Setelah sarapan aku bergegas ke cafe. Tentunya dengan diantar Mas Ramdan karena arah kita sama. Dia mau pulang dan menemani Zahra ke panti asuhan katanya. Ya seperti biasa, Zahra rutin memberi santunan kepada panti asuhan yang berbeda setiap minggunya.
"Pak saya mau izin hari ini, " Ucapku pada pemilik kafe yang tengah menatap komputer. Sepertinya dia sedang memantau perkembangan kafe lewat tabel exel yang terpampang di monitor. "Ckk, kamu itu kok kerja seenaknya , sering cuti tanpa alasan, " Pria dewasa taksiran usia 35 tahun itu mencebik kesal padaku. Aku mengerucutkan bibir. Memang sih kalau menurut aturan harusnya aku sudah dipecat karena jam kerja yang seenaknya. Tapi kan setiap Zahra meliburkan ku dia memberi segepok uang pada pria ini. Hissh dasar! Coba saja kalau Zahra yang bicara pasti langsung bilang. oh-boleh Nyonya, silahkan dan bla bla bla. Menyebalkan. "Gak boleh, hari ini kamu harus kerja, lain kali saja izinnya, " Ucap Pak Romi. Aku membulatkan mata sempurna. Ternyata memang beda perlakuan terhadap konglomerat dan orang biasa yang tak punya kuasa. Tapi aku tidak mau menerima penolakan. Hari ini aku harus libur karena tadi kata Mas Ramdan akan menikahiku nanti sore, jadi aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Yah meskipun hanya sederhana tetap saja butuh persiapan. "Bapak yakin gak mau ngasih aku izin? " Tanyaku dengan gaya meremehkan dia. Pak Romi menatapku sebentar, menimbang jawaban apa yang akan dilontarkan. Aku langsung mengeluarkan ponsel berpura-pura seakan mau menelpon seseorang. "Eh eh eh, ya sudah saya izinkan, " Yess, ternyata efektif. Aku menyengir dan segera pergi dari tempat itu. Bisa kudengar suara menggerutu Pak Romi dari belakang. "Untung temannya Bu Zahra, kalau nggak udah saya pecat dulu! " ... Aku memasuki Royal Mall. Tempat belanja terbesar di Jakarta. Biasanya aku akan ke sana jika Zahra mengajakku. Tapi kali ini aku masuk sendiri. Tentunya dengan kartu hitam yang tadi Mas Ramdan berikan padaku. Kalau tanpa itu mana bisa aku belanja di sini. Beli satu aksesoris saja pasti akan menghabiskan separuh tabunganku. Di bagian baju pesta aku memilih gaun putih panjang dengan detail sederhana. Bagian leher yang terbuka dengan hiasan renda akan menampilkan aura anggun. Sementara bagian bawah melebar sehingga aku tidak akan kesulitan bergerak nantinya. "Mbak, yang ini, " Ucapku pada pramuniaga berseragam navy yang tengah mengikutiku. "Ini saja Nona? " Ahh aku merasa muda. Usiaku dan Zahra itu sama tapi mungkin aku terlihat lebih muda. Jadi kalau orang biasanya memanggil Zahra nyonya, aku selalu dipanggil Nona. "Iya itu saja, " Hmm, sebenarnya melihat deretan gaun mewah tentu saja aku ingin membelinya. Tapi itu tidak boleh kulakukan. Nanti Mas Ramdan akan mengira kalau aku akan mengincar hartanya. Baru dikasih kartu saja langsung berfoya-foya, pasti begitu pikirnya. Setelah memilih gaun aku beralih ke bagian lingerie. Malam ini harus jadi malam pertama yang berkesan untuk Mas Ramdan. "Ada yang lebik seksi nggak? " Bisikku pada pramuniaga saat disodorkan lingerie maroon dengan model kimono . Cukup lama di bagian lingerie dan akhirnya aku memutuskan mengambil dua model, satu lingerie hitam bustier dan satu lingerie robe merah. Ah waktunya cari bahan makanan untuk jamuan sederhana nanti. ... "Ahh.. Aku memang cantik, " Make up ku memang begitu pass dipadukan dengan gaun putih tadi. Tampak seperti seorang peri jika diliat dari pantulan cermin. Sekarang semuanya sudah siap, Jamuan sederhana, tampilan anggun bersahaja, dan dekorasi ruang minimalis. Semua itu tentu saja berkat tanganku yang cekatan. Meski waktunya sedikit aku bisa menangani semua sendiri. waktunya menunggu Mas Ramdan. Mungkin sebentar lagi datang. "Ih mana sih? " Waktu sudah semakin sore. Jam dinding yang tadinya menunjuk angka tiga sekarang sudah beralih beralih ke angka 4. "Ramdan sialan! " Awas saja kalau dia berani tidak datang. Baru saja sumpah serapah saling bersautan tiba tiba ponselku bunyi. Kringg.. Zahra yang menelpon. Meski malas mengangkat telponnya tetap saja kuterima. "Apa ra.. " Ucapku lesu. "Ini aku, " Ah Mas Ramdan rupanya. "Emm, Zahra sedang pingsan, " Ckk menyebalkan. Jangan bilang Mas Ramdan mau membatalkan acara ini. "Kenapa bisa pingsan,? " Sahutku acuh. Ini bukan pertama kalinya Zahra pingsan. Dia itu memang sudah begitu dari dulu. Lemah fisik. Kecapekan sedikit saja pasti sudah tidak sadarkan diri. Tapi meski begitu dia selalu memaksakan diri beraktivitas. Coba saja kalau aku yang jadi dirinya. Nyonya mudanya tuan Ramdan. Pasti aku akan menikmati waktuku sebaik mungkin. Bersantai dengan aneka cemilan dan buah segar , nonton drama sambil selonjoran di beludru empuk. Atau berendam cantik dengan air susu campur mawar. Ah membayangkannya saja sudah menyenangkan. "Tadi dia berdiri kelamaan waktu bagiin makanan, jadi...." "Jangan bilang kamu mau batalin acara! " Aku kelepas kontrol. Seharian aku capek demi untuk mengejar status 'istri simpanan'. Dan hanya karena Zahra pingsan semuanya akan batal. Jangan salahkan aku. Memangnya aku mau jadi istri simpanan . Kalau bukan karena perkataan ibunya Zahra aku juga tidak tega melakukan ini. Siapa sih yang nggak sebal kalau ditatap dengan permusuhan dan diolok-olok dibelakang. "Maaf ya Ris, tapi aku beneran gak bisa ninggalin Zahra, " Aku tak menjawab lagi. "Ris...?" Prang Hancur sudah hpku. Bisa-bisanya persiapan ku tak berarti bagi Ramdan. Harusnya dia menghargai ku. Kalau pun sekarang Zahra sedang pingsan dia bisa berjanji untuk menikahiku nanti malam bukan malah membatalkan. "Brengsekkk! " Aku histeris dengan mengacak acak meja kecil beralas kain putih itu. Meja yang harusnya jadi saksi pernikahan kini berantakan . "Ramdan, jangan harap aku melepaskanmu, "Setelah sarapan aku bergegas ke cafe. Tentunya dengan diantar Mas Ramdan karena arah kita sama. Dia mau pulang dan menemani Zahra ke panti asuhan katanya. Ya seperti biasa, Zahra rutin memberi santunan kepada panti asuhan yang berbeda setiap minggunya. "Pak saya mau izin hari ini, " Ucapku pada pemilik kafe yang tengah menatap komputer. Sepertinya dia sedang memantau perkembangan kafe lewat tabel exel yang terpampang di monitor. "Ckk, kamu itu kok kerja seenaknya , sering cuti tanpa alasan, " Pria dewasa taksiran usia 35 tahun itu mencebik kesal padaku. Aku mengerucutkan bibir. Memang sih kalau menurut aturan harusnya aku sudah dipecat karena jam kerja yang seenaknya. Tapi kan setiap Zahra meliburkan ku dia memberi segepok uang pada pria ini. Hissh dasar! Coba saja kalau Zahra yang bicara pasti langsung bilang. oh-boleh Nyonya, silahkan dan bla bla bla. Menyebalkan. "Gak boleh, hari ini kamu harus kerja, lain kali saja izinnya, " Ucap Pak Romi. Aku membulatkan mata sempurna. T
Sampailah aku di rumah, "Mas, apa nggak sebaiknya aku di rumahmu aja?" Ucapku sembari menatap Mas Ramdan."Nggak Ris, aku nggak mau bikin Zahra risih, sejak ucapan mertuaku waktu itu, Zahra selalu mewanti-wanti aku agar tak tergelincir denganmu. Kalau aku membawamu sekarang pikiran Zahra akan kacau," ucap Mas Ramdan menjalankan."Tapi kalau Zahra tau kamu tidur di sini, dia akan menuduh yang tidak-tidak," ucapku."Jangan ceritakan tentang malam ini padanya, lagi pula ... Aku sudah izin lembur, " ucap Mas Ramdan kemudian turun lebih dulu.••• Mas Ramdan merebahkan diri di sofa, dan menyuruhku agar segera masuk kamar."Jangan lupa kunci kamarnya ya Ris, takutnya ada syetan yang tiba-tiba berkelebat," ucap Mas Ramdan sembari memejamkan mata."Aku buatin minuman dulu ya mas,'" tawarku pada mas Ramdan."Nggak usah," ucap mas Ramdan dengan tangan yang menindih matanya.Sekalipun mas Ramdan menolak, aku tetap membuatkan minuman untuknya. Karena inilah inti dari rencanaku.Setelah teh hanga
"Ennggggh sakit Mas," lenguhku dengan suara sexi yang kusengaja.Sejenak Mas Ramdan tak menyahuti, dia hanya menggeleng-ngelengkan kepalanya sembari menepuk dahinya berkali-kali. Sepertinya dia sedang membayangkan yang tidak-tidak."Masss, bantuin berdiri dong," ucapku dengan suara manja.Mas Ramdan mengerjap. Bukannya beranjak, dia menatapku lebih lekat. "Mas, bantuinn! bukan liatinn!" ucapku dengan bibir mengerucut."Eh, iya," Mas Ramdan pun segera memegang pundakku dan menuntunku untuk berdiri."Aku jalan sendiri aja mas," ucapku seraya mendahului Mas Ramdan dengan langkah tertatih.Mas Ramdan pun segera menyusul, mempososikan diri di belakang kemudi.Ku tangkap Mas Ramdan yang mencuri-curi pandang padaku. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan ku selonjorkan kaki mulusku, hingga terpampanglah keindahan yang disukai kaum Adam. Kupastikan cepat atau lambat Mas Ramdan akan kudapatkan."Emmm...mau ke tukang urut dulu Ris?" tawar Mas Ramdan dengan masih melirik padaku."Nggak usah Mas, kasi
Hari kini aku memanjakan diri di beauty day spa. Bagiku spa adalah kewajiban yang harus disempatkan. Sesibuk apapun diriku, aku akan selalu punya waktu untuk mempercantik diri. Tentang semalam, aku dan Zahra telah berbaikan. Kini aku tinggal menyusun pergerakan untuk menggapai misi, yakni mendapatkan Ramdan, si pengusaha tampan yang menggoda iman. Kutuntun pikiranku ke alam hayalan. Membayangkan Ramdan yang suatu saat bisa kujadikan tempat sandaran. Pijatan pelayan membuat anganku berandai-andai jika Ramdan yang melakukan. Ahh Ramdan...Kringggg kringgggg! Buyar sudah imajinasi yang mulai meliar. Kulirik ponselku yang mengganggu otak kotorku."Hallo Ra? Ada apa?" tanyaku pada Zahra.Bisa kutangkap suara bising di seberang sana. Sayup-sayup ku dengar tangisan bocah yang menggema."Ris, aku boleh minta tolong nggak?" tanya Zahra dengan nada khawatir."Aku lagi body massage Ra, ntaran aja ya minta tolongnya," sahutku pada Zahra."Tapi ini penting Ris, aku lagi di rumah sakit!" ucap
20 menit kemudian, sampailah aku di rumah Mas Ramdan. Perhatianku mengedar pada suasana sekitar."Kok sepi Mas?? Katanya mau syukuran??" tanyaku pada Mas Ramdan."Acaranya kan masih nanti sore Ris," sahut Mas Ramdan sembari mendahului langkahku."Ayo masuk, Zahra udah nunggu kamu!" seru Mas Ramdan yang telah sampai di pintu. Ini sudah kesekian kalinya aku ke rumah Mas Ramdan. Sejak aku dan Zahra dekat 3 tahun yang lalu, aku sering diajak ke sini untuk sekedar makan-makan atau menemani Zahra yang kegabutan."aww awww!" Jeritan Zahra dari dapur sontak membuatku menghampirinya."Ngapain sih Ra?" tanyaku pada Zahra yang tengah memegang spatula dengan kerutan mendalam di wajahnya.Karena penasaran dengan apa yang ia goreng aku mendekat ke arah wajan."Jangan deket deket Ris, meletus tuh entar!" seru Zahra yang menarikku menjauh dari kompor."Goreng apa sih?" Tanyaku sambil mengintip penggorengan."Ohh ternyata cabe," ucapku menahan tawa."Mau masak apa aja nih Ra?"Aku memilah-milah bah
~POV Riska~ Aku fariska , gadis 27 tahun yang tak kunjung menikah. Sebutan perawan tua pun sudah sering kudengar dari olokan para tetangga. Ingin rasanya kugunting bibir bibir mereka yang tak punya etika. Tapi apalah daya, mulut yang berkata terlalu banyak, sedang tanganku hanya dua. Sebenarnya aku sendiri heran mengapa hingga saat ini aku tak menemukan lelaki yang mau serius denganku. Padahal aku gadis cantik yang memiliki body menarik.•••••••-Bab 1. Sebagai pelayan cafe, aku harus memastikan memberi pelayanan terbaik dan menjaga kebersihan agar pengunjung cafe merasa nyaman. Maka di sinilah aku sekarang, mengelap meja bundar yang baru saja dibuat tongkrongan."Riska??!" Sontak aku menoleh ke asal suara. Ada Zahra yang tengah berjalan ke arahku. Hijab panjangnya sesekali berkibar saat hembusan angin menerpa."Mau minum apa?" Tanyaku pada Zahra yang telah duduk di depanku."Capuccino dingin aja." Akupun mengangguk, kemudian berlalu untuk membuat pesanannya. Dia adalah Zahr