Kalau boleh tahu, ada apa Mama ke sini? Sepertinya ada hal yang sangat penting,” tanya Alisya mencoba bersabar.
“Ya, mama ingin menyampaikan satu hal yang sangat penting. Meski sebenarnya Mama tak tega mengatakan ini pada kamu. Mama sudah menyuruh Deva untuk berbicara langsung sama kamu. Tapi, katanya dia tak berani. Itu sebabnya Mama yang datang langsung ke sini menemui kamu.”
“Ada apa, Ma? Sepertinya serius sekali. Dan Mas Deva juga sebenarnya sudah tahu akan hal ini? Kenapa Mas Deva tidak mengatakan langsung kepada saya?” cecar Alisya dengan kedua alis tebalnya yang saling menaut. Pikirannya berkecamuk. Perasaan tak enak menyergap. Alisya semakin gelisah.
“Sudah mama bilang tadi, kan? Sebenarnya Deva tak enak mau ngomong langsung sama kamu! Jadi, dia meminta mama yang bilang. Padahal mama juga tidak enak mau bilang sama kamu.”
“Ya, sudah, tak usah bertele-tele, bilang saja sekarang! Ada apa sebenarnya?”
“Begini, Sya. Deva menemui mama beberapa hari yang lalu. Dia mengutarakan tentang keinginanya. Bahwa sebenarnya, dia sangat ingin punya anak satu lagi dari kamu.”
“Apa, Mas Deva pengen punya anak lagi, tapi mintanya sama Mama?” Kening Alisya mengernyit kencang.
“Ya, karena dia segan ngomong langsung sama kamu.”
“Lho, saya ini istrinya, Ma! Bagaimana mungkin Mas Deva segan meminta itu pada saya? Ini sama sekali tak masuk akal, lho!”
“Karena ini ada kaitannya dengan pekerjaan kamu, Sya!”
“Maksud Mama?”
“Sepertinya kamu sangat kerepotan dengan semu aktivitas kamu selama ini! Ngurus anak-anak, ke kantor, di kantor juga urusan tak ada hentinya. Kamu gak akan bisa hamil kalau terus menerus capek seperti saat ini!”
“Jadi, maksud Mama … aku … aku harus berhenti kerja, begitu?”
“Ya, itu juga sebabnya, Tasya akan mama bawa untuk tinggal di rumah mama.”
“Ok, saya paham sekarang. Saya akan bicarakan ini dengan Mas Deva. Kami adalah pasangan. Segala sesuatunya harus kami bicarakan bersama. Tetapi tentang Tasya, saya mohon maaf kepada Mama. Saya tidak akan melepas dia. Dia adalah anak suami saya. Artinya anak saya juga. Hanya saya yang berhak mengasuhnya.” Alisya berkata tegas.
“Baik, tapi mama yakin tentang pekerjaan kamu, Deva akan berkeras. Sebab mama juga kurang setuju kamu masih saja bekerja, padahal anak-anak butuh kamu di rumah.”
“Saya akan bicarakan hal itu dengan Mas Deva, Ma! Saya akan ikuti keputusannya.”
“Kalau tentang pekerjaan, keputusan ada di tangan mama, kau lupa, ya, kalau perusahaan itu milik mama?”
Alisya tercekat, mata cantiknya menatap lekat wajah sang mertua.
“Mama tegaskan saja, bahwa mama memintamu mundur dari perusahaan, ini terpaksa mama lakukan, demi cucu-cucu mama! Harap kamu maklum! Permisi!”
Alina bangkit dari duduknya, langsung beranjak pergi.
Alisy terhenyak. Tiba-tiba seluruh tubuhnya terasa lemas. Jadi ini tujuan mertuanya yang sebenarnya. Alina memecatnya dari pekerjaan. Kenapa? Apakah benar karena Deva ingin punya anak satu lagi darinya? Artinya, yang dilakukan ibu mertua adalah murni demi kebahagiaan Deva dan Alisya? Tetapi, kenapa Alisya menangkap ada yang tak beres? Sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Tetapi apa?
Chat mesra yang dikirim PT. Amor ke W******p suaminya tadi pagi kembali terlintas di pikiran. Apakah ini ada kaitannya? Tak perlu menunggu lama, Alisya bukanlah type perempuan yang suka menunda-nunda. Sekarang juga dia akan cari tahu segalanya.
Gegas wanita itu berganti pakaian, langsung bergerak menuju kantor.
**
“Maaf, Bu! Pak Dirut sedang ada tamu penting. Beliau berpesan, jangan diganggu dulu!” Deby, sang sekretaris menghentikan langkah Alisya.
“Oh, ya? Tapi saya tidak akan lama,” ucap Alisya tetap melanjutkan langkah. Tak biasanya sang sekretaris melarang dia memasuki ruangan suaminya. Itu membuat Alisya makin curiga.
“Kalau begitu akan saya tanya Pak Dirut dulu, Bu! Boleh atau tidak Ibu masuk, sabar, ya, Bu! Tunggu di sini saja!” kata gadis itu lagi.
“Biar saya tanyakan sendiri, kamu tenang saja! Kembali ke mejamu!” tegas Alisya menekan handel pintu lalu mendorongnya dengan kencang.
“Kamu?” Alisya mendelik tajam ke arah sang sekretaris.
*****
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan