Hari-hari setelah Livy pulang ke rumah berjalan dengan pola yang hampir sama. Kay hanya terlihat saat pagi hari—menyapa Albern, menggodanya dengan lelucon kecil, lalu pamit dengan ciuman singkat di kening putranya. Kadang ia menoleh ke Livy, kadang tidak. Bila pun iya, tatapannya cepat dialihkan. Kondisi Livy pun sudah baik. Dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Memang, dengan jarangnya Kay berada di rumah, bisa meminimalisir sakit hati dan lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. Tetapi, dengan sikap Kaay yang seperti itu, datang, pergi seakan hilang, membuat Livy tak percaya dengan upayanya yang meminta maaf. Malam hari Kay akan pulang. Kadang Livy sudah tertidur. Kadang pura-pura. Tapi Kay tak pernah lagi masuk ke kamarnya, apalagi menyapanya. Hanya suara langkah kaki dan suara pintu dari kamar Albern yang terdengar oleh Livy. Ya, setidaknya pria itu tidak benar-benar melupakan anaknya. Livy mulai terbiasa dengan semua itu. Ia tidak mencari. Tidak juga bertanya. Sebab Rich
Setelah tidak bisa menjelaskan apa-apa pada Pak Sopir sepanjang perjalanan, Livy akhirnya tiba di rumah dengan kepanikan yang luar biasa. Tubuhnya bahkan gemetar. “Nyonya? Nyonya Livy? Ada apa?” pekikan Bibi Eden mengundang Richard keluar dari kamarnya. Livy menggeleng. Dia tidak tahu haru menjelaskan dari mana. Dia menutup wajah, mengusap mukanya dan menutup mulutnya. “Livy? Ada apa? Tenang dulu…” Richard mencoba menenangkan. Ia pun menatap wajah Pak Sopir yang masih dalam kebingungan. “Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya pula. Pak Sopir hanya bisa menggeleng. Belum sempat jawaban keluar dari mulut Livy, tiba-tiba mobil Kay dan anak buahnya pun tiba di pelataran rumah. Livy semakin panik. Dia reflek berjalan ke arah belakang Richard, bahkan memegang lengan baju pria yang sudah menganggapnya seperti anak. “Livy…” Kay sampai di ruang tengah, setelah berlari menghampiri. “Ada apa sebenarnya?” tanya Richard. Suaranya menjadi tegas. “Bi. Bibi Eden. Tolong awasi Albern.
“Kay?” Richard tidak menyangka bahwa menantunya itu bahkan akan menghukum dirinya sendiri. “Aku pantas dihukum, Pa. Aku sudah sangat kejam pada Livy. Dia pantas memutuskan ini,” ucap Kay, kelu. Livy menutup mulutnya setelah menjatuhkan kertas yang harusnya dia tandatangani. Dia tidak bisa mengambil langkah itu meski ia belum bisa memaafkan Kay. “Kamu pikir aku akan memaafkanmu dengan menghukummu seperti ini?” lirih Livy sedikit geram walau masih terisak. Kay tidak menjawab. Dia hanya menunduk. Penyesalan di dirinya terlihat amat begitu dalam. Livy menatap pria paruh baya yang terkapar lemah dengan napas satu satu. “Urus apa yang sudah kamu lakukan ini!” ujar Livy, tegas. “Semuanya justru membuatku semakin sakit!” Ia beranjak. Pergi masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. Ia mengurung diri di sana. Richard menyentuh kedua bahu Kay dan menuntunnya untuk bangkit. “Papa paham. Papa tahu kamu sedang membuktikan penyesalanmu. Papa tahu kamu sedang membalas luka-lukamu. Tapi, lebih baik
Livy reflek melangkah mundur. Ia menatap Kay dengan kebingungan dan sedikit tidak percaya. Kay bahkan sudah mencari tahu sejauh itu. Sedalam itu rasa sakit yang dia simpan?“A- aku bahkan tidak tahu kalau mereka mengubur kandunganku. Aku tidak tahu usianya berapa. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa,” isak Livy, menutup mulutnya. Perih di masa lalu membuat tubuhnya sedikit gemetar.Tatapan Kay teduh dan iba. Dia bisa merasakan betapa sakit dan pahit yang Livy alami di masa lalu. Ia pun merasa semakin bersalah karena sudah membenci Livy selama itu.Andai boleh mengikut hati, Kay ingin sekali meraih tangan Livy, menggenggamnya hingga memeluknya erat seakan memberikan kekuatan untuk saling menguatkan. Ia ingin mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Sayangnya, Kay tidak berani melakukan semua itu setelah jahat dan kejam yang dia berikan tanpa henti padanya.Ia pun menunduk. Napasnya sesak. Terdengar saat dia mencoba menghela napas menyembunyikan air matanya. “Aku minta maaf. Tapi, a
Setelah lama di pemakaman, hening, diam tanpa sanggup membahas semuanya kembali ke belakang, akhirnya Kay beranjak. “Kita pulang?” tanyanya.Suaranya masih serak, khas suara baru selesai menangis, atau memendam kepedihan yang tak terungkapkan.Livy pun beranjak, tanpa menjawab, tanpa menatap Kay. Dia melangkah lebih dulu, meninggalkan Kay beberapa langkah di belakangnya. Ada banyak hal yang disesalkan, tetapi tak berguna untuk diungkapkan kembali. Membuatnya masih menitikkan air mata. Tangannyaa pun sibuk menepisnya.Kay melihat kalau Livy juga tidak dapat membendung air matanya. Andai saja dia bisa memeluk, menenangkannya seperti yang sering dia lakukan dulu. Namun, semua itu tinggal kenangan, bayang-bayang semu yang tak tahu apa mungkin akan terulang. Tangannya serasa tak akan sampai, meski Livy tepat berada di depannya.Livy masuk ke dalam mobil. Tepat setelah Kay bergerak cepat membukakan pintu untuknya. Ia duduk diam dan keheningan kembali menguasai mereka.Perjalanan mereka sama
Livy tidak bisa menjawab ucapan Richard. Lagi pula pertanyaan itu tak untuk dijawab, melainkan untuk dirasakan. “Aku ke kamar Al dulu, Pa,” ucapnya pelan. Ia menunduk lalu berjalan, meninggalkan Richard. Ia menuju kamar Albern.Dan begitulah, malam itu tak menunjukkan perubahan besar untuk hubungan keduanya. Tidak ada pelukan, tidak ada amarah yang meledak. Namun, diamnya mereka seakan menyiratkan kalau semua itu adalah permulaan. Mungkin, tak mungkin mengulang masa lalu, tak bisa, tetapi bisa saja menyusun kembali hal yang jauh lebih dalam.Kay tahu, luka yang ditinggalkannya terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan penyesalan. Ia tidak berharap untuk dimengerti, apalagi dicintai kembali. Tapi malam itu, ucapan maaf Livy saat tiba di rumah, seakan memintanya masuk ke dalam ruang luka, dan membiarkannya melihat dari dekat. Livy pun sangat menyesal tak memberitahu semuanya di masa itu.Di kamar Albern, saat memandangi anak yang sudah lelap itu, tatapannya justru menuju lamunan. Dia
Livy tidak menjawab. Namun, hatinya juga tak marah mendengar ungkapan harap dari Kay.Kay menatap wajah Livy, yang pandangannya tidak membalasnya. Arah pandangannya menunduk, menatap gelas atau meja, yang pasti tak menatap sorot mata Kay yang penuh harap.Kembali hening.Livy meraih gelasnya, lalu kembali minum. Usai ia meletakkan kembali, barulah dia bersuara. “Aku—aku…” Ragu. Tak tahu harus bagaimana menyampaikan. “Aku rasa, sekarang… justru aku—aku tak pantas untukmu.”“Aku yang tak pantas untukmu,” timpal Kay. Ia tidak terima dengan ucapan Livy. “Aku yang tidak pantas untukmu, karena kejahatan dan kekejamanku padamu saat aku tidak tahu semuanya, benar-benar bukan seperti manusia yang punya hati. Aku yang tidak pantas,” potong Kay. “Tidak apa-apa, Livy. Aku mengerti,” sambungnya pelan.Livy terdiam. Dia juga belum bisa memaafkan luka itu jika mengingatnya.“Aku ke kamar Albern dulu,” lirih Livy, lari dari perbincangan dan pembahasan mereka yang dingin dan tak berujung. Ia membawa g
Livy menjauhkan tatapannya. “Ya,” jawabnya, menyibukkan diri dengan merapikan body and hair care milik Albern.“Ya sudah, Papa makan dulu ya? Al dan Mama siap-siap,” ucapnya. Kay masih menatap Livy, yang sibuk, atau berpura-pura sibuk agar tidak menatapnya. “Hm, kamu sudah makan?” tanyanya.Livy menatapnya lagi. “Belum,” jawabnya.“Oh. Ka- kalau begitu ayo makan bersama,” ucap Kay.“Ya, duluan saja,” jawab Livy.Kay mengangguk. Ia menggendong Albern dan membawanya keluar kamar. “Ayo temani Papa makan,” ucapnya.Setelah Livy membereskan kamar Albern, dia pun keluar kamar. Baru saja dia menutup pintu, Albern sudah berlari menangkapnya.“Eh Al?” sapa Livy, gemas. Dia langsung menggendong anak itu.“Papa…” ucap Al, menunjuk ke arah dapur.“Mau sama Papa?” tanya Livy.Al mengangguk.Kening Livy mengernyit. Padahal tadi Kay sudah membawanya, dia yang kembali, lalu kenapa meminta untuk kembali pada ayahnya di meja makan? Namun, dia tidak mungkin mendebat anak kecil yang belum mengerti apa-ap
“Ahm, ti- tidak usah,” ucap Livy.Kay pun mengangguk.Livy masuk ke dalam kamar. Dia berdiri di depan cermin. ‘Apa aku dekil? Jelek? Sampai Kay menawarkan untuk ke salon? Apa aku benar-benar terlihat tidak b isa mengurus diri sendiri?’ batinnya overthinking. Namun, saat itu pula dia menepis pikirannya. “Kenpa aku ini?! Aku berpikir apa!” celetuknya pula.Setelah sarapan pagi itu, mereka pun siap-siap untuk pergi.“Hati-hati ya… cucu Kakek!” seru Richard, mengusap kepala Albern.“Kalian juga… selamat bersenang-senang!” ucapnya tersenyum menatap Livy dan Kay.“Kami pergi dulu, Pa.”**Hari itu mall terlihat ramai, tapi tidak sesak. Musik lembut mengalun dari pengeras suara pusat perbelanjaan, aroma kopi dari kafe-kafe menyatu dengan semilir wangi parfum dari toko-toko di sekitarnya. Kay menggendong Albern, sementara Livy berjalan di sisi mereka sambil membawa tas kecil berisi peralatan anak itu. Sesekali Albern menunjuk ke arah stan ice cream, namun Kay mengalihkannya agar mereka lebih
Hari-hari berikutnya berlalu dengan baik dan nyaman. Tidak ada masalah, tidak ada yang menyesakkan dada. Albern tumbuh semakin ceria, dan Livy menjadi lebih sering tersenyum dan tertawa, tanpa beban. Bahkan Kay, tanpa sadar, seringkali tersenyum sendiri hanya karena melihat atau hanya mengingat Livy. Hatinya sangat hangat saat mengingat Livy begitu dekat dengan Albern. Suatu pagi, di akhir pekan, di tengah suasana rumah yang damai, setelah sarapan Richard memanggil semua orang ke ruang tamu. Ia berdiri dengan map cokelat di tangannya, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang resmi. “Papa punya ide,” ujarnya sambil menatap mereka satu per satu. “Bagaimana kalau kita liburan bersama?” Livy yang tengah menemani Albern bermain langsung menoleh. Kay yang baru duduk pun mengangkat alis. “Liburan, Pa?” sahut Kay. Richard mengangguk semangat. “Iya. New York terlalu padat. Papa pikir kita harus tenang dan menjauh dari kesibukan kota ini. Menghirup udara baru, melihat hal-hal yang indah, y
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. “Ah, ma- maaf. Maaf,” ucap Kay. “Ya?” sahut Livy dengan nada bertanya. “Kalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.” Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. “Ya, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,” ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. “Yaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,” lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. “Kamu juga,” balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.“Kay?” Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. “Aku… juga haus,” katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan
“Mau?” tanya Kay pula terang-terangan menatap Livy. Ia terkekeh.Livy langsung keluar dari mobil dan membiarkan Kay menggendong Albern.“Ada-ada saja!” celoteh Livy pelan.“Aku cuma bercanda…” ucap Kay.“Papa kamu memang kadang suka banyak gaya, Al. Memangnya sanggup?” cibirnya pelan, sambil mengibas rambutnya ke belakang.“Sanggup! Mau coba?” balas Kay yang mendengar omelan itu.Livy memelototinya.Kay malah tertawa lebar. “Kamu cantik kalau lagi marah,” ucapnya.“Ya! Aku tahu!” balas Livy arogan, berjalan lebih depan dan meninggalkan Kay juga Albern.Kay sama sekali tidak mati kutu dengan jawaban judes itu. Dia malah senang, karena perlahan sisi Livy yang dulu, mulai kembali ia tunjukkan. Sisinya yang manja, bawel namun tetap penuh perhatian.Restoran itu tidak terlalu ramai, namun suasananya hangat dan nyaman. Cahaya lampu-lampu gantung yang temaram memantulkan kilau lembut ke meja-meja kayu yang ditata elegan. Aroma roti panggang dan rempah-rempah menyambut mereka begitu pintu kac
Mata Livy melotot.Kay terkekeh. Membuat Livy akhirnya tersenyum. Merah di pipinya itu tidak dapat dia sembunyikan.“Baiklah, nanti aku akan siap-siap,” ucap Livy mengalihkan.“Lalu jawabannya?” tanya Kay.“Jawaban apa lagi? Aku sudah bilang ya,” balas Livy, bingung.“Aku pikir kamu jawab ‘baiklah’ kamu akan memanggilku dengan sebutan ‘Sayang’ hehe…” Kay merasa konyol. Dia mengusap kepalanya.Livy sejenak terdiam. “Hm... sudah dulu,” ucapnya, mengakhiri panggilan.Kay masih tersenyum. Sampai dia menyandarkan punggungnya ke kursinya yang empuk, mendongakkan wajah, bibirnya itu masih tersenyum lebar. Jantungnya berdebar.Sementara itu, Livy di kamarnya, mengelus dada. Dia mengatur napasnya. Kenapa hanya pertanyaan bercanda seperti itu berhasil membuatnya tersipu? Jiwanya benar-benar terasa kembali hidup, untuk hal lain, perasaan yang sudah lama tidak diarasakan.**Sore itu, suara mobil Kay terdengar lebih cepat dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul lima, namun deru mesinnya sudah
Cahaya matahari siang menembus tirai tipis di balik jendela kantor Kay yang terletak di lantai tertinggi gedung. Di balik meja panjang dan layar monitor yang menyala, Kay duduk dengan jas setengah dibuka dan dasi yang mulai ia longgarkan sejak satu jam lalu setelah dia selesai meeting. Di tangannya ada laporan bulanan yang belum sepenuhnya ia baca, karena pikirannya melayang terlalu jauh.Terlalu jauh... ke rumah. Ya, bukan hanya sekadar bangunan megah, mewah dan indah, tetapi benar-benar menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Anaknya, Ayah mertuanya dan Livy.Bukan pertama kali ia begini. Sejak Livy kembali dan tinggal bersama mereka, wajah perempuan itu tak pernah absen dari benaknya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang terasa mengganjal—bukan karena rasa bersalah, tapi karena harapan yang mulai tumbuh diam-diam. Harapan yang perlahan membesar dan membentuk sebuah impian.Ia menatap keluar jendela. Di sana, langit tampak cerah. Begitu pun isi kepalanya sa