“Ma- maaf, Tuan! Baby Al!” ucap Livy buru-buru menggendong Albern.
Kay masih mengumpulkan kesadaran. Dia langsung duduk. Ia bingung. Apa yang baru saja terjadi dan kenapa Livy bisa berada di atasnya?“Sayang… Sayang… tidak apa-apa. Ibu di sini. Kamu tenang ya… Shhhh tidur lagi ya, tidur lagi…” Livy menimang-nimang Albern dan menenangkannya.Kay menoleh pada sisi tempat tidur di mana Albern tadi menangis. Dia pun mulai sadar. ‘Apa aku sudah hampir mencelakai Albern tadi?’ batinnya.Tangis Albern mulai mereda saat Livy menyusuinya.“Apa aku tadi hampir mencelakai Albern?” tanya Kay.Livy menatapnya lalu mengangguk. “Tangan Tuan menimpa kakinya. Membuat Albern sulit bergerak,” jelas Livy.Kay mendengus kesal. Dia mengusap wajahnya dan menyalahkan dirinya sendiri. Untung saja ada Livy. Jika tidak, apa yang akan terjadi pada anaknya? “Ah, terima kasih karena kaKay meletakkan Livy di atas tempat tidur dengan lembut dana tatapan yang tidak putus. Dia tersenyum saat sengaja menyentuhjan ujung hidungnya ke hidung Livy. “Hm… aku senang karena akhirnya kamu mau dekat denganku lagi.”“Terima kasih anak Papa!” Kay membelai perut Livy dan mengecupnya.Livy mengelus kepala Kay yang mendarat di perutnya. “Malam ini Papa mau tidak mengelus-elus kami?” tanya Livy manja.“Ha? Ya tentu saja mau! Papa akan elus sampai pagi…” jawab Kay senang, tak keberatan sama sekali. Dia langsung melompat dan merebahkan diri di sebelah istrinya. Tangannya mulai mengelus punggung dana perut Livy dari belakang.Malam itu udara terasa lebih hangat dari biasanya. Livy punmembalik badana. Dia mendekap tubuh Kay erat—lebih erat dari malam-malam sebelumnya. Ia menyelipkan dirinya ke dalam dekapan Kay seperti anak kecil mencari kehangatan ibunya. Piyamanya longgar, aromanya masih se
Setelah dari balkon, Kay masuk. Dia ingin menuju ruanag kerjanya. Tapi, sebelum itu, dia lebih dulu melihat istrinya yang sudah tertidur lelap di kamar mereka. Bibirnya merekah. Tersenyum saat kembali mengingat kalau beberapa bulan lagi, rumah akan semakin ramai. Albern akan memiliki adik.Setelah cukup melihat Livy yang memunggungi pintu, barulah Kay melangkah ke ruanag kerjanya tepat di sebelah kamarnya.Malam itu, Kay duduk di ruang kerja dengan laptop di hadapannya. Saat ingin membuka laporan untuk dikerjakan, fokusnya justru beurbah. Terbersit di kepalanya untuk melakukan hal lain terlebih dahulu.Bukannya mengerjakan laporan atau mengecek email kantor, dia justru membuka tab pencarian: “cara menghadapi istri hamil yang sensitif,” “suami siaga saat istri mual dan menolak disentuh,” “hormon kehamilan trimester pertama.”Setiap artikel yang ia baca membuatnya tersenyum kecut. Ada yang
Kay tiba-tiba seperti tersadar sesuatu. “Oke oke… hari ini Sayang duduk dulu. Tidak boleh m mengerjakan apapun.” Ia mengarahkan istrinya itu untuk duduk di tempat tidur.Livy pun bingung.“Dan aku tidak akan ke kantor hari ini,” jelasnya.Livy semakin bingung. Namun, bibirnya tersenyum. “Hah? Kenapa?”Kay mencubit hidungnya pelan. “Karena aku mau temani kamu ke dokter. Kita harus pastikan semuanya baik-baik saja. Kita harus lihat seberapa kuat benih yang kutanam yang sekarang tumbuh dalam dirimu.”Wajah Livy memerah. “Kamu yakin tidak mau kerja dulu sebentar? Cek laporan pagi, misalnya?”“Aku kerja nanti malam. Sekarang aku mau jadi suami dan ayah penuh waktu.” Kay mencium pelipis Livy dengan lembut, lalu melangkah ke luar kamar.Livy terkekeh dan menggeleng melihat suaminya yang pergi keluar kamar. Entah kejutan apa lagi yang ingin suaminya itu lakukan setelah kabar bahagia pagi ini.Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur terseb
Namun, kejadian itu dan perasaan itu tidak pernah terasa lagi. Tidak ada firasat yang aneh lagi. Kay pun mulai lupa. Atau memang sebenarnya tidak ada yang perlu dia curigai dan ambil pusing. Hanya laki-laki yang kebetulan dia lihat. Tidak kenal dan bisa jadi memang tidak ada tujuan apa-apa. Hanya kebetulan?Beberapa kali Kay sengaja mengawasi jalan setiap kali pulang atau keluar rumah, namun tidak ada lagi mobil mencurigakan, tidak ada sosok asing yang membayangi mereka. Semuanya berjalan normal, bahkan terlalu tenang.Ia juga sudah sempat memeriksa rekaman CCTV yang berada di gerbang rumah, tapi mobil itu, pria itu benar-benar hanya melintas, tidak sempat berhenti. Walaupun dia memang terlihat lewat dua kali.Ditambah kesibukan pekerjaan dan keceriaan Livy dan Albern membuatnya lupa. Firasat itu perlahan memudar. Kay pun mulai meyakinkan diri—mungkin memang hanya kelelahan atau paranoia pasca kehilangan Richard. Mungkin hanya bayang-bayang yang diciptakan oleh pikirannya sendiri. Dan
Mereka mulai melalui hari yang semakin hangat. Bukan melupakan Richard, tapi lebih pada berusaha mencapai titik ikhlas. Kehidupan harus tetap berjalan. Masa depan Albern masih panjang. Mimpi Kay dan Livy juga masih banyak. Mereka harus melangkah bersama untuk mencapai semuanya.Akhir pekan di bulan kedua setelah Richard pergi untuk selamanya, Livy dan Kay sepakat membawa Albern keluar. Setelah sekian lama tenggelam dalam duka dan rutinitas rumah yang masih diselimuti sepi, mereka merasa perlu membangun momen baru, sesuatu yang ringan, penuh tawa dan hangat. Mereka pergi ke mall. Sekadar menghabiskan waktu bersama agar hubungan mereka semakin erat dan hangat.Albern menggenggam tangan Kay dan Livy di kiri-kanannya, melangkah kecil-kecil di tengah-tengah mereka. Anak itu terus bercerita menagih untuk dibawa beramin di area anak. Livy tertawa, lalu mencubit pipi Albern yang semakin montok. “Ya, Sayang. Kamu akan mendapat semuanya hari ini, ya kan Pa?”“Ya, semuanya!” ucap Kay pula.Setel
“Ya, aku tidak menyangka kamu sanggup puasa sampai berminggu,” bisik Livy.Kay memejamkan matanya. Ia menekan pelipisnya. “Tak ada hasrat untuk menghadapi sakitnya kehilangan,” ucapnya.“Sekarang?” tanya Livy, menghibur suaminya itu.Kay menatapnya. “Kalau boleh…”“Asal tidak berhenti di tengah jalan,” pancing Livy. Dia memang sengaja menggodanya. Sejenak untuk menghibur suaminya dan mengalihkan kesunyian yang sudah seminggu mengurung mereka.“Kau menantangku?” tanya Kay geram namun gemas.Livy terkikik saat Kay memeluk perutnya kuat agar tidak ada celah di antara mereka.“Justru kamu yang harus menjaga suaramu, Sayang! Jangan sampai menjerit kalau belum mencapai puncak!” gumamnya.“Kay…!” teriak Livy saat suaminya itu langsung mengentak tubuhnya dan mengangkatnya sehingga dia berada di atas tubuh Kay.“Aku