Ketika Melahirkan di Tempat Mertua
BAB : 4
Siapa yang menanggung biaya Rumah sakit?
POV RANGGA
***
"Jangan macem-macem kamu sama aku, Andira. Aku minta kamu bertanggung jawab atas pilihanmu kesini. Kenapa kamu mengungkit uang yang sekarang sudah tak ada wujudnya!" ucapku yang sangat geram sekali.
"Ada atau tidak, itu bukan urusanku, Mas. Karena aku hanya mengingatkan janji yang pernah kamu ucapkan. Oh ya, daripada Mas Rangga capek berdebat denganku, lebih baik pikirkan biaya untuk membayar persalinanku di rumah sakit ini,"
Memang benar-benar sialan Andira ini. Aku yang panik setengah mati memikirkan biayanya, tapi dia malah terlihat santai seperti ini. Dia yang berulah tapi aku yang menanggung akibatnya. Aku disini hanya menahan geram luar biasa. Tak bisa berbuat apa-apa karena masih berada di rumah sakit. Awas kamu Andira, habis kau nanti setelah berada di rumah!
"Istrimu ini memang keterlaluan, Ga. Nggak menghargai suami sama sekali. Biar sajalah dia di rumah sakit, tak usah kita urus dia disini. Ngapain kita capek-capek membayar biayanya. Mendingan kita pulang sekarang. Ayo pulang," titah Ibu sambil menggandeng tanganku.
Benar kata Ibu, lebih baik aku pulang saja daripada nungguin istri yang tak tahu diri dan bikin makan hati seperti Andira. Aku tersenyum miring ke arah Andira, lalu menerima tawaran Ibu dengan senang hati.
"Tanggung sendiri bebanmu itu, Andira," ucapku pelan namun tajam. Lalu beranjak keluar bersama Ibu.
"Tunggu!" Andira mencegah kepergianku.
Aku tersenyum miring ke arahnya. Aku tahu pasti mau mengemis maaf dariku. Sombong sih jadi istri. Mana bisa Andira menyelesaikan masalahnya sendiri, selalu harus aku. Benar kata Ibu, Andira memang manja. Dasar istri gak berguna!
"Mas Rangga kalau mau pulang dengan Ibu, pulanglah. Justru aku senang berada disini dengan bayiku, makan jadi terjamin. Bayiku pun pasti terurus karena banyak suster disini," ucap Andira tersenyum.
"Tapi jangan lupa, nanti kalau ada tetangga yang menjenguk kesini, kukatakan saja kalau kamu gak mau menanggung biaya persalinanku. Bukankah harga dirimu terlalu tinggi untuk itu? Dan jangan lupa, semakin aku lama disini, biayanya semakin besar. Nikmati saja gunjingan para tetangga," ucap Andira tersenyum.
Aku tercengang mendengar ucapan Andira. Begitu juga dengan Ibu, nampak matanya mendelik. Aku tak menyangka, ternyata Andira begitu licik. Pintar sekali memainkan keadaan. Aku tak mau martabatku hancur hanya gara-gara istri sialan ini.
"Sialan kamu, Andira!" ucapku mencengkram tangannya. Emosiku sudah kutahan sedari tadi, tapi Andira selalu bikin ulah. Hingga kesabaranku habis juga dibuatnya.
"Lepaskan, atau aku teriak. Kamu lupa ini dimana?" ucapnya pelan dengan sorot mata tajam. Lantas aku pun melepaskannya.
"Jangan gunakan akalmu untuk marah-marah, Mas. Kalau mau pulang, pergilah. Aku tidak butuh kamu. Aku lebih membutuhkan tetangga-tetangga Ibu kesini. Agar bisa berkeluh kesah dengan mereka. Iya kan, Bu? Ibu kan di rumah terkenal ramah dan baik hati,"
Ucapan Andira bernada ancaman, hingga tanpa sadar tanganku mengepal menahan geram luar biasa. Begitu juga dengan Ibu, mukanya merah menahan amarah. Kami dibuat kelimpungan seperti ini oleh seorang Andira. Benar-benar membuatku muntab.
Aku keluar dengan nafas menderu, disusul oleh Ibu dari belakang. Aku harus mencari solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Jika tidak, harga diri dan martabatku taruhannya.
"Kamu mau kemana, Ga?" tanya Ibu ketika ingin beranjak pergi.
"Mau ke bagian administrasi, Bu," ucapku menoleh ke arah Ibu.
"Jangan bilang, kamu mau membayar, Ga," ucap Ibu tajam.
Aku tak menghiraukan ucapan Ibu. Aku terus berjalan dan meninggalkan Ibu yang masih mematung. Aku sudah tak punya waktu lagi untuk berdebat.
"Pasien atas nama Andira Dilbara, berapa semua biayanya, Sus?" tanyaku pada Suster yang berjaga di ruang administrasi.
"Sebentar ya, Pak, saya cek dulu," ucap Suster itu dengan membolak-balikkan kertasnya.
"Total biayanya sampai hari ini sebesar Rp12,500,000 Pak," ucap Suster itu hingga membuatku tercengang. Lantas aku pun permisi dari Suster tersebut.
Kemana aku harus mencari uang sebanyak itu? Tak mungkin aku meminta pertimbangan pada Andira sialan itu. Mendekati dia bukan solusi untuk saat ini. Yang ada malah semakin geram karena ancamannya. Ayo, Rangga, berpikirlah!
Mataku berbinar ketika mendapat ide untuk mengatasi masalah ini. Tak apa harus bertengkar dulu dengan Ibu, yang penting aku terbebas dari situasi sulit ini.
"Kita pulang saja, Bu," ucapku setelah mendekati Ibu.
"Nah, gitu dong. Anak Ibu kan nurut sama Ibu," ucap Ibu senang. Lalu berjalan mengikuti langkahku. "Maafkan aku, Bu," batinku.
************
Rumah nampak sepi ketika aku sudah sampai di rumah. Mbak Rosa kemana? Ah, Mbak Rosa selalu pergi-pergian terus. Aku langsung masuk ke kamar Ibu. Ibu yang kebingungan mengikutiku dari belakang. Aku membuka lemari pakaian Ibu, hingga membuat Ibu mencegah tanganku.
"Mau ngapain kamu, Rangga?" Dengan menahan tanganku Ibu berteriak ke arahku.
Aku melepas tangannya pelan, "Maaf, Bu, aku gak punya pilihan lain. Kali ini aku benar-benar minta maaf, Bu," Kulanjutkan lagi pencarianku di dalam lemari Ibu.
Mataku berbinar ketika menemukan sesuatu. "Akhirnya ketemu juga," ucapku setelah mengeluarkan kotak perhiasan milik Ibu.
"Rangga, jangan macem-macem kamu. Ini punya Ibu, jangan lancang kamu!" teriak Ibu sambil berusaha merebut kotak emas ini dari tanganku. Namun aku lebih kuat, Ibu tak akan bisa mengambilnya.
"Maafkan aku, Bu," ucapku sambil menaruh kotak perhiasan ini ke dalam tasku.
"Kenapa kamu lakukan ini pada Ibumu, Rangga? Apa kamu sudah tak menghormati Ibu lagi?" Sambil menangis Ibu berucap seperti itu.
"Maafkan aku, Bu. Ini cara satu-satunya untuk menyelamatkan harga diri keluarga kita dari ancaman Andira. Ibu mau, dicap mertua jahat sama warga sini? Kalau aku, aku gak mau, Bu,"
"Baiklah, tapi setelah ini serahkan gaji kamu tiap bulan pada Ibu dengan kondisi utuh. Ibu gak mau terbagi dengan Andira dan anakmu!"
"Memang dari kemarin, Ibu gak terima utuh?" ucapku yang membuat muka Ibu tak mendung lagi. Lantas berpamitan padanya untuk menjual semua emas ini.
Aku tahu Ibu menyimpan emas ini karena Ibu bilang kalau kemarin baru saja dapat arisan emas. Ya, Ibu memang mengikuti arisan Ibu-ibu kelas atas berbentuk emas. Buat perhiasan kalau pergi ke kondangan, Rangga. Ucapnya waktu itu ketika aku memprotesnya. Karena jujur saja itu semua dari uangku. Iuran bulanannya yang besar membuatku pontang-panting setengah mati. Tapi akhirnya aku sendiri yang memakainya.
Setelah sampai di tempat dan memarkir motor, lantas aku menjual semua emas milik Ibu. Total penjualannya kurang lebih sekitar 15 juta. "Banyak juga simpanan Ibu," batinku. Setelah transaksi jual-beli selesai kemudian aku melajukan motor menuju rumah sakit.
Rasanya lega setelah mendapat uang untuk membayar biaya Andira sialan itu. Tinggal menjemput Andira untuk pulang ke rumah Ibu. Aku tersenyum miring mengingat Andira yang sudah mulai licik denganku itu. Lihat saja Andira, kamu akan mendapat balasan dariku nanti.
****************
Ketika Melahirkan Di Tempat Mertua.BAB : 5Kesepakatan.***Aku menangis sesenggukan seorang diri disini. Menangis untuk menghilangkan sesak di dalam sini. Aku tak habis pikir dengan sikap mereka. Menjenguk bayiku saja tidak, tetapi sudah meributkan biaya yang memang menjadi tanggungannya. Dan Mas Rangga, apa dia tak ingin sedikit saja menengok anaknya? Cukuplah ini air mata terakhir. Tangisanku terlalu berharga untuk mereka. Aku tak mau terlihat lemah di depan mereka.Empat hari sudah aku berada di rumah sakit. Mas Rangga dan Ibu hanya menjengukku sebentar saja. Itu pun selalu merusuh dan bicara menyakitkan. Kata Dokter, hari ini aku sudah boleh pulang. Tentu saja Mas Rangga tahu, karena memang Dokter sendiri yang berbicara dengan Mas Rangga kemarin.Aku sudah menelpon Ibu di kampung. Karena Bapak sedang sakit, jadi aku melarang Ibu untuk kesini dulu. Lagian, saat ini bukan waktu yang pas untuk Ibu berkunjung. Aku tak ingin Ibu melihat perlakuan mereka yang menjengkelkan. "Maaf, B
BAB : 6Kesepakatan Dimulai.POV RANGGANafasku menderu saat Andira memberikan kertas berisi surat perjanjian untukku. Jelaslah itu sah dimata hukum, jika terbubuh tanda tangan diatas materai. Ternyata aku masih kalah licik dengan Andira. Aku tak menyangka kalau orang yang dulu lugu dan penurut, kini berubah menjadi licin seperti belut. Ternyata Andira memang tak main-main dengan ucapannya. Setelah ada pemberitahuan dari Suster tentang kepulangannya hari ini, dia berkemas sendiri, dan tak sedikitpun melirik ke arahku. Tok tok! Permisi, Maaf Pak, ditunggu di ruang administrasi sekarang. Masih ada yang belum diselesaikan," ucap seorang suster yang baru datang tersebut."Apalagi?""Saya hanya menyampaikan pesan, Pak. Untuk lebih jelasnya, silahkan bertanya langsung pada yang berjaga. Permisi!" ucap Suster tersebut, lantas keluar dari ruangan ini. Aku melirik tajam ke arah Andira. Namun sepertinya Andira nampak cuek saja. Ia masih merapikan barang-barangnya. Lebih baik aku ke ruang a
BAB : 7. Babak Baru Dimulai.***"Mulutmu itu dijaga kalau ngomong, An. Ngelahirin aja minta sesar, kok segala ngomongin Rosa. Udah, mendingan kamu pulang dulu sana!" sungut Ibu mertua meluap-meluap. Emang bener kan, kalau tujuannya kesini cuma pamer mobil doang. Lah, mau jemput siapa? Mas Rangga juga bawa motor."Sudahlah, An, mending kamu pulang dulu saja. Jangan bikin ribut disini, malu tau dilihat orang!" ketus Mas Rangga menatap tajam ke arahku.Tanganku mengepal kuat mendengar ucapan Mas Rangga. Seharusnya Mas Rangga bisa menjadi jembatan antara aku dan keluarganya. Namun malah ikutan memojokkanku. Apa dia tak memikirkanku sama sekali? Ah, lupa, jelas dia tak bisa berpikir dengan baik, otaknya saja sudah digadaikan. Okelah, aku ikuti permainan kalian semua."Baiklah Mas, aku pulang duluan. Tapi aku tak mau naik ojek, aku maunya naik taxi aja. Kalian semua naik mobil masa aku ojek." "Eh, eh, apa-apaan minta naik taxi segala. Emang kamu gak tau, taxi itu mahal. Lihatlah, Rangga
BAB : 8Sakit hati yang belum terbalaskan.POV RANGGAAku masih mematung di tempat ketika Andira berlalu dari hadapanku. Andira sekarang memang tak bisa dianggap remeh. Uang dari penjualan emas kemarin hampir habis dipakai untuk Andira sendiri. Padahal nilainya lumayan besar, 15 juta hampir habis dalam hitungan hari. Bahkan belum genap tiga hari."Rangga, Ibu mau jalan-jalan dengan Rosa menggunakan mobil baru. Ibu minta uang dong," Pinta Ibu menadahkan tangannya.Ah, kenapa semua orang jadi menyebalkan seperti ini, sih. Tadi Andira, sekarang Ibu. Tak bisakah aku tenang sedikit saja."Uangku habis, Bu, buat biaya Andira.""Yaudah kalau gitu, balikin emas-emas Ibu!" Mataku melotot mendengar ucapan Ibu. Begitu juga Mbak Rosa yang nampak mendelikkan mata. Tak bisakah Ibu mengerem mulutnya? Kurogoh kantong lantas mengeluarkan selembar warna merah pada Ibu, namun mukanya masih masam."Kok selembar? Tadi Andira dua lembar lo.""Aku capek, Bu, mau pulang!" ketusku sambil berlalu meninggalka
BAB : 9Ketika Teman-teman Ibu Berkunjung.***"Rangga, lagi ngapain kamu? Yang benar saja Andira, kamu menyuruh Rangga mencuci baju. Kalau manja jangan kebangetan," sinis Ibu meradang.Jelas meradang, karena selama ini Mas Rangga tak pernah menyentuh pekerjaan di rumah, apalagi mencuci baju. Aku terkikik geli melihat Mas Rangga yang cuek mendengar Ibu merepet. Padahal Ibu gak tahu apa yang Mas Rangga lakukan padaku tadi. Yang Ibu lihat ketika Ibu baru pulang adalah Mas Rangga nampak membantuku mencuci baju.Perdebatan dengan Mas Rangga tadi memang menyisakan sedikit ngilu di daerah perut. Semoga tak terjadi apa-apa di sekitar sini. Berhadapan dengan Mas Rangga memang tak perlu menggunakan otot, karena pasti aku sendiri yang repot. Aku harus cari cara supaya tetap aman dan waras disini. Terlebih harus cepat sembuh, agar bisa pergi jauh selamanya dari neraka ini. Ya, selamanya, karena setelah ini aku akan menggugat cerai Mas Rangga."Daripada berisik, mending Ibu bantuin jemur!" Aku
BAB : 10Ucapan yang Menyakitkan.***Mataku mengerjap ketika mendengar suara adzan mengalun merdu. Kania juga masih tertidur dengan pulas karena semalem sempat bangun beberapa kali. Mas Rangga? Terserahlah mau tidur dimana. Semenjak ada Kania dia memang tak mau tidur sekamar denganku. Berisik dengan tangis Kania katanya. Miris bukan? Tapi aku tak mau ambil pusing, toh nanti juga Kania tak akan melihat ayahnya lagi ketika aku pergi dari sini. Sejenak kurentangkan tangan dan leher yang terasa pegal. Setelah membersihkan diri aku lantas bersiap diri untuk bergegas ke tukang sayur sebelah. Dengan meninggalkan anakku yang masih tertidur pulas, aku berjalan pelan menuju tukang sayur. Semua penghuni rumah ini masih tertidur pulas, aku tak mungkin berdiam diri di dalam rumah. Sedangkan saat ini, ada Kania yang membutuhkanku. "Eh, Mbak Andira, baru melahirkan kok sudah sampai sini?" ujar Mamang tukang sayur."Iya, Mang, pelan-pelan juga bisa kok. Mumpung Dedeknya masih tidur juga, jadi pen
BAB : 11Bayar Lukaku dengan Mahal, Mas!***Aku menahan sakit luar biasa di sekitar area perut hingga berdiri pun rasanya sangat susah. Namun melihat keadaanku yang seperti ini masih saja membuat Mbak Rosa angkuh. "Yang, itu Andira kenapa?" tanya Rudi, suami Mbak Rosa. "Biarin aja, Yang. Biar dirasakan sendiri akibatnya. Berani sama Rosa, tanggung sendiri akibatnya." Melihat Mbak Rosa yang angkuh begini, membuatku mengepalkan tangan. Aku tidak akan melupakan perbuatanmu, Mbak, lihat saja nanti."Kita periksakan aja, Yang, gimana kalau aku saja yang mengantarnya ke rumah sakit?" Aku terkesiap mendengar tawaran Rudi. Tampangnya saja yang sok alim, tapi pandangannya sungguh menjijikan. Lebih baik aku mati di tempat, daripada diantar oleh Rudi brengsek itu."Jangan, Yang! Tanganmu terlalu berharga untuk membantunya. Biar saja dia menanggung sakit sendiri. Biar tahu rasa dia!" ketus Mbak Rosa angkuh lantas meninggalkanku yang sedang menahan sakit.Aku tertatih dan mencari Mas Rangga n
BAB : 12Gadis Kecil Itu?***"Om kan sayang sama orang yang kamu panggil Bunda itu, Sayang. Tak mungkin lah Om menyakitinya," ucap Mas Rangga yang berusaha merayu gadis kecil ini."Gak, Om gak boleh sayang sama Bunda. Yang boleh sayang tuh, Riana sama Ayah!" ucap gadis kecil ini lantang. Aku melongo mendengar ucapan gadis kecil ini. Begitu juga dengan Mas Rangga dan Ayahnya gadis ini nampak melongo bersamaan. Sedangkan Pelukannya semakin erat padaku, tatapan matanya tajam mengarah pada Mas Rangga. "Riana, yang sopan kamu! Pak Rangga, Bu, saya bener-bener minta maaf atas ulah Riana, anak saya," ucap Ayah gadis ini dengan tak enak hati."Hmmm … Papa jahat! Aku mau ikut Bunda aja gak mau ikut Papa, hmmm …." Gadis yang ku ketahui bernama Riana ini menangis karena bentakan sang Ayah. Ini tak bisa dibiarkan, aku harus mengambil tindakan. Hal yang kulakukan adalah mengambil kesempatan dalam kondisi sempit seperti ini."Udah ya, Sayang. Jangan menangis lagi ya, ada Bunda disini," ucapku y