“Mbul.. Aku berangkat kuliah dulu ya..” Pamit Jessen. Pria muda itu mengulurkan punggung tangannya, “salim Mbul..” Marchellia menerimanya. Kata Maminya ia harus menurut pada semua perintah Jessen. “Bos gue sok iye banget..” Dodit disamping motornya menggeleng pelan. Takjub akan keromantisan Jessen sedangkan pemandangan berbeda terlihat di sudut yang lain. Vero, Stefany dan Jemima malah menahan mual karena mendapati anggota keluarga mereka bertingkah di luar kebiasaan. “Abang abis nonton drama Indosiar pasti ya, Pi?” tanya Jemima, bergidik. “Mbak Achell kok mau.. Kan dia sukanya drakor.”“Sumeng kali Abang kamu, Mim.” Ucap Vero. Stefany menceburkan diri dalam pembicaraan, “dia gegar otak apa ya, Pi? Semalem jatoh terus kepalanya kepentok punya Mami pas ngintipin kalian di ruang kerja.” “Ngintip?” “Iya,” kepala Stefany mengangguk. “Kita berdua shock, Pi. Princess kenapa bisa begitu ya? Tantenya aja keliatan polos banget padahal.” Jika dibandingkan dengan Marchellia, keberanian Prin
“Mami.. Achell seneng banget deh bisa pergi berdua sama Mami.” Stefany menghentikan jari-jarinya yang sedang mengetikan sumpah serapah kepada Vero. Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap Marchellia dibalik roda kemudi. Gadis cantik itu ternyata tengah mengulas senyum padanya. Terlihat sangat tulus. Suaranya yang gembira dan terdengar seperti anak remaja di usia lebih seperempat abad tak mengurangi kemurnian dalam menyampaikan isi hatinya. “Mami juga,” Stefany membalas senyum sang menantu. Marchellia– Stefany tidak akan menyangkal jika istri dari putra keduanya itu sangat baik. Dia hanya terlalu manja seperti Vero kepada ayah mertuanya. Orang tua Marchellia pasti begitu menyayangi anak bontotnya. Jika Vero hanya dimanjakan oleh Daddy-nya, Marchellia mendapatkan keseluruhan. Itu yang Stefany ketahui dari Clara. Ia tidak begitu dekat dengan Marchellia ataupun keluarga menantu keduanya. Mereka adalah keluarga-keluarga yang tidak tersentuh meski anak-anak mereka mengenal sejak kecil.
“Jess.. Jemput istri kamu di rumah orang tuanya.” Gerakan Jessen melepas tali sepatunya di ruang keluarga terhenti, “Papi darimana tau Achell disana?!” “Dia abis bikin Mami kamu masuk rumah sakit.” Ucap Vero terkesan seperti mengadu. “Mami kamu shock liat kelakuan dia sama Maminya di Mall. Nggak tau kronologi pastinya, yang pasti Mami pingsan terus dibawa Siti ke rumah sakit.” Jelas Vero. Jessen mengangguk– Anak muda itu mengerti. Dulu ia juga seperti itu ketika pertama kali bertemu, sayangnya ia tak sampai masuk ke dalam rumah sakit. “Trauma Mami pasti,” celetuk Jessen yang diiyakan oleh Vero. “Kalau nggak aku sama Achell nginep disana seminggu.. Kasihan Mami, bisa-bisa dia benci Achell nanti kalau liat wajahnya.” Stefany dan Marchellia merupakan dua wanita yang tidak bisa Jessen pilih jika seseorang menempatkannya pada situasi pelik nanti. Setelah ini Maminya mungkin akan sangat jarang mau berkumpul dengan ibu mertuanya. Perbedaan sifat yang kentara pastilah menjadi jurang pemis
Jessen merentangkan tangannya. Ia sedang menyandarkan tubuh dan kepalanya pada pinggiran kolam renang, sedang tubuhnya dibiarkan mengambang begitu saja di dalam air. Satu kata yang dapat menggambarkan diri Jessen hari ini– Menyenangkan! Jessen menyukai tempat tinggal orang tua Marchellia dan seluruh isi di dalamnya. Haruskah ia tinggal selamanya?! Bukankah istrinya juga memiliki hak untuk tetap tinggal?! Sepertinya menetap di rumah orang tua Machellia bukanlah ide yang buruk. “I’m free..” Kekeh Jessen.Jika dipikir-pikir, menikahi Marchellia merupakan keberuntungan. Istrinya cantik dan juga kaya raya– tentunya. Sebuah keselarasan yang memang harus dimiliki oleh pendamping-pendamping Husodo di zaman modern ini agar tidak dimanfaatkan wanita-wanita pengeruk harta. Marchellia Darmawan, Orang yang belum mengenalnya mungkin akan menaruh kekaguman setinggi langit. Parasnya menawan memiliki body goals setara model-model dewasa. Selain itu Marchellia juga mempunyai beberapa gelar yang me
“Mbul.. Your Papi kayaknya nggak suka aku ada disini?” Jessen menerima handuk yang baru saja Marchellia ulurkan padanya. Jangan pernah bermimpi dilayani oleh Marchellia— karena itu pasti hanyalah bunga tidur semata. Sama seperti Jessen, Marchellia terbiasa mendapatkan pelayanan dari bangun sampai menutup mata. Bedanya Jessen tak seekstrim sang istri. Ia masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, tidak seperti Marchellia yang full service.‘Ini yang bikin nggak siap kawin, jadi Bapak Rumah Tangga gue!’ Gerutu Jessen sembari memasukkan handuk basah ke tempat pakaian kotor. “Bajunya udah aku siapin di ruang ganti, Mbul. Nanti kimononya letakkin disitu ya!” Jessen menunjukan keranjang di sudut ruangan.“Iya Ecen, terima kasih.”“Sama-sama, Mbulku.” Setengah rela Jessen mengucapkannya. Masih mending Princess kemana-mana memang. Setidaknya Jeremian masih merasakan nikmatnya menjadi suami seutuhnya selain merasakan ena-ena.Ena-ena?!Otak Jessen berjalan cepat. Ia teringat perkataan Dodit ya
Hal yang pertama Jessen lihat ketika membuka matanya adalah foto sepasang anak kecil dengan usia berbeda– itu sosok dirinya dan Marchellia dua belas tahun lalu, tergantung indah pada sebuah pigura emas sebagai bingkainya. Jika memori dalam otaknya masih baik-baik saja, maka pengambilan foto tersebut terjadi tepat setelah mereka membeli dua pasang cincin di sebuah pusat perbelanjaan yang berakhir dengan kejangnya sang papi. Cerita lama, tapi Jessen masih mengingatnya dengan baik.Jessen tersenyum, mengalihkan tatapannya pada seseorang yang membuat lengannya kebas. ‘Akhirnya,’ setelah sekian purnama, mereka melakukannya juga. Meski tidak bertahan lama, tapi Jessen patut berbangga telah melepas keperjakaannya yang suci. Namanya juga baru coba-coba. Tidak keluar terlebih dahulu dari Marchellia saja sudah suatu kebanggaan tersendiri yang mestinya harus dirayakan. “Bener kata Papi, enak ternyata ena-ena.” Kikiknya geli sendiri. Jessen menarik pelan lengannya agar Marchellia tak terbangun
Jessen harus mencari cara untuk menyelamatkan wajahnya yang tampan. Mata pria muda itu terus mengedar, seolah mencari sesuatu di dalam kamar sang istri. Sementara Marchellia membersihkan diri ala kadarnya– ia harus segera bergerak cepat sebelum istrinya itu keluar dari kamar mandi. “Topeng!” Pekik Jessen ketika matanya menangkap keberadaan sebuah topeng yang tergantung di dekat Televisi besar milik istrinya. Ya– Barang itu mungkin bisa menyelamatkan dirinya ketika makan malam berlangsung. Setidaknya topeng tersebut bisa menutupi sebagian wajahnya agar ia dapat menyembunyikan rasa malu yang membakar tampang kerennya. “Marchellino Bebong! Segede apa punya dia sampai ngatain gue kecil!” Nanti Jessen akan mengintip pusaka kebanggan Marchellino. Awas saja jika tak segahar miliknya yang panjang menjulang– Jessen akan pastikan seluruh media Indonesia memposting kepunyaan Kakak Iparnya yang najisin!“Ecen..”Sebelum Marchellia melemparkan pertanyaan, Jessen telah lebih dulu menjelaskan keb
Mian meraih ponselnya yang terus berdering. Matanya mengerjap, mencoba mengumpulkan nyawa terlebih dahulu sebelum menjawab telepon manusia kurang kerjaan yang mengganggunya pada tengah malam.“Berisik banget..” Mian melirik Princess yang bergerak memunggunginya. Ia menghela napas dalam ketika membaca ID sang penelepon. Manusia satu ini, kenapa senang sekali membuat keributan. Gara-gara dirinya pelukannya dengan Princess jadi terlepas.“Angkat Buy.. Aku ngantuk, sumpah! Nggak kira-kira yang telepon!" “Iya aku angkat. Kamu lanjut tidur aja.” Mian mendaratkan kecupan pada bahu terbuka Princess sebelum beranjak menuruni ranjang. Pria muda itu membuka pintu kaca yang menjadi penghalang antara ruangan dengan balkon kecil di setiap masing-masing kamar. Menjejakkan kaki sembari merasakan angin menerpa kulit bagian atas tubuhnya yang tak terbalut apapun.“Yan!! Bukain pintu!!” Baru saja dirinya ingin menggeser tombol hijau yang tertera di layar ponsel, suara Jessen telah lebih dulu memberita