Kay tidak dapat menjawab ucapan Livy. Meski logikanya mengatakan kalau dia bisa lebih marah dan lebih tidak terima. Nyatanya dia tidak melakukannya. Dia hanya diam dengan tatapan yang begitu dalam pada Livy ketika mendengar semua luka yang Livy rasakan.Keduanya sama-sama tidak bisa memaafkan. Luka yang mereka rasakan terlalu sakit. Tetapi mereka akan tinggal di bawah atap yang sama. Kecanggungan tentu tidak dapat dielakkan.Begitulah yang Richard lihat saat mereka sudah tiba di rumah. Livy sudah keluar dari rumah sakit. Mulai di perjalanan pulang hingga sampai di ruang tengah, Kay hampir tidak berbicara sama sekali. Begitu juga dengan Livy. Hanya Albern yang terus mengoceh karena bahagia melihat Livy pulang bersama mereka.“Livy… Mulai sekarang, kamar kamu berada di sebelah kamar Albern. Papa sudah renovasi sehingga lebih luas dan lebih nyaman. Semoga kamu suka.”“Terima kasih banyak, Pa”“Kay… Papa sudah membersihkan kamar Jenna. Semua barangnya sudah Papa buang. Kita tidak perlu me
“Ka- kalian datang?” sambut Kay. “Papa…” sorak Albern mengulurkan tangannya pada Kay. Kay mendekati mereka. Ia langsung mengambil Albern dari Livy. Ia menatap wanita itu, namun Livy terlihat tak ingin menatapnya. “Silakan duduk…” ucap Kay canggung. Livy mengangkat tas jinjing berisi keperluan Albern. Reflek Kay membantunya hingga membuat kepala mereka terbentur satu sama lain. “Maaf maaf,” ucap Kay. Livy langsung berdiri. Dia mengusap keningnya. Kay langsung mengangkat tas itu dan menaruhnya ke sofa. Livy pun duduk di sana. Hening. Kay menggendong Albern sambil berjalan mendekati jendela kaca yang luas di ruangannya. Ia menunjukkan kota yang padat dari sana pada anaknya. “Al… Kamu tidak sabar ya mau mengambil alih semua pekerjaan Papa, sampai kamu benar-benar ingin ke kantor?” tanya Kay terkekeh sambil mencium pipi anaknya. “Lihat sana…” Kay menunjuk jalanan kota yang padat dari posisi mereka. Livy hanya duduk diam sambil memainkan handphone-nya. Kay meliriknya. Ia merasa
Livy menatap Kay. Entah kenapa hatinya justru mengingat kejahatan pria itu. Membuatnya enggan untuk menuruti ucapannya.Kay terdiam. Bukannya Livy merebahkan diri di sebelah Albern, ia justru membalik badan dan keluar dari kamar itu.Livy kembali duduk di sofa. Ia diam sedang pikirannya begitu berisik. Mengingatkannya akan perlakuan Kay yang mendorongnya, membuatnya pendarahan hingga keguguran, memenjarakannya dan tidak percaya kalau itu adalah anaknya. Rasanya sangat sakit jika dia mengabaikan semua sakit dan pahitnya itu dengan menuruti semua ucapan Kay, meskipun itu demi Albern.‘Aku memang mencintai Albern. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Tetapi, aku berberat hati jika terus melakukan semua yang diminta olehnya. Laki-laki yang begitu tega dan tidak punya hati.’ Livy membatin.Sementara itu di kamar, Albern masih terus memanggil-manggil Livy. Kay mencoba menenangkannya.“Mungkin Mama Livy sedang ke toilet. Jadi, tidak apa-apa Al dan Papa yang di sini, ya?” bujuknya.Untuk
Livy langsung menggeser bahunya. Dia menatap tajam ke belakang. Melotot pada Kay pertanda tidak suka. “Apa yang kamu lakukan?!” bentak Livy geram. Kay panik. Dia menekan keningnya dan salah tingkah. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan itu lancang?” lanjut Livy masih marah. “A- ku tiba-tiba teringat masa lalu,” jawab Kay panik. Dia langsung menghindar dari belakang Livy. “Masa lalu apa yang sedang kamu bahas?” tanya Livy dingin. Kaay bisa merasakan kebencian Livy padanya dan rasa tidak terima atas perbuatannya. Kay menatap mata Livy. Dia bertanya di dalam hati. Tidak mungkin Livy lupa dengan masa lalu dan kebiasaan mereka kan? “Kau pun salah orang. Livy yang dulu sudah mati. Terbunuh oleh kebencian dan dendammu. Lalu masa lalu mana yang kau sedang ingat?” tanya Livy dingin. Kay benar-benar hanya bisa terdiam. Ia merasakan kebencian Livy padanya yang tidak main-main. “Sekali lagi kamu kurang ajar, aku akan bilang ke Papa Richard!” tegas Livy. “Aku tidak mau, besok-besok ada yang
Setelah memastikan Livy dan Albern tertidur lelap di kamarnya, Kay kembali mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia terlihat sangat serius di depan komputer. Saat dia duduk menyandarkan punggungnya di kursinya yang empuk, dia baru sadar kalau dia sudah sangat fokus sejak tadi.‘Aku tidak pernah merasa setenang ini dan sefokus ini dalam bekerja. Entah kenapa aku merasa semua ini karena aku melihat Livy yang begitu lelap bersama Albern di kamarku, di dekatku, di sisiku…’ batin Kay.Wajah dan sorot matanya masih ke layar komputer, namun pikirannya malah penuh pada Livy dan anaknya.Kay melihat pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Waktu sudah berjalan hampir satu jam. Belum ada tanda-tanda kalau Albern akan bangun. Begitu juga dengan Livy.Kay mendongakkan kepalanya. Dia mengusap wajahnya. Ia menghela napas yang panjang lalu membuangnya perlahan.Tiba-tiba Livy mendorong pintu kamar itu. Dia berjalan ke arah toilet.Kay yang sadar langsung mengubah posisi duduknya yang tak karuan. Sep
Livy terkejut dengan kehadiran Kay. “Awas!” katanya tegas ingin menutup pintu.“Aku ingin bicara,” ucap Kay.Livy berusaha tetap menutup pintu, tanpa peduli ucapan Kay.“Livy, dengarkan aku dulu. Aku ingin bicara!” Kay masih menahan pintu, mencegah Livy menutupnya.“Apa? Tentang apa lagi?” tanya Kay.“Tentang yang tadi,” jawab Kay.“Tidak penting! Awas! Atau aku akan teriak sampai Papa Richard mendengar?” ancam Livy.“Dengar, aku hanya ingin meminta maaf,” jelas Kay.Livy menatapnya dengan tatapan yang menantang. “Oke, katakan,” suruhnya.“Aku minta maaf,” ucap Kay.“Sudah kan? Jadi, singkirkan tanganmu!”“Apa kau hanya melihat kesalahanku saja dan melupakan kesalahanmu di masa lalu? Kenapa kau begitu keras?” tanya Kay, yang terbawa kesal.Livy melepas tangannya dari pintu. Dia menatap Kay semakin tajam. “Kau sendiri yang sudah membunuhku dengan ego dan dendammu. Livy yang dari masa lalumu sudah mati. Kenapa aku harus meminta maaf padamu sekarang?” tanyanya membentak.Jawabannya itu m
Semakin hari Richard semakin sering memperhatikan Livy dan Kay. Ia tahu permasalahan mereka tidak mudah. Tetapi ia sadar cucunya membutuhkan orang tua yang utuh. Sampai kapan Livy dan Kay bisa hidup masing-masih dalam satu atap? Bahkan mereka tidak bisa menjadi saudara. Luka mereka di masa lalu terlalu dalam. Lalu bagaimana ke depannya nanti?Itu sebabnya malam ini adalah malam yang Richard rencanakan. Ia mengajak Livy dan Kay untuk makan malam bersama di restoran bintang lima. Alasannya dia ingin sesekali mereka menikmati kebersamaan makan di luar, sebenarnya lebih dari itu, dia ingin membuat Livy dan Kay bisa menjadi dekat.“Sudah semua?” tanya Richard berjalan ke ruang tengah.Kay terlihat gagah dengan penampilan yang begitu rapi dan necis. Ia sedang memperbaiki jam tangannya.“Wah! Tampan sekali menantu Papa!” puji Richard.Kay tersenyum. “Papa bisa saja,” ucapnya. “Ini tinggal menunggu Livy dan Al, Pa.”Livy pun datang bersama dengan Albern yang ingin berjalan sendiri. Wanita itu
Livy seperti tidak percaya siapa yang dia lihat. “Reino?” sapanya. Dia pun berdiri.“Benar kamu Livy?” sapa Reino, mengulurkan tangan menjabat tangannya.“Iya… Astaga Reino!” Livy tersenyum.Reino menatap Albern, Kay dan Richard. “Anak dan suami?” sapa Reino.“Eh bukan… Ini Albern, anak Kay, saudara, ya saudara ku… dan Ini Papa angkatku,” jelas Livy. Reino menjabat tangan Richard begitu juga dengan Kay. Ia mengerutkan kening saat kembali menatap Livy. Ada banyak tanya yang muncul di benaknya. “Suami kamu mana?” tanya Reino.“Ahm, itu… kami sudah bercerai.”“Maaf, aku tidak tahu,” ucap Reino.“Tidak apa-apa. Oh ya Pa, ini Reino, teman SMAku dulu, kami cukup dekat waktu itu.” Livy mengenalkan pada Richard.Tiba-tiba saja raut wajah Kay berubah. Ada rasa tidak suka, tidak terima Livy seramah itu pada orang yang dia anggap asing.“Ohh ya… silakan duduk,” sambut Richard.“Maaf Om, tapi keluarga saya juga sedang menunggu di sana. Ayo Livy, bertemu dengan keluargaku. Sepertinya banyak hal y
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac
Mata Livy melotot.Kay terkekeh. Membuat Livy akhirnya tersenyum. Merah di pipinya itu tidak dapat dia sembunyikan.“Baiklah, nanti aku akan siap-siap,” ucap Livy mengalihkan.“Lalu jawabannya?” tanya Kay.“Jawaban apa lagi? Aku sudah bilang ya,” balas Livy, bingung.“Aku pikir kamu jawab ‘baiklah’ kamu akan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’ hehe…” Kay merasa konyol. Dia mengusap kepalanya.Livy sejenak terdiam. “Hm... sudah dulu,” ucapnya, mengakhiri panggilan.Kay masih tersenyum. Sampai dia menyandarkan punggungnya ke kursinya yang empuk, mendongakkan wajah, bibirnya itu masih tersenyum lebar. Jantungnya berdebar.Sementara itu, Livy di kamarnya, mengelus dada. Dia mengatur napasnya. Kenapa hanya pertanyaan bercanda seperti itu berhasil membuatnya tersipu? Jiwanya benar-benar terasa kembali hidup, untuk hal lain, perasaan yang sudah lama tidak diarasakan.**Sore itu, suara mobil Kay terdengar lebih cepat dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul lima, namun deru mesinnya sudah
Cahaya matahari siang menembus tirai tipis di balik jendela kantor Kay yang terletak di lantai tertinggi gedung. Di balik meja panjang dan layar monitor yang menyala, Kay duduk dengan jas setengah dibuka dan dasi yang mulai ia longgarkan sejak satu jam lalu setelah dia selesai meeting. Di tangannya ada laporan bulanan yang belum sepenuhnya ia baca, karena pikirannya melayang terlalu jauh.Terlalu jauh... ke rumah. Ya, bukan hanya sekadar bangunan megah, mewah dan indah, tetapi benar-benar menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Anaknya, Ayah mertuanya dan Livy.Bukan pertama kali ia begini. Sejak Livy kembali dan tinggal bersama mereka, wajah perempuan itu tak pernah absen dari benaknya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan karena rasa bersalah, tapi karena harapan yang mulai tumbuh diam-diam. Harapan yang perlahan membesar dan membentuk sebuah impian.Ia menatap keluar jendela. Di sana, langit tampak cerah. Begitu pun isi kepalanya sa
Kay mati kutu menatap Albern yang terus memintanya untuk mencium Livy.Kay terdiam.Livy membeku.Richard, yang tengah mengaduk teh hangat, hanya tertawa pelan di balik cangkirnya. “Wah, anak kecil memang tulus.”Namun Kay hanya mengusap kepala putranya perlahan. Ia menunduk lalu berbisik, “Papa tidak boleh mencium Mama sekarang, nanti Mama marah. Papa mencium Mama di depan rumah saaja ya?”Bisikannya itu terdengar oleh Livy.Albern menatap Kay. Mengerti ataupun tidak, yang jelas anak itu terlihat mengangguk.“Ayo Mama!” ucap Kay pula pada Livy.Livy panik, namun mengikut juga.“Pa, tolong jaga jagoanku ini sebentar, Pa. Aku mau pamit ke depan…” ucapnya.Richard hanya tersenyum lalu mengangguk. Ia memahami bahwa itu bukan sekadar alasan biasa.Kay lalu menatap Livy dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. “Antar aku sebentar ke depan ya?”Livy sempat ragu, t
Kay refleks mundur, lalu buru-buru menahan tawa.Livy pun mengecup kening Albern. Pelan dan lembut. Ia tidak ingin membangunkannya. Kemudian barulah Kay yang mengecup Albern.Melihat adegan itu, senyuman Livy terukir walau tipis. Senyum yang tak bisa ia tahan saat melihat mata Kay yang jernih di bawah lampu temaram dan mengecup anaknya dengan penuh kasih saayang.Kay melirik Livy sejenak. Lalu, dengan gerakan lembut, ia mengelus rambut Albern sekali lagi, lalu berdiri. “Ayo, aku antar kamu ke kamar.”Livy sempat ragu. “Ti- tidak usah,” ucapnya.“Kamu mau tidur di sini?” tanya Kay, memastikan.“Bu- bukan. Yaudah, ayo keluar,” ajak Livy pula.Mereka berjalan perlahan keluar dari kamar Albern, pintu ditutup dengan sangat hati-hati. Langkah mereka menuju ke pintu di sebelah, yaitu kamar Livy.Di depan pintu itu, mereka berdiri berhadapan. Kay menatapnya, sementara Livy memegang gagang pintu. Cahaya remang lorong menyapu wajah mereka, membentuk siluet yang tenang dan samar-samar namun ada
Usai makan malam yang hangat itu, Bibi Eden sedang membereskan meja dibantu Livy, sementara Albern sudah berjalan ke arah ruang tengah, mencaari mainannya dan menyibukkan diri. Kay berdiri mematung di teras depan, menghirup udara malam. Langit bersih malam itu, bintang-bintang menggantung tenang. Langkah Richard pelan-pelan mendekat. Richard berdiri di sampingnya, memandang langit yang sama. Hening sejenak di antara mereka, hingga akhirnya Richard membuka percakapan. “Kamu tahu, sudah lama rumah ini tak sehangat ini...” Kay menoleh sedikit, mengangkat alis. Ia membenarkan. “Suara anak kecil, tawa makan malam, kehangatan orang-orang yang saling peduli... Itu tak bisa dibuat-buat, Kay. Rumah ini... terasa hidup kembali sejak Livy ada bersama kita, menemani Albern. Lebih tepatnya melengkapi kita.” Kay mengangguk pelan, memandangi bayangan rumah di bawah cahaya bulan. Richard melanjutkan, “Kamu masih mencintainya, bukan?” Butuh beberapa saat sebelum Kay menjawab. Nadanya nyaris se
Tak berkata apa-apa lagi, setelah terkejut, Livy langsung berjalan cepat, seakan tidak tejadi apa-apa. Langkahnya cepat meninggalkan bagian depan kamar Kay, dan berlari cepat menuruni tangga. Kay masih terkekeh melihat ekspresi Livy. Ia pun tersenyum dan terdiam sambil menggelengkan kepala. Sayangnya, kebahagiaan itu masih terasa jauh. Entah bisa dicapai atau tidak. Mungkinkah ia bisa membangunnya kembali. Ia pun masuk kembali ke dalam kamarnya. Di pinggiran tempat tidurnya, dia duduk. Tubuhnya masih hanya dibalut handuk. Ia meraih gelas yang berisi teh buatan Livy. Aromanya menyeruak menggoda penciuman Kay. Segar dan menyehatkan. Ia menghirupnya dengan senyuman. Ia memejamkan mata lalu perlahan menyesapnya. Seketika Kay merasa lebih kuat. Bukan karena minuman itu berisi ramuan ajaib seperti di cerita-cerita fiksi, melainkan karena ia teringat akan siapa yang membuatnya. Seorang wanita yang sangat dicintainya. Ia merasa teh jahe itu jauh lebih hangat lagi. Livy yang sudah sampai
“Me- mengantar ke kamarnya? I- itu terlalu berlebihan, Pa.” Pipi Livy merona.“Tidak Livy…” Richard mengangkat tangannya seakan ingin merangkul Livy, menyuruhnya untuk duduk.Livy kembali duduk. Dia terdiam.“Itu tidak berlebihan. Apa yang baru saja kamu tawarkan, itu benar dari hatimu. Itulah perhatian yang selama ini terkubur dalam karena luka yang luar biasa.” Richard mengingatkan.Di dalam hati, Livy membenarkan ucapan pria tua yang hebat itu. Namun, kenyataan menamparnya dan membuatnya tersadar. Tidak mungkin semua bisa kembali seperti dulu.“Sudah… jangan banyak berpikir. Cepat buatkan teh jahenya. Kay pasti merasa sedang bermimpi sekarang. Bawa teh itu jangan biarkan dia bermimpi terlalu jauh,” kekeh Richard, berpesan, tapi dengan cara yang ringan.Livy mengangguk canggung. Dia beranjak dan segera menuju dapur.Di dalam kamar, Kay membuka bajunya dengan senyum semringah. Dia sangat senang mendengar ucapan Livy yang begitu lembut dan penuh perhatian. Wanita itu menawarinya teh.