MasukAku keluar dari paviliun, menggenggam erat lengan Ye Qingyu. Kunci tembaga itu terasa dingin di telapak tangan Ye Qingyu, tetapi menghangatkan keyakinan yang baru kutemukan. Ayah tidak meninggalkanku tanpa harapan. Dia meninggalkan peta.Biksu tua itu masih menyapu, gerakannya kini tampak lebih lambat, seolah bebannya baru saja digandakan."Biksu," panggilku, suaraku kini lebih tegas, tidak lagi dipenuhi keraguan. Aku menunjukkan kunci itu padanya. "Ayahku meninggalkan ini. Kunci ini bukan untuk paviliun, ini untuk tempat lain. Tolong, jangan sembunyikan lagi. Aku harus tahu di mana Ibu dimakamkan."Biksu itu berhenti menyapu, membalikkan badannya. Ia tidak menatap kunci itu, ia menatap mataku, mata yang ia katakan mirip dengan mata Ayahku."Tuan Yu… dia selalu khawatir," ujarnya, menghela napas yang dalam dan berdebu. "Dia tahu akan ada orang yang datang mencari. Dia sudah meramalkannya. Itu sebabnya dia menyembunyikan kunci itu begitu dalam. Tapi dia tidak pernah ingin kau datang, G
Perjalanan itu terasa seperti berbulan-bulan, bukan hanya hitungan hari. Setelah memacu kuda sejak fajar, akhirnya kami tiba di Kota Suzhou.Suzhou adalah antitesis sempurna dari kekacauan berdarah yang menjadi latar belakang kisah Ayah. Kanal-kanal airnya tenang, jembatan batunya melengkung anggun di atas perairan yang gelap, dan udara dipenuhi aroma lotus dan teh hijau. Ini adalah kota kedamaian, tempat yang terlalu indah untuk menjadi lokasi rahasia terburuk dalam hidupku."Ini adalah tempat terakhir mereka hidup tenang," bisikku pada Ye Qingyu saat kami berjalan kaki, menuntun kuda kami melalui gang-gang sempit.Ye Qingyu mengangguk. "Aku tahu kenapa beliau memilih tempat ini." Ketenangan yang alami, penduduk ramah, tempat-tempat yang mudah dikenang …. Tempat yang layak untuk menikmati hidup setelah terasingkan dari dunia yang ramai. Kami mencari Kuil Nan Yang, nama yang samar-samar kudengar disebut oleh salah satu pelancong yang kami temui di jalan. Setelah bertanya beberapa ka
Kami meninggalkan Gerbang Kediaman Ye saat fajar masih merah jambu, udara pagi yang dingin mencengkeram jubah kami. Aku tahu kami telah membuat keputusan yang benar. Meninggalkan Zhaoyu memang menyakitkan,pelukan terakhirnya malam tadi terasa seperti merobek sedikit jiwaku, tetapi beban yang dibawa Yu Yan kini terasa seperti racun yang harus dikeluarkan sepenuhnya dari tubuhku agar aku bisa menjadi ibu dan istri yang utuh.Di sebelahku, Ye Qingyu berjalan tegap, memimpin kuda yang dia datangkan khusus dari perbatasan. Ia tidak pernah mengeluh. Di hadapannya, jarak lima sampai tujuh hari menuju Suzhou hanyalah angka, ia hanya melihat tujuannya, yaitu kedamaian hatiku.Hari pertama adalah tentang transisi, meninggalkan kenyamanan Kota Beizhou, menyesuaikan diri dengan pelana yang keras, dan membiarkan diri kami diselimuti oleh alam. Kami memiliki dua kuda yang kuat, tetapi kami memilih untuk bergantian berjalan kaki sesekali untuk mengistirahatkan punggung kami dan berbagi keheningan.
Keheningan malam di ruang baca terasa berat, jauh lebih dingin dari udara yang menyusup dari jendela. Surat-surat yang ditinggalkan Yu Yan terhampar, bukan lagi sebagai peninggalan, melainkan sebagai peta yang penuh lubang hitam, lubang-lubang yang menelan jawaban atas kelahiran dan pengkhianatan. Aku bersandar pada kursi kayu, melamunkan sesuatu yang tidak jelas. Aku telah menemukan banyak hal, masa kecil Ayahki yang tertekan, pengkhianatan takhta, dan kesetiaan Ibunya, Xiao Yu. Namun, detail yang paling penting, tragedi yang memicu dendam gila Ayah, sengaja dihilangkan. Atau memang sejak awal memang tidak pernah dituliskan. Bagian yang menjelaskan bagaimana aku dilahirkan? Bagaimana aku berakhir di Keluarga Zhou? Mengapa Ayah meninggalkanku? Aku tahu, Kuil di Kota Suzhou adalah lokasi terakhir yang damai sebelum kehancuran, satu-satunya tempat yang mungkin menyimpan jejak fisik yang gagal dimusnahkan oleh Ayahku. Tidak, aku lebih yakin dia memang meninggalkan sesuatu di san
Saat sedang sendirian, aku mulai membuka isi surat itu satu-persatu. Dia menceritakan banyak hal, sepertinya beberapa hal dianggap penting atau dia menganggap semua yang tertulis di sini harus disampaikan padaku. Seperti bagaimana masa kecilnya, saat ia tiba-tiba ditunjuk sebagai putra mahkota pengganti dan mempertaruhkan kesehatannya demi menjalankan tugas-tugas berat selama kehidupan masa kecilnya. Yu Yan tidak terobsesi dengan kekuasaan. Ibunya, dalam hal ini nenekku, selalu mengajarinya untuk selalu menerima apa pun yang diberikan padanya meski itu terasa tidak memuaskan. Tapi setelah mengetahui bahwa Pangeran Pertama mengidap suatu penyakit yang tidak memungkinkannya untuk mewarisi takhta di masa depan karena masa hidupnya yang singkat, Kaisar pada saat itu langsung menunjuknya sebagai putra mahkota pengganti. Dan bahkan melimpahkan tugas-tugas yang lebih banyak dari yang biasanya diterima seorang putra mahkota. Ayahku menuliskan bahwa saat itu dia merasa mungkin Kaisar hanya
Senja sudah hampir tenggelam ketika aku pulang dari kediaman Chuanyan. Angin dingin dari pegunungan menyelinap dari sela-sela pintu begitu aku melangkah masuk. Di tangan kiriku, setumpuk amplop itu terasa berat, bukan karena jumlahnya, tapi karena segala sesuatu yang mungkin menunggu di dalamnya. Entah apa yang ayah tulis …, entah rahasia apa yang dia tinggalkan.Namun belum sempat aku menyimpan napas panjang, suara tangis melengking terdengar dari dalam kamarku."Uwaaah …, waaahh …!!!"Aku dan Ye Qingyu langsung memutar tubuh. "Zhaoyu?"Suaranya makin keras. Menembus dinding-dinding kediaman seperti jeritan kecil yang menuntut dunia berputar hanya untuk dirinya.Ye Xuanqing muncul dari balik tirai ruang dalam, wajahnya lesu tapi tetap lembut seperti biasa. "Dia sudah begitu sejak tadi. Dari sebelum kau pulang. Mungkin merasa kau lama sekali …." Dia menghela napas sambil menggaruk kepala yang jelas-jelas tidak gatal. "Atau mungkin aku yang tidak pandai menenangkannya."Ye Qingyu mende







