Lagi dan lagi yang salah adalah Livy. Jenna tersenyum puas di dalam hati. Mendengar tanggapan Kay tentang Livy, benar-benar membuatnya merasa aman. Kebencian Kay pada wanita di masa lalunya itu harus terus berlanjut. Agar dia bisa menjadi ibu pengganti untuk Albern. “Ah, jangan berkata seperti itu Kak Kay. Mungkin karena Ibu Livy kurang sehat jadinya dia kurang fokus. Selama ini, berbulan-bulan Ibu Livy sangat tulus kan menjaga dan merawat Albern?” bela Jenna. Merry terdiam. Dia tidak bisa menebak jalan pikiran wanita itu. Benar-benar cerdas mencari muka! “Ya betul Kay. Bukan salah Livy. Mungkin karena dia kurang sehat saja,” tambah Richard. “Ya sudah, kamu buat makanan baru untuk Albern ya?” ucap Richard menatap Merry. Merry mengangguk. “Siap, baik Tuan!” Tiba-tiba ART datang ke kamar itu. “Ada tamu, Tuan! Katanya dari butik—” “Ohh ya?! Itu pasti mau membahas pakaian untuk ulang tahun Albern nanti!” sambar Jenna semangat. “Kak Kay, itu pasti designer-nya. Dia berjanji akan me
Sedetik Kay menelan ludah saat mendengar penjelasan Livy. Namun detik berikutnya dia malah semakin geram melihat Livy. “Cukup! Aku muak dengan drama dan kepura-puraanmu ini!” ucapnya geram dan menunjukkan tatapan yang benar-benar muak pada Livy. Livy menghela napas, untuk melegakan dadanya yang terasa sesak. “Aku tahu Tuan tidak akan percaya,” lirihnya. “Hanya pria bodoh yang mau percaya pada Wanita ular sepertimu!” Livy mengusap pipinya dengan punggung tangannya. Dia masih menggenggam erat cincin itu. Kay memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegap. Wajahnya yang arogan, mata elangnya yang tajam, terlihat sedang memikirkan kalimat menyakitkan apa lagi yang akan dia ucapkan. “Ya, tapi nyatanya aku pernah sebodoh itu. Hanya karena aku orang pertama yang menyentuh tubuhmu, aku pikir kau benar-benar tulus. Ternyata kau hanya membuatku jadi pelampiasan nafsumu yang besar itu! Seorang putri yang hidup dengan kekayaan, keluarga yang sibuk dengan politik, bisnis dan punya kekuasaan, s
Kay duduk di pinggiran tempat tidur di kamar Jenna. Dia memijat kepalanya sendiri karena merasa pusing. Jenna naik ke atas tempat tidur dan berlutut tepat di belakang Kay. Ia sedikit membungkuk saat meraih pundak Kay untuk dipijat. Membuat dadanya mengenai punggung Kay. “Kakak pasti sangat lelah. Mengurus perusahaan, mempersiapkan ulang tahun Albern, pertunangan kita dan semuanya. Aku janji, kalau kita sudah menikah nanti, Kakak tidak akan merasakan yang namanya lelah. Aku akan selalu ada untuk Kakak…” bisik Jenna, di telinga Kay. “Apa kekuatannya cukup? Kurang atau lebih?” tanya Jenna pula dengan nada sedikit mendesah, untuk mengonfirmasi Kay. “A- cukup,” jawab Kay seadanya. Dia masih memijat keningnya sendiri. “Kepala Kakak sakit ya? Oke, aku akan pijat di bagian kepala. Setelah ini… Kakak pasti rileks!” jelas Jenna. Ia mengibaskan rambutnya untuk meletakkan kepalanya di bahu kanan Kay, dan menatap Kay dengan jarak sedekat itu. Kay menoleh, membuat ujung hidung mereka bertemu.
Jenna memperhatikan bagaimana sorot mata Kay pada Livy. Tatapannya itu membuatnya tidak tenang. “Ibu Livy… lain kali, perhatikan apa yang Ibu pakai, ya? Albern kan sedang aktif-aaktifnya sekarang, kalau Ibu pakai kalung, gelang atau sebagainya, Albern bisa terluka,” jelas Jenna, menunjukkan sikap bahwa dirinya bijak. Ia berharap Kay akan terpancing dan kembali memarahi Livy. “Ah, iy- iya Nyonya, maaf.” Livy mengangguk. “Lain kali, hati-hati,” tambah Kay pula, datar namun tidak membentak. Responnya itu membuat Jenna kesal. Livy mengangguk. Ia pun heran, Kay tidak membentaknya. “Iya, Maaf Tuan,” sahut Livy pula. “Sayang… eh Kak Kay sudah jam segini, ayo kita pergi,” ucap Jenna, berpura-pura latah memanggil ‘Sayang’. Ia sengaja menunjukkan kemesraan di hadapan Livy dan Merry. Kay menatap Jenna. Dia tersenyum. “Ya, Sayang. Ayo…” ajaknya pula merespon setuju panggilan itu. Sesaat dia melirik Livy, yang ternyata sama sekali tidak menatap mereka. Ada perasaan kesal yang muncul di
“Ke- kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Kay, bingung. Ia heran kenapa Jenna bisa kepikiran seperti itu. ‘Apa aku terlihat seperti itu?’ batinnya pula. “Sudahlah. Ayo masuk.” Kay merangkul Jenna yang sedang menggendong Albern. Livy menoleh pada mereka dan Merry memperhatikan Livy. “Bu Livy… Entah kenapa aku merasa, aku masih melihat cinta di mata Ibu untuk Tuan Kay. Aku berharap keajaiban terjadi di antara kalian. Albern butuh Ibu, bukan Nyonya Jenna.” Merry menyentuh bahu Livy dan mengusapnya. Livy tersenyum simpul mencoba kuat. Ia terharu dengan ucapan Merry yang akhirnya membuat air matanya kembali menetes. Akhirnya Merry pun pergi. Livy kembali masuk ke dalam rumah. Rasanya seperti ada yang kurang. Dia akan merawat Albern sendirian. Albern benar-benar menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. ‘Walau tidak ada suster Merry, Ibu janji akan tetap menjaga Albern sepenuhnya,’ batin Livy. “Livy? Merry sudah pergi?” tanya Richard, yang melihat Livy masuk ke dalam rumah. Livy men
“Kak… Kakak mau ke mana?” tanya Jenna, menghalau Kay yang akan menuruni tangga.“Aku mau ke kamar Albern,” jawab Kay.“Aku ikut…” ucap Jenna.“Ka- kamu kenapa belum tidur?” tanya Kay.“Aku tidak bisa tidur. Aku khawatir pada Albern yang tidur sendirian. Aku ingin memeriksanya,” ucap Jenna, menunjukkan perhatian.Kay mengangguk. Dia pun turun bersama Jenna untuk sama-sama ke kamar Albern.Saat menyadari Albern sudah tidur, Livy pun menyimpan payudaranya dan perlahan beranjak. Saat itu pula dia langsung menoleh ke arah pintu dan melihat Kay bersama Jenna langsung masuk.“Ibu Livy? Kenapa ada di sini?” tanya Jenna. ‘Untung saja aku melihat Kak Kay saat akan turun dari tangga. Kalau tidak, mereka akan bertemu di kamar ini berduaan? Dia pasti akan menggoda Kak Kay secara halus!’ gumam Jenna di dalam hati.“Maaf Nyonya. Tadi saya memeriksa Albern
“Kak! Itu siapa?!” Jenna masih bertanya. Ia pun heran dengan tatapan Kay yang tajam pada pria asing itu.David baru menyadari kalau wanita itu ternyata bukanlah Livy. Namun, dia tidak berputus asa. Dia yakin kalau Livy berada di rumah itu. “Livy!!! Aku datang Livy!!! Keluar kamu!” David terus berteriak.Penjaga rumah mencoba menghalau David yang nekat ingin memanjat pagar. Namun, David malah semakin bar-bar.“Siapa itu?” David keluar dari kamarnya dan berjalan ke luar rumah untuk mencari tahu. Begitu juga dengan Livy yang langsung keluar. Ia menitip Albern pada si Bibi.“Kay? Dia siapa?” Richard pun bertanya.“Dia memanggil-manggil Livy, Om.” Jenna menjelaskan.Livy keluar. Tebakannya benar. Suara itu adalah suara David.Kay langsung memberikan tatapan tajam Livy, namun tidak berkata apa-apa. Sebab ia tak ingin ayah mertuanya, Richard, tahu kalau dirinya mengetahui siapa laki-laki itu. Dia
Livy terdiam setelah terkejut. Dia menatap Kay penuh kebingungan juga ketakutan.Kay yang berada di atasnya juga menatapnya tepat di binar mata yang memancarkan kesedihan. Ia pun terdiam, lupa pada niatnya yang ingin memberi pelajaran pada Livy.“Tu- Tuan?” Livy mencoba mengeluarkan suara meski ketakutannya sudah sampai di leher.“Jawab aku!” Kay membentaknya. “Kenapa bisa suamimu sampai ke rumah ini?! Pasti kau yang memberi tahunya!” tuduh Kay.“Ti- Tidak Tuan. Sumpah demi Tuhan!” Livy langsung menggeleng.“Lalu bagaimana dia bisa sampai tahu rumah ini?!” tanya Kay geram.Livy meneguk ludahnya. “Aku benar-benar tidak tahu, Tuan. Sungguh…” lirih Livy.“Lalu apa tujuannya datang? Mengapa setelah kau menemuinya dia langsung tenang dan pergi?” tanya Kay.“Sa- saya rasa itu bu- bukan urusan Tuan, kan?” tanya Livy terbata-bata. Ia menurunkan tatap
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. “Ah, ma- maaf. Maaf,” ucap Kay. “Ya?” sahut Livy dengan nada bertanya. “Kalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.” Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. “Ya, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,” ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. “Yaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,” lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. “Kamu juga,” balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.“Kay?” Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. “Aku… juga haus,” katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac
Mata Livy melotot.Kay terkekeh. Membuat Livy akhirnya tersenyum. Merah di pipinya itu tidak dapat dia sembunyikan.“Baiklah, nanti aku akan siap-siap,” ucap Livy mengalihkan.“Lalu jawabannya?” tanya Kay.“Jawaban apa lagi? Aku sudah bilang ya,” balas Livy, bingung.“Aku pikir kamu jawab ‘baiklah’ kamu akan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’ hehe…” Kay merasa konyol. Dia mengusap kepalanya.Livy sejenak terdiam. “Hm... sudah dulu,” ucapnya, mengakhiri panggilan.Kay masih tersenyum. Sampai dia menyandarkan punggungnya ke kursinya yang empuk, mendongakkan wajah, bibirnya itu masih tersenyum lebar. Jantungnya berdebar.Sementara itu, Livy di kamarnya, mengelus dada. Dia mengatur napasnya. Kenapa hanya pertanyaan bercanda seperti itu berhasil membuatnya tersipu? Jiwanya benar-benar terasa kembali hidup, untuk hal lain, perasaan yang sudah lama tidak diarasakan.**Sore itu, suara mobil Kay terdengar lebih cepat dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul lima, namun deru mesinnya sudah
Cahaya matahari siang menembus tirai tipis di balik jendela kantor Kay yang terletak di lantai tertinggi gedung. Di balik meja panjang dan layar monitor yang menyala, Kay duduk dengan jas setengah dibuka dan dasi yang mulai ia longgarkan sejak satu jam lalu setelah dia selesai meeting. Di tangannya ada laporan bulanan yang belum sepenuhnya ia baca, karena pikirannya melayang terlalu jauh.Terlalu jauh... ke rumah. Ya, bukan hanya sekadar bangunan megah, mewah dan indah, tetapi benar-benar menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Anaknya, Ayah mertuanya dan Livy.Bukan pertama kali ia begini. Sejak Livy kembali dan tinggal bersama mereka, wajah perempuan itu tak pernah absen dari benaknya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan karena rasa bersalah, tapi karena harapan yang mulai tumbuh diam-diam. Harapan yang perlahan membesar dan membentuk sebuah impian.Ia menatap keluar jendela. Di sana, langit tampak cerah. Begitu pun isi kepalanya sa
Kay mati kutu menatap Albern yang terus memintanya untuk mencium Livy.Kay terdiam.Livy membeku.Richard, yang tengah mengaduk teh hangat, hanya tertawa pelan di balik cangkirnya. “Wah, anak kecil memang tulus.”Namun Kay hanya mengusap kepala putranya perlahan. Ia menunduk lalu berbisik, “Papa tidak boleh mencium Mama sekarang, nanti Mama marah. Papa mencium Mama di depan rumah saaja ya?”Bisikannya itu terdengar oleh Livy.Albern menatap Kay. Mengerti ataupun tidak, yang jelas anak itu terlihat mengangguk.“Ayo Mama!” ucap Kay pula pada Livy.Livy panik, namun mengikut juga.“Pa, tolong jaga jagoanku ini sebentar, Pa. Aku mau pamit ke depan…” ucapnya.Richard hanya tersenyum lalu mengangguk. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar alasan biasa.Kay lalu menatap Livy dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. “Antar aku sebentar ke depan ya?”Livy sempat ragu, t
Kay refleks mundur, lalu buru-buru menahan tawa.Livy pun mengecup kening Albern. Pelan dan lembut. Ia tidak ingin membangunkannya. Kemudian barulah Kay yang mengecup Albern.Melihat adegan itu, senyuman Livy terukir walau tipis. Senyum yang tak bisa ia tahan saat melihat mata Kay yang jernih di bawah lampu temaram dan mengecup anaknya dengan penuh kasih saayang.Kay melirik Livy sejenak. Lalu, dengan gerakan lembut, ia mengelus rambut Albern sekali lagi, lalu berdiri. “Ayo, aku antar kamu ke kamar.”Livy sempat ragu. “Ti- tidak usah,” ucapnya.“Kamu mau tidur di sini?” tanya Kay, memastikan.“Bu- bukan. Yaudah, ayo keluar,” ajak Livy pula.Mereka berjalan perlahan keluar dari kamar Albern, pintu ditutup dengan sangat hati-hati. Langkah mereka menuju ke pintu di sebelah, yaitu kamar Livy.Di depan pintu itu, mereka berdiri berhadapan. Kay menatapnya, sementara Livy memegang gagang pintu. Cahaya remang lorong menyapu wajah mereka, membentuk siluet yang tenang dan samar-samar namun ada