Ketika Melahirkan Di Tempat Mertua.
BAB : 5
Kesepakatan.
***
Aku menangis sesenggukan seorang diri disini. Menangis untuk menghilangkan sesak di dalam sini. Aku tak habis pikir dengan sikap mereka. Menjenguk bayiku saja tidak, tetapi sudah meributkan biaya yang memang menjadi tanggungannya. Dan Mas Rangga, apa dia tak ingin sedikit saja menengok anaknya? Cukuplah ini air mata terakhir. Tangisanku terlalu berharga untuk mereka. Aku tak mau terlihat lemah di depan mereka.
Empat hari sudah aku berada di rumah sakit. Mas Rangga dan Ibu hanya menjengukku sebentar saja. Itu pun selalu merusuh dan bicara menyakitkan. Kata Dokter, hari ini aku sudah boleh pulang. Tentu saja Mas Rangga tahu, karena memang Dokter sendiri yang berbicara dengan Mas Rangga kemarin.
Aku sudah menelpon Ibu di kampung. Karena Bapak sedang sakit, jadi aku melarang Ibu untuk kesini dulu. Lagian, saat ini bukan waktu yang pas untuk Ibu berkunjung. Aku tak ingin Ibu melihat perlakuan mereka yang menjengkelkan.
"Maaf, Bu, ini dedeknya haus. Sepertinya pengen mimik deh," ucap Suster menyerahkan bayiku.
"Duh, anaknya Mama, pengen mimik," ujarku sambil menggendong bayiku.
Rasanya begitu tenang dan bahagia sekali melihat paras anakku. Dialah pelipur lara saat ini. Aku harus kuat demi bayi jelitaku ini. Bahagia tiada duanya, walaupun Ayah dan neneknya tak peduli sama sekali.
Kuhela nafas panjang. Senang sekali melihat bayi Kania menyusu dengan kuatnya. Dan alhamdulillah, air susuku mengalir dengan begitu derasnya. 'Sehat selalu ya, anakku sayang,' pintaku dalam hati.
Setelah kenyang dan tertidur, lalu menyerahkan kembali bayi Kania pada suster yang menjaga anakku. Aku memang sengaja menyewa suster untuk menjaga bayiku agar tetap terurus. Karena aku sendiri sedang dalam masa pemulihan. Biarlah semua biaya Mas Rangga yang nanggung.
Mengingat nama Mas Rangga aku jadi ketar-ketir dibuatnya. Pasti saat ini Mas Rangga tengah mencari uang untuk biaya di rumah sakit ini. Aku sangat tahu wataknya, dia tidak akan diam begitu saja. Harga dirinya terlalu tinggi untuk disentuh. Pasti dia akan melakukan sesuatu untuk membalas rasa sakit hatinya padaku. Dan sebelum itu terjadi aku harus melawannya dengan caraku. Tapi gimana?
Ayo Andira, lakukan sesuatu. Pasti Mas Rangga kesini nanti untuk mengajakmu pulang. 'Berpikirlah Andira!' Semangatku dalam hati. Sebelum Mas Rangga kesini, aku harus sudah menemukan cara untuk melindungi diri sendiri dan bayiku.
***********
Cekrek!
Saat sedang melamun, aku dikejutkan oleh suara seseorang membuka handle pintu. Dan ketika pintu terbuka, nampaklah seseorang sedang berdiri dan langsung berjalan mendekatiku. Baru juga dipikirkan, sudah datang saja kesini.
"Halo, Sayang, biaya rumah sakit sudah aku bayar, beserta rumah sakitnya sekalian. Kita tinggal nunggu pulang saja. Sudah tak sabar pengen pulang kan?" ucap Mas Rangga tersenyum menyeringai.
"Aku tersenyum manis ke arahnya. "Iya kamu benar, Sayang. Tapi sayangnya, aku gak mau pulang sama kamu. Aku gak mau pulang ke rumah Ibumu!" ujarku yang masih tersenyum manis.
"Memangnya, kamu mau pulang kemana, Andira?" tanya Mas Rangga mulai geram.
"Terserah, Mas, yang penting aku tak mau masuk ke dalam lubang harimau yang telah kau siapkan untukku!" ketusku tajam. Mas Rangga nampak gelagapan mendengar ucapanku.
"Jangan macem-macem kamu, Andira. Kamu harus pulang denganku. Apa kata orang nanti jika kamu pergi? Apa kata tetangga dan teman-teman Ibu nanti? Pikir!"
"Itu urusanmu, Mas." Jawabku santai.
Namun sepertinya Mas Rangga marah besar. Nampak sekali dadanya naik turun. Aku bingung dengan perasaannya saat ini. Sebenarnya dia itu menganggapku musuh atau istri?
"Aku akan pulang bersama kamu, Mas. Tapi dengan syarat," pintaku yang tiba-tiba muncul rencana di kepala.
Aku tahu jika aku memilih menghindar, pasti Mas Rangga dan Ibu tak akan tinggal diam begitu saja. Mereka akan selalu menggangguku hingga keinginan mereka tercapai. Terlebih masalah biaya ini, Mas Rangga tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Tidak ada cara lain, selain mengikutinya namun melawannya dengan caraku. Karena kutahu Mas Rangga hanya sering menggunakan mulutnya saja untuk menyerangku. Otot dan mulutnya selalu jadi andalan jika sedang marah. Dan bodohnya aku, kenapa sekarang baru menyadarinya?
"Tak usahlah, gaya-gayaan bersyarat segala!"
"Mau apa tidak?" tanyaku tak kalah tajam.
"Yaudah, apa syaratnya?"
Aku tersenyum miring. Lalu memencet tombol untuk memanggil Suster.
"Iya, Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya Suster yang baru datang.
"Maaf, Sus, saya minta pulpen, kertas, dan materai, bisa?
"Tunggu sebentar ya, Bu," Lantas Suster tersebut berlalu dan datang kembali membawakan yang kuminta.
"Mau ngapain kamu?" Mas Rangga mendelik matanya melihatku yang ingin mulai menulis.
"Aku terlalu mencintaimu, Mas, hingga rasa itu tak sanggup jika ku ungkapkan lewat kata-kata. Aku ingin memberi surat tanda sayang, agar kamu menyimpannya rapi untukku!"
Mual sendiri rasanya berbicara seperti itu. Sungguh, rasa ini sudah menguap entah kemana. Karena saat ini hanya bayi Kania yang kupikirkan.
Akhirnya selesai juga, tulisan ini yang akan melindungiku nanti. Aku tahu masuk ke rumah Ibu Mas Rangga adalah pertaruhan hidup dan matiku disana. Maka dari itu aku dan bayiku butuh perlindungan, supaya tetap waras. Saat ini aku tak mungkin pulang ke rumah Ibuku di kampung. Karena selain jauh, Mas Rangga juga pasti akan menahan. Sama halnya juga memilih mengontrak sendiri, Mas Rangga dan keluarganya pasti akan terus menggangguku.
"Nih, bacalah! Setelah itu tanda tangan di bawah sini!" Titahku dengan menyerahkan kertas bermaterai di depannya. Ya, aku memang membuat surat perjanjian, untuk menghindari hal-hal tak diinginkan di rumah nanti. Mas Rangga dengan kasar merebut kertas itu dariku, lalu membacanya dengan nafas memburu.
"Apa-apaan ini, Andira? Apa kamu sudah gila?" Mas Rangga berteriak marah melempar kertas itu, namun kembali menetralkan suaranya menyadari ini masih di rumah sakit.
"Kamu bisa baca kan, Mas? Baiklah aku bacain aja jika kamu bingung." Aku mengambil kertas yang tergeletak di depanku.
Kami, atas nama Rangga dan Andira membuat kesepakatan di bawah ini.
-Rangga harus menyerahkan gajinya secara utuh pada Andira. Adapun hal lain-lain, harus sesuai dengan izin Andira.
-Rangga harus memperhatikan jadwal kontrol rutin Andira.
-Andira dan bayinya, harus mendapat perlakuan yang layak.
-Jika terdapat perlakuan yang tidak menyenangkan hingga membekas luka, maka yang bersangkutan rela dipenjara.
Saya, Rangga Dinata. Jika melanggar salah satu diatas, saya rela dipenjara dengan seberat-beratnya.
"Gimana, Mas? Gak berat kan syaratnya?" tanyaku setelah membacakan surat kesepakatan tersebut.
"Gila kamu, Andira! Benar-benar gila. Kamu minta gajiku full dikasihkan untukmu, setelah kau kuras uangku untuk membayar biaya disini!" Mas Rangga terlihat meluap-luap emosinya.
"Kalau kamu gak terima, ya udah berarti relakan aku untuk pergi dari sini. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku membawa bayiku."
Mas Rangga terlihat sangat frustasi. Lihatlah, dia menganggap seakan aku telah memerasnya. Padahal bukankah itu kewajibannya sebagai suami? Memang aneh sekali pemikirannya. Sayang, aku terlambat menyadarinya.
"Permisi, Bu Andira hari ini sudah boleh pulang ya, ini obatnya. Dan ini jadwal kontrolnya."
"Makasih, Sus."
"Sama-sama." Sang perawat itu lantas keluar meninggalkan kami.
Aku beranjak pelan turun dari brankar, lantas membereskan perlengkapan bayiku. akan kubuktikan kalau ucapanku tak main-main pada Mas Rangga. Lihatlah, Mas, tanpamu aku masih bisa berdiri sendiri.
**********
Bab : 108Bersamamu, aku bahagia, Mas,"Biar saja, Pak, saya bisa mengatasinya." titahku, lantas penjaga itu membungkuk permisi.Hatiku perih melihat penampilan mantan Ibu mertua yang sekarang terlihat lebih kurus. Istri Mas Rangga yang sedang menggendong anaknya pun tak kalah kusut. Namun kemana Mas Rangga? Kenapa meninggalkan Ibu dan istrinya? Aku hampir lupa kalau Mas Rangga adalah karyawan Mas Alan. Tentu saja dia beserta keluarganya pun menghadiri acara ini."Andira, maaf jika dulu Ibu pernah jahat sama kamu. Ibu sangat menyesal. Coba dulu Ibu tak menyia-nyiakan kamu, mungkin sampai sekarang kamu masih menjadi istri Rangga.""Maksud Ibu apa?" Istri Mas Rangga seakan tak terima mendengar ucapan sang mertua."Diam kamu! Menikahi kamu adalah kesalahan terbesar Rangga!" sungut Ibu melotot tajam. Sepertinya perangai Ibu masih seperti dulu. Inikah yang katanya menyesal? Bahkan sama menantunya pun masih seperti itu. "Bu, Mbak, sudah, tak usah ribut, ini tempat umum. Ibu tenang saja, s
Bab : 107Kejutan yang membuatku terharuMas Alan menghela nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Kita akan pergi ke pesta, sayang.""Pesta?""Iya, pesta. Pesta pernikahan kita." Entah kejutan apa lagi yang akan diberikan untukku kali ini. Rasanya sudah tak bisa berkata-kata lagi dihadapannya. Bagaimana dia menyiapkan semua ini, tanpa meminta persetujuanku?"Aku sengaja memberikan kejutan untukmu, sayang. Mas yakin, pasti kamu akan senang." Mas Alan menggenggam tanganku."Tapi, kenapa harus mengadakan pesta, Mas?" tanyaku lirih. "Sayang, dengar, Mas hanya ingin menunjukkan ke semua orang bahwa Mas sudah menikah dan mempunyai istri secantik kamu. Memangnya kamu mau, karyawan Mas di kantor menganggap Mas masih single?" ucapnya dengan menggenggam jari ini.Senyumku mengembang mendengar penuturannya. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta padamu, Mas. Sungguh, hati ini selalu sejuk dengan segala tingkah manismu. Bahkan berkali-kali kamu selalu membuatku jatuh cinta."Makasih banyak, Mas.
Bab : 106Malam pertama yang indah."Terus gimana, Bunda? Apakah setelah itu sang pengembaranya ketakutan?" tanya Riana yang sudah menguap beberapa kali."Awalnya memang ketakutan, Sayang. Lalu tak lama ada seseorang yang datang menyelamatkannya. Tentu sang pengembara itu sangat senang mendapat bantuan. Hingga akhirnya sang pengembara menemukan temannya yang tengah tersesat. Pastilah teman sang pengembara senang, karena telah bertemu dengan teman seperjuangan." Aku menutup buku setelah membacakan dongeng pada anak gadisku. Dan ternyata Riana sudah pulas dengan memeluk guling kesayangannya.Setelah menaruh buku di meja, kukecup sejenak kening Riana yang baru saja memejamkan mata. 'Sungguh, Bunda menyayangimu, Sayang, walaupun kamu bukan terlahir dari rahim Bunda. Tapi Bunda akan berusaha menjadi Bunda yang baik untukmu." Batinku, sembari menata selimut agar nyaman dengan tidurnya.Aku mulai beranjak dari kamar Riana setelah memastikan ia tertidur dengan nyaman. Waktupun sudah menunjukk
Bab : 105Badai orang ketigaDreett … dreett ….Kami yang tengah bercengkrama berdua, terkejut mendengar ponsel Mas Alan berdering. Siapa yang menelpon? Bukannya Mas Alan sedang mengambil cuti? Penasaran, aku pun ingin beranjak mengambil ponsel yang masih tergeletak tersebut, namun Mas Alan menghalangiku."Biar Mas yang ngambil, Sayang. Ganggu aja, siapa sih yang nelpon?" gerutunya, sembari melangkah mengambil ponsel."Bu Puspita, Sayang," ucapnya ragu.Dahiku mengernyit, untuk apa Bu Puspita menelpon? "Angkat aja, Mas!" ujarku. Karena aku sendiri penasaran dengan maunya Bu Puspita kali ini. "Assalamualaikum, Bu," jawab Mas Alan setelah mengangkat telepon. Sejenak, Mas Alan terdiam dengan masih menggenggam ponselnya. Entah apa yang dibicarakan oleh Bu Puspita, aku tak mendengarnya. Lebih baik aku menunggu disini saja."Maaf, Bu, saya tidak bisa. Saya sedang bersama istri saya!" Suara Mas Alan terdengar pelan, namun tegas.Aku meneguk ludah kuat. Kenapa Bu Puspita masih saja menggang
Bab : 104Kamu sempurna di mataku, Mas,Duh, Mas, meleleh hatiku melihat sikapmu seperti ini. Biarlah dikata seperti anak abege yang baru mengenal cinta. Nyatanya hatiku sedang berbunga-bunga melihat sikap manisnya. Sedangkan Yulia terlihat sangat kesal, tatapan matanya tajam ke arahku seakan mau menerkam."Hari ini adalah hari bahagia mereka, Bu, tolong jangan rusak momen indah mereka. Andira sekarang sudah menjadi menantu saya, tanpa mengurangi rasa sayang kami terhadap Renata yang sudah bahagia di alam sana. Jika Ibu ingin dihargai, tolong hargai kami disini!" Suara Mama pelan, namun menusuk. Menusuk bagi yang berpikir, tapi entah jika bagi Bu Puspita. Namun melihat raut wajah Bu Puspita, sepertinya mati kutu. Nyatanya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya seperti terkunci."Bukan begitu, Bu, saya hanya ingin memberitahu pada Andira, itu saja!" Kilah Bu Puspita pelan."Andira pasti paham, Bu. Iya kan, Sayang?" Mas Alan mengedipkan mata ke arah ku."Tentu saja, Sayang. Sebaga
Bab : 103.Dia yang selalu menyejukkan hati.Aku bernafas lega setelah mobil sudah terparkir manis di depan rumah. Perjalanan panjang ini terasa lebih menyenangkan karena seseorang yang berada disampingku."Sudah sampai rumah, Sayang." Mas Alan melepas seatbelt yang masih menempel di tubuhnya."Iya, Mas. Udah malam ternyata." ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan angka 20,00. Aku keluar dengan Mbak Tuti yang menggendong Kania. Dan ternyata Kania pun sudah tertidur pulas. Sedangkan Mas Alan berjalan beriringan denganku sampai kami masuk ke dalam rumah."Duh, menantu Mama baru nyampe rumah." ujar Mama menyambutku."Assalamualaikum, Ma," ucapku dengan mencium takzim tangannya."Waalaikumsalam, Sayang. Pasti capek baru pulang. Istirahat dulu, nanti kita makan malam bareng!" ujar Mama."Ayo sayang!" Mas Alan mengajakku beristirahat sejenak. Aku pun mengikuti langkahnya dengan tangan ini tak lepas dari genggamannya.Mas Alan melepas sweaternya setelah kami masu
Bab : 102Hari yang dinanti pun tiba.Satu tahun kemudian.Hidup memang penuh dengan cobaan dan ujian. Begitu pun hidupku yang pernah mengalami keterpurukan hingga berada di titik terendah. Namun aku percaya bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Dan bersamaan dengan itu Allah hadirkan Mas Alan sebagai penyembuh lukaku, pelengkap hidupku, dan sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.Saat ini aku sedang mematut diri di depan cermin. Sedang menunggu detik-detik dimana sebentar lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Gamis mewah berwarna putih serta hijab yang berwarna senada pula, kubiarkan menjuntai lebar menutupi dada yang kukenakan saat ini. "Masya Allah … adik Mbak cantik banget!" ujar Mbak Winda yang menghampiriku di kamar.Mbak Winda rela datang kesini hanya untuk menyaksikan pernikahanku. Padahal jarak dari rumahnya ke kampungku tidaklah dekat. Terharu, itulah yang kurasa saat melihat Mbak Winda kesini."Iya, Mbak Andira aslinya u
BAB 101. Penyesalan Selalu Datang Belakangan.POV RANGGA"Mas, minta uang dong buat beli skin care! Tuh lipstik aku sudah habis!" Lisa datang menyodorkan lipstiknya yang sudah ia korek dengan jarinya. Apakah Lisa tak melihat aku yang baru saja pulang kerja? Belum apa-apa sudah disuguhi dengan permintaan yang menyebalkan."Sudahlah, Lis, tak usah beli lipstik segala. Kamu tahu buat makan aja sekarang kita susah!" Pekikku. Sungguh, pusing sekali rasanya memikirkan semua masalah yang terus menerpa. Setiap berada di rumah selalu berakhir dengan keributan. Tidak dengan Ibu, tidak dengan Lisa, dan kadang seringnya Ibu yang berdebat dengan Lisa. Membuat kepala ini semakin pusing."Ah, Mas jahat. Coba kalau Ibu yang minta, pasti dibeliin. Kenapa aku yang istrimu minta uang buat beli lipstik saja susah, Mas?"Selalu seperti ini. Mempermasalahkan uang yang tak sepatutnya di bahas. Lisa sibuk meminta uang buat lipstik, sedangkan baru kemarin Ibu mengeluhkan beras yang sudah mulai menipis."Aku
Bab : 100Menjaga Hati***Aku melotot di depannya dengan jarak yang dekat. Biar saja, biar Mas Alan tahu kalau aku juga bisa marah. Menjengkelkan sekali. Mentang-mentang sudah sampai sini malah seenaknya seperti itu. Namun pandangan ini dikacaukan oleh bulu-bulu halus yang berada di pipi, membuat orang yang berada di depanku ini terlihat, sempurna. Sejenak, aku mengagumi ciptaan Tuhan yang amat sempurna."Kamu cantik banget kalau sedang marah. Apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu." Aku gelagapan dan segera membuang muka. "Siapa juga yang memperhatikan wajahmu. Nyebelin banget sih!" gerutuku. Padahal sebenarnya sedang menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Sedangkan Mas Alan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Baru bertemu sehari dengannya, kenapa jadi se-menyebalkan ini?"Sebentar, Andira. Saya punya sesuatu untukmu." Mas Alan mengambil plastik yang berada di meja depan, lantas kembali mendekat ke arahku."Pakailah ponsel ini, Andira! Sudah saya simpan semua nomor sa