แชร์

Bab 7

ผู้เขียน: Tinta cinta
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-24 18:54:20

Mungkin waktu sudah menunjukkan sekitar pukul delapan malam. Aku tak menyangka, ternyata Mas Ramdhan benar-benar datang. Ia datang bersama tiga orang laki-laki berkopyah.

Jangan tanya bagaimana penampilanku saat itu. Gaunku masih sama, hanya saja rambutku sudah acak-acakan. Ruang tamu yang tadinya sempat kurancang rapi, kini berantakan.

“Riska, maaf aku telat,” ucap Mas Ramdhan sembari menatapku dengan wajah prihatin. Ini pertama kalinya aku tampil kacau di depannya. Tapi aku tidak malu—biarlah dia merasa bersalah. Toh, ini karena dia yang tidak menepati janji.

“Ngapain ke sini, Mas?” tanyaku pura-pura acuh.

Mas Ramdhan tak menjawab. Ia berlalu dariku dan membenahi ruang tamu yang berantakan. Beberapa menit kemudian, setelah semuanya beres, aku diajak duduk berdampingan. Kami melangsungkan pernikahan siri yang sudah telat dari rencana awal.

“Saya terima nikah dan kawinnya Fariska binti Pak Mulyo dengan mahar seperangkat alat salat dan uang tunai sebesar sepuluh juta rupiah, dibayar tunai.”

Akhirnya selesai sudah. Statusku kini menjadi istri orang. Yah, walaupun hanya istri simpanan. Toh, suamiku adalah Mas Ramdhan—suami idaman para wanita.

Sedikit rasa bersalah muncul saat ijab kabul selesai. Bayangan Zahra dengan tatapan kecewa sempat terlintas, mengusik rasa senangku. Namun seketika hilang, berganti dengan raut ibu Zahra yang bermata tajam. Empati yang sempat ada langsung sirna. Kuyakinkan diriku sekali lagi, Zahra akan menuai karma akibat ibunya.

“Saya pulang dulu, Pak Ramdhan,” pamit penghulu dan kedua saksi.

Ternyata mereka datang dengan kendaraan berbeda. Kupikir tadi mereka semobil dengan Mas Ramdhan.

Setelah kepergian mereka, Mas Ramdhan menatapku canggung. Mungkin bingung harus berkata apa, atau masih tidak percaya bahwa ia baru saja menikahi sahabat istrinya. Ah, bodo amat. Aku tak peduli pikirannya. Yang penting, aku telah sah menjadi istrinya.

...

Mas Ramdhan mengikutiku ke dalam kamar. Aku berpura-pura tak menghiraukannya dan langsung masuk kamar mandi untuk berganti pakaian. Ini namanya tarik ulur—mengabaikan agar dia semakin penasaran.

Beberapa menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dengan lingerie merah membalut tubuh. Seksi dan menggoda, begitu pas di tubuh proporsionalku.

“Mas...”

Aku memanggil Mas Ramdhan yang sedang duduk di tepi ranjang, membelakangiku. Ia spontan menoleh dan tertegun beberapa saat. Matanya membulat, namun tak beralih dari tubuhku—menandakan penampilanku mengguncang dirinya. Tentu saja, Zahra tak mungkin berpakaian seperti ini.

“Oh, anu... apa itu?”

Mas Ramdhan salah tingkah. Ia berdiri, menggaruk tengkuk, lalu mempersilahkanku naik ke ranjang lebih dulu. Aku menurut tanpa banyak bicara.

“Maaf ya, acaranya jadi telat,” ucap Mas Ramdhan yang kini duduk di sampingku. Aku mengangguk singkat. Ia memandangi wajahku, mungkin heran dengan sikapku yang kali ini tak banyak bicara.

“Kamu marah?” tanyanya hati-hati.

“Mana berani aku marah sama kamu, Mas,” sahutku sambil memanyunkan bibir.

“Aku kan cuma orang kecil, sedangkan kamu...” tambahku, sengaja agar ia makin tak enak hati.

Mas Ramdhan mendekat. Tanganku diraih, lalu ia menatapku intens.

“Riska, aku nggak bermaksud menunda pernikahan kita. Tapi aku juga nggak bisa ninggalin Zahra saat keadaannya lagi nggak baik-baik aja.”

Aku tak menanggapi. Tanpa dijelaskan pun aku tahu betapa besarnya cinta Mas Ramdhan pada Zahra. Apalagi Zahra memang wanita yang baik, cantik, perhatian, dan lemah lembut.

Ckk. Jengkel rasanya. Tiba-tiba saja aku tak mau mengakui kelebihan Zahra. Mungkin karena aku sekarang sudah jadi madunya. Masa iya aku kalah dari Zahra?

“Terus sekarang gimana keadaan dia? Kenapa kamu malah ke sini? Kenapa nggak nemenin dia aja?”

Mas Ramdhan melepas tanganku. Wajahnya terlihat lesu.

“Dia udah enakan kok... Aku terpaksa izin lembur. Bagaimanapun juga, aku harus bertanggung jawab sama kamu.”

Aku diam lagi, sedikit kesal dengan suasana melankolis ini. Tidak cocok dengan gayaku yang anti galau. Tanpa menunda, aku langsung bangun dan duduk di pangkuan Mas Ramdhan.

“Ris? Mau ngapain?” tanya Mas Ramdhan kaget.

...

Suami sialan!

Padahal aku sudah memuaskannya. Memberikan yang terbaik—yang kuyakin Zahra tidak akan pernah lakukan. Mas Ramdhan pun tampak sangat menikmati permainan kami. Tapi kukira setelah selesai, dia akan bermalam di sini menemaniku. Ternyata, dia malah ngotot mau pulang ke Zahra.

Benar-benar mengesalkan, bukan? Laki-laki hanya suka keintiman, lalu pergi setelah puas. Awas saja dia.

“Riska, maaf ya. Aku takut Zahra curiga. Dan ingat, jangan sampai Zahra tahu hubungan kita,” itu kalimat yang sudah dia ulang berkali-kali. Aku mengangguk malas. Tanpa basa-basi, Mas Ramdhan pun meninggalkanku.

Ckk. Lihat saja dia. Sepertinya aku memang tak ada apa-apanya dibanding Zahra. Setahuku, setiap kali Mas Ramdhan berpisah dengan Zahra, ia akan mengecup keningnya. Tapi denganku, dia bahkan tak berusaha—meskipun sekadar pura-pura.

Ah, sudahlah. Aku harus bisa mengontrol diri. Jangan sampai energiku terkuras karena ini dan membuatku cepat tua.

“Riska, kamu cantik. Kamu anggun. Ramdhan akan tergila-gila padamu,” ucapku berulang kali pada diri sendiri.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ketika Pelakor Menggoda   Bab 17

    “Ya Allah… apa kecurigaanku benar?”Zahra terisak dalam mobil, bahunya bergetar pelan. Pikiran kacau berputar tanpa arah, menusuk dada dengan rasa sakit yang tak sanggup ia jelaskan. Padahal Ramdan belum terbukti mengkhianatinya… tapi anting itu, tatapan Ramdan tadi, alasan yang terasa dipaksakan—semuanya bercampur menjadi badai yang menghimpit.“Bu… Anda baik-baik saja?” tanya Pak Ujang, supir tua yang sudah seperti keluarga sendiri. Suaranya lembut, penuh kekhawatiran.“Nggak apa-apa kok, Pak.” Zahra menyeka air matanya cepat-cepat, mencoba memaksa senyum yang tak berhasil. Ia menarik napas dalam, menahan gemuruh di dadanya. “Aku cuma… capek.”“Kita pulang sekarang, Bu?” tanya Pak Ujang hati-hati.“Nggak, Pak. Ke Café Mentari aja. Aku mau ketemu Riska.”Suaranya parau, namun tegas.Riska adalah sahabat terdekatnya—tempatnya bercerita, tempat ia mencari pelukan saat dunia terasa berantakan. Zahra butuh Riska sekarang. Butuh seseorang yang bisa menenangkannya… atau setidaknya membuatn

  • Ketika Pelakor Menggoda   Bab 16

    Zahra masuk ke ruangan suaminya. Di sana, Ramdan sudah duduk di kursi kerjanya, tersenyum begitu melihatnya muncul di ambang pintu.“Sayang, tumben banget datang?” ucap Ramdan sambil berdiri dan menghampirinya.“Iya, lagi pengin aja ke sini. Kayaknya sudah lama aku nggak mampir ke kantor,” jawab Zahra.Ramdan mengangguk, lalu keduanya berjalan menuju sofa, duduk berdampingan.“Kok tumben nggak jemput aku di lobi? Biasanya kamu turun,” tanya Zahra dengan nada penasaran yang halus, tapi cukup membuat Ramdan menegang sepersekian detik.“Eh—itu… aku lagi nyelesain laporan. Tinggal sedikit lagi tadi. Pas mau nyusul kamu, eh kamu keburu naik,” sahut Ramdan, terdengar agak tergesa.Zahra mengangguk, mencoba menerima alasan itu. Ia membuka tas dan mengeluarkan kotak bekal.“Aku masak ini buat kamu. Buat makan siang.”“Makan siang kan masih dua jam lagi, Yang.”“Ya nggak apa-apa. Biar kamu nggak usah makan di luar.”Ramdan tersenyum kecil. “Makasih, Sayang.”“Ya sudah, kamu lanjutin kerja. Aku

  • Ketika Pelakor Menggoda   Bab 15

    Ramdan membeku saat Riska mendekat. Rok mini berpadu tank top yang dikenakannya benar-benar membuat Riska terlihat terlalu indah untuk diabaikan. Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa senti.Riska menatap intens ke dalam netra Ramdan, menguncinya dengan gaya yang jelas menggoda.“Mas, kok nggak kangen aku?” ucap Riska, suaranya rendah sebelum ia memulai mencium Ramdan lebih dulu.Ramdan tak mampu lagi berpikir apa pun. Ia terbuai oleh godaan Riska, membuatnya mengimbangi tempo ciuman yang Riska berikan.“Mmmh…”Desahan Riska membuat sisi liar Ramdan bangkit. Dengan gerakan refleks, ia membopong tubuh Riska ke sofa, menelantangkannya, lalu melanjutkan permainan panas mereka—Kringgg…Di tengah adegan yang memanas itu, ponsel Ramdan berbunyi. Keduanya yang sedang tenggelam dalam suasana intens sontak menjeda aktivitas.“Mas… lanjutin dulu…” ucap Riska terengah.“Itu telepon dari Zahra,” jawab Ramdan, kemudian melepaskan diri dari Riska.“Tapi aku hampir…” Riska menahan kata-katanya,

  • Ketika Pelakor Menggoda   Bab 14

    Hari ini Riska bangun lebih pagi dari biasanya. Ia segera bersiap dan berangkat ke kafe tempatnya bekerja.“Saya kira kamu bakal bolos lagi,” sindir Pak Romi ketika Riska tiba.“Kalau Bapak nggak suka, ya pecat saja,” jawab Riska tanpa menoleh.Pak Romi mendelik tajam. Sejak awal ia memang menyukai karakter Riska: ceria, aktif, dan menarik. Saat Riska masih rajin bekerja, pengunjung kafe tak pernah sepi. Namun belakangan, setelah Riska sering izin, pelanggan pun ikut menghilang. Pak Romi merasa rugi besar.“Kamu pikir saya nggak berani mec—” belum selesai ia bicara, Riska memotong.“Ya sudah pecat saja saya sekarang.”Nada Riska penuh muak. Ia lelah pada bosnya yang selalu mengomel seolah kehadirannya tak punya arti. Padahal setiap izin, Zahra selalu mengganti kerugian pada pihak kafe.“Baik!” bentak Pak Romi. “Mulai hari ini jangan pernah datang lagi. Kamu saya pecat!”Riska mengangguk acuh. Ia melepas celemek yang baru saja ia kenakan, lalu melemparnya ke arah bosnya.“Sekarang mana

  • Ketika Pelakor Menggoda   Bab 13

    Ramdan mengecupi Zahra tanpa henti sambil membuka pakaian yang dikenakan sang istri. Kini Zahra sudah tak mengenakan selembar pun kain. Sejenak, Ramdan terdiam, memandangi tubuh istrinya—spontan bayangan Riska terlintas di pikirannya."Ramdan, apa yang kamu pikirkan!" gerutunya dalam hati.Zahra yang kini tanpa busana segera menarik selimut, rasa malu menyergap meski di hadapan suaminya sendiri. Selama lima tahun pernikahan mereka, Zahra masih sering merasa tak percaya diri saat tubuhnya terbuka tanpa helai kain, takut kalau bentuk tubuhnya tak lagi seindah dulu."Kenapa ditutup, sayang?" tanya Ramdan sambil menyingkap selimut dan mulai menciumi setiap inci tubuh Zahra.Namun malam ini terasa berbeda. Ritme yang biasanya penuh keintiman dan sabar terasa tergesa. Bayangan Riska terus mengusik benaknya. Semalam, dia baru saja melewati sebuah adegan panas bersama wanita itu—sesuatu yang luar biasa berani, bahkan untuk dirinya."Hisap lebih kuat, Mas," suara itu terdengar jelas di telinga

  • Ketika Pelakor Menggoda   Bab 12

    Ceklek.Pintu terbuka. Seketika Ramdan tertegun, tubuhnya mematung saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Riska?”...Siang tadi, sepulang dari taman kota, Riska tiba-tiba mendapat pesan dari Ramdan. Sayangnya, bukan kabar gembira, melainkan pembatalan makan malam yang sudah direncanakan.“Dih, enak aja semaunya sendiri. Pasti Mas Ramdan mau makan malam sama Zahra,” gumam Riska kesal.Meski hanya istri kedua, Riska merasa dirinya juga berhak atas Ramdan. Apalagi, Ramdan sudah lebih dulu mengajaknya. Sekarang, setelah semua bahan makanan ia beli, Ramdan seenaknya membatalkan begitu saja.Riska menutup ponsel tanpa membalas. Ia lalu meletakkan semua bahan di kulkas, kemudian memesan taksi online.“Aku bakal bikin kejutan buat kamu, Mas,” seringainya penuh rencana....Dan di sinilah Riska sekarang, berdiri di depan pintu kediaman keluarga Ramdan.“Eh, Mas Ramdan! Zahra mana, Mas?” sapa Riska ceria.“Kamu ngapain ke sini?” bisik Ramdan tak suka.Riska tak menanggapi. Ia mendoro

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status