Pagi itu, cahaya matahari sudah terang. Menyusup lembut melalui tirai kamar yang belum tidak tertutup sepenuhnya. Suasana jelas sudah cukup sibuk dari dapur.
Di ranjang, Kay terbangun lebih dulu. Ia menoleh, melihat Livy masih terlelap di sampingnya, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum. Mengingat sepintas kehangatan malam yang begitu dirindukan. Sebelum akhirnya meninggalkan tempat tidur, Kay mengecup pipinya pelan. Ia tak membangunkan istrinya.
Kay turun dari ranjang dengan pelan, mengenakan pakaian seadanya, lalu ke kamar mandi. Setelahnya dia keluar kamar. Di lantai bawah, suara langkahnya memantul pelan pada ruang yang mengarah ke kamar Richard.
“Pagi Tuan…” sapa Bibi Eden, yang terlihat baru dari kamar Richard.
“Pagi Bi… Albern sudah bangun?” tanya Kay.
“Belum Tuan…” sahut si Bibi.
“Kalau sudah, tolong bawa ke aku ya, Bi. Mamanya masih tidur,” jelas Kay.
“Ya, aku tidak menyangka kamu sanggup puasa sampai berminggu,” bisik Livy.Kay memejamkan matanya. Ia menekan pelipisnya. “Tak ada hasrat untuk menghadapi sakitnya kehilangan,” ucapnya.“Sekarang?” tanya Livy, menghibur suaminya itu.Kay menatapnya. “Kalau boleh…”“Asal tidak berhenti di tengah jalan,” pancing Livy. Dia memang sengaja menggodanya. Sejenak untuk menghibur suaminya dan mengalihkan kesunyian yang sudah seminggu mengurung mereka.“Kau menantangku?” tanya Kay geram namun gemas.Livy terkikik saat Kay memeluk perutnya kuat agar tidak ada celah di antara mereka.“Justru kamu yang harus menjaga suaramu, Sayang! Jangan sampai menjerit kalau belum mencapai puncak!” gumamnya.“Kay…!” teriak Livy saat suaminya itu langsung mengentak tubuhnya dan mengangkatnya sehingga dia berada di atas tubuh Kay.“Aku
Sudah seminggu sejak kepergian Richard. Rumah itu tak lagi sama. Tentu saja tidak akan pernah lagi sama.Hening dan sunyi menyelimuti tiap sudut, seakan ikut berduka bersama mereka. Meja makan yang biasanya riuh oleh candaan dan suara batuk ringan Richard, kini lebih banyak diisi oleh diam dan tatapan kosong.Albern sering kali bertanya, “Kakek mana?”Pertanyaan itu terdengar setiap pagi dengan mata polos dan penuh harap. Anak kecil itu seakan lupa kalau kakeknya sudah tidak ada. Setiap kali itu pula, hati Livy terasa terkoyak. Terlebih Kay. Mereka hanya bisa memeluk Albern erat dan menjawab pelan, “Kakek sudah istirahat panjang di tempat yang sangat damai.”Hari-hari mereka tetap berjalan, meski terasa lebih lambat dan berat. Namun, di balik kesedihan yang menyelimuti, hubungan Kay dan Livy justru semakin erat. Ada keheningan yang dipenuhi perhatian kecil. Tatapan yang lebih dalam, pelukan yang lebih lama dan percakapan yang tak terlalu banyak, tapi penuh makna.Malam itu, setelah Al
Rumah yang selama ini terasa hangat kini terasa begitu hening. Langit mulai mendung, seolah ikut merundung kesedihan yang menggantung di setiap sudut ruangan. Tak ada lagi suara batuk pelan Richard dari kamarnya.Albern pun tak terdengar tertawa lagi di sore menjelang malam itu. Yang biasanya akan disambut dan dibalas oleh tawa Richard yang merasa lucu melihat tingkah lucu cucunya.Setelah rumah benar-benar sepi, Kay menutup pintu perlahan. Mereka mandi, membersihkan diri namun masih memeluk kehilangan.Makan malam kali itu tak terasa nikmat. Kursi paling ujung, bagian kepala meja makan, sudah kosong. Tak ada lagi Richard di sana. Kay menunduk, mencoba kuat di hadapan istri dan anaknya.“Kakek!” tunjuk Albern menatap kursi yang biasa Richard duduki.Tangis Kaay pecah. Dia memeluk anaknya.“Kakek sudah tidak ada, Al. Tapi ya, Kakek akan tetap ada di hati Albern. Di sini.” Kay menunjuk dada anaknya. “Di hati Papa dan Mama. Kakek akan ada di ingatan kita, selamanya,” isaknya.Livy pun ta
Tubuh Kay bergetar hebat saat dia menunduk menutup wajahnya. Dia menekan kepalanya sambil menatap wajah Richard yang telah pucat. Isak tangis perlahan lepas dari mulutnya.Livy menggenggam tangan Richard erat-erat, tubuhnya berguncang.“Papa... ya Tuhan...,” lirihnya, suaranya pecah. Meski sudah lama dalam kondisi takut menghadapi hari itu, tetap saja mereka tidak akan pernah siap.Livy berjalan, dia berdiri di belakang Kay yang menahan sesak di dadanya.Kay juga sudah tahu hari ini akan datang, namun rasanya tetap menyesakkan. Wajah Richard tampak damai, seakan tak ada penderitaan. Tapi justru itu yang membuat dada Kay semakin berat. Karena ketenangan itu adalah kepergian.Tangis Livy semakin keras. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Kay. Keduanya berharap semoga semua hanya mimpi. Berharap keajaiban datang, dan Richard kembali membuka mata.“Papa... jangan tinggalin kami... aku... kami butuh Papa... Albern butuh Papa…” pinta Kay.Dan seolah semesta ikut menangis. Albern terbangun.
Pagi itu, cahaya matahari sudah terang. Menyusup lembut melalui tirai kamar yang belum tidak tertutup sepenuhnya. Suasana jelas sudah cukup sibuk dari dapur.Di ranjang, Kay terbangun lebih dulu. Ia menoleh, melihat Livy masih terlelap di sampingnya, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum. Mengingat sepintas kehangatan malam yang begitu dirindukan. Sebelum akhirnya meninggalkan tempat tidur, Kay mengecup pipinya pelan. Ia tak membangunkan istrinya.Kay turun dari ranjang dengan pelan, mengenakan pakaian seadanya, lalu ke kamar mandi. Setelahnya dia keluar kamar. Di lantai bawah, suara langkahnya memantul pelan pada ruang yang mengarah ke kamar Richard.“Pagi Tuan…” sapa Bibi Eden, yang terlihat baru dari kamar Richard.“Pagi Bi… Albern sudah bangun?” tanya Kay.“Belum Tuan…” sahut si Bibi.“Kalau sudah, tolong bawa ke aku ya, Bi. Mamanya masih tidur,” jelas Kay.
Sudah seminggu Richard dirawat inap di rumah sakit. Dan setiap hari, wajahnya terlihat semakin jenuh. Kondisinya stagnan.Ia terlihat jenuh karena suasana rumah sakit yang begitu asing dan kaku. Livy sering menangkap pandangan kosong dari mata Richard ke arah jendela, seakan menghitung waktu yang terbuang.“Paa?” Livy menyapanya.“Livy… Papa ingin pulang…” ucap Richard.Livy terdiam. Pulang yang Richard ucapkan seakan bermakna lain.Kay dan Livy yang baru datang membawakan makanan rumah seperti biasa, membuat Richard menatap mereka bergantian. Menghela napas dalam-dalam. “Aku ingin pulang,” katanya pelan, tapi nadanya tak terbantahkan.Kay langsung menoleh. “Tapi Papa, di sini ada alat dan perawat…”“Aku tidak ingin menghabiskan waktuku di sini, Livy, Kay…” potong Richard lembut. “Aku ingin tidur di kamarku sendiri. Mendengar suara Albern berlarian di lorong rumah. Dan merasakan kalian ada di dekatku... bukan sekadar duduk di samping ranjang rumah sakit.”Kay hanya terdiam. Ia tahu it