LOGINIngatanku perihal hari itu kembali menonjol di kepalaku. Hari saat aku mengembuskan napas terakhirku …, sepersekian detik sebelum mataku tertutup, aku melihat seorang pria. Dan itu adalah ayah kandungku yang menyaksikan kematianku di kehidupan sebelumnya? Aku menutup mulutku dengan perasaan tidak percaya. Ini terlalu sulit untuk diterima …."Aku membantai mereka. Semuanya. Termasuk Zhou Ye dan istrinya. Di hadapan Kaisar. Di lapangan eksekusi itu. Kemudian, cahaya hitam menelanku lagi ….""Aku mati di tangan prajurit Kekaisaran. Dalam hatiku, aku masih tidak rela melihat kepergian putriku yang begitu tidak adil. Siapa sangka setelah identitasnya sebagai seorang putri lenyap, dia justru mengalami kemalangan yang lebih buruk dari itu." "Yang kurasakan saat itu persis seperti saat istriku mati. Rasanya menyakitkan dan aku sangat tidak rela …, aku ingin mengubahnya jika bisa …. Kematian putriku …, aku ingin mengubahnya.""Dia terbangun," kata Ye Qingyu, melanjutkan ke entri berikutnya.
Kami berdua kembali ke Paviliun, meninggalkan bayangan pohon Ginkgo yang abadi di belakang. Udara di dalam ruangan terasa pengap, seolah semua rahasia yang terperangkap selama bertahun-tahun kini dilepaskan bersama kami. Ye Qingyu meletakkan kotak kayu pipih itu di atas meja kayu tua. Cahaya lilin hanya mampu menerangi permukaan buku bersampul kulit menguning yang menjadi inti dari semua pencarian ini.Aku duduk di sampingnya, jantungku berdebar kencang, diselimuti campuran duka, harapan, dan ketakutan. Ye Qingyu, dengan tenang yang selalu menenangkanku di tengah badai, mengambil buku harian itu."Jingxi," bisiknya, suaranya pelan tetapi penuh bobot, "ini bukan buku harian biasa. Ini adalah Penanggalan Kuning (Huáng Lì), catatan harian yang hanya digunakan oleh anggota keluarga kekaisaran dan mencatat tanggal-tanggal penting dengan sistem kalender kuno. Dan tulisan ini …, ini memang milik Ayahmu."Aku mengangguk, membiarkan Ye Qingyu membalik halaman-halaman yang rapuh. Dia berhenti
Aku keluar dari paviliun, menggenggam erat lengan Ye Qingyu. Kunci tembaga itu terasa dingin di telapak tangan Ye Qingyu, tetapi menghangatkan keyakinan yang baru kutemukan. Ayah tidak meninggalkanku tanpa harapan. Dia meninggalkan peta.Biksu tua itu masih menyapu, gerakannya kini tampak lebih lambat, seolah bebannya baru saja digandakan."Biksu," panggilku, suaraku kini lebih tegas, tidak lagi dipenuhi keraguan. Aku menunjukkan kunci itu padanya. "Ayahku meninggalkan ini. Kunci ini bukan untuk paviliun, ini untuk tempat lain. Tolong, jangan sembunyikan lagi. Aku harus tahu di mana Ibu dimakamkan."Biksu itu berhenti menyapu, membalikkan badannya. Ia tidak menatap kunci itu, ia menatap mataku, mata yang ia katakan mirip dengan mata Ayahku."Tuan Yu… dia selalu khawatir," ujarnya, menghela napas yang dalam dan berdebu. "Dia tahu akan ada orang yang datang mencari. Dia sudah meramalkannya. Itu sebabnya dia menyembunyikan kunci itu begitu dalam. Tapi dia tidak pernah ingin kau datang, G
Perjalanan itu terasa seperti berbulan-bulan, bukan hanya hitungan hari. Setelah memacu kuda sejak fajar, akhirnya kami tiba di Kota Suzhou.Suzhou adalah antitesis sempurna dari kekacauan berdarah yang menjadi latar belakang kisah Ayah. Kanal-kanal airnya tenang, jembatan batunya melengkung anggun di atas perairan yang gelap, dan udara dipenuhi aroma lotus dan teh hijau. Ini adalah kota kedamaian, tempat yang terlalu indah untuk menjadi lokasi rahasia terburuk dalam hidupku."Ini adalah tempat terakhir mereka hidup tenang," bisikku pada Ye Qingyu saat kami berjalan kaki, menuntun kuda kami melalui gang-gang sempit.Ye Qingyu mengangguk. "Aku tahu kenapa beliau memilih tempat ini." Ketenangan yang alami, penduduk ramah, tempat-tempat yang mudah dikenang …. Tempat yang layak untuk menikmati hidup setelah terasingkan dari dunia yang ramai. Kami mencari Kuil Nan Yang, nama yang samar-samar kudengar disebut oleh salah satu pelancong yang kami temui di jalan. Setelah bertanya beberapa ka
Kami meninggalkan Gerbang Kediaman Ye saat fajar masih merah jambu, udara pagi yang dingin mencengkeram jubah kami. Aku tahu kami telah membuat keputusan yang benar. Meninggalkan Zhaoyu memang menyakitkan,pelukan terakhirnya malam tadi terasa seperti merobek sedikit jiwaku, tetapi beban yang dibawa Yu Yan kini terasa seperti racun yang harus dikeluarkan sepenuhnya dari tubuhku agar aku bisa menjadi ibu dan istri yang utuh.Di sebelahku, Ye Qingyu berjalan tegap, memimpin kuda yang dia datangkan khusus dari perbatasan. Ia tidak pernah mengeluh. Di hadapannya, jarak lima sampai tujuh hari menuju Suzhou hanyalah angka, ia hanya melihat tujuannya, yaitu kedamaian hatiku.Hari pertama adalah tentang transisi, meninggalkan kenyamanan Kota Beizhou, menyesuaikan diri dengan pelana yang keras, dan membiarkan diri kami diselimuti oleh alam. Kami memiliki dua kuda yang kuat, tetapi kami memilih untuk bergantian berjalan kaki sesekali untuk mengistirahatkan punggung kami dan berbagi keheningan.
Keheningan malam di ruang baca terasa berat, jauh lebih dingin dari udara yang menyusup dari jendela. Surat-surat yang ditinggalkan Yu Yan terhampar, bukan lagi sebagai peninggalan, melainkan sebagai peta yang penuh lubang hitam, lubang-lubang yang menelan jawaban atas kelahiran dan pengkhianatan. Aku bersandar pada kursi kayu, melamunkan sesuatu yang tidak jelas. Aku telah menemukan banyak hal, masa kecil Ayahki yang tertekan, pengkhianatan takhta, dan kesetiaan Ibunya, Xiao Yu. Namun, detail yang paling penting, tragedi yang memicu dendam gila Ayah, sengaja dihilangkan. Atau memang sejak awal memang tidak pernah dituliskan. Bagian yang menjelaskan bagaimana aku dilahirkan? Bagaimana aku berakhir di Keluarga Zhou? Mengapa Ayah meninggalkanku? Aku tahu, Kuil di Kota Suzhou adalah lokasi terakhir yang damai sebelum kehancuran, satu-satunya tempat yang mungkin menyimpan jejak fisik yang gagal dimusnahkan oleh Ayahku. Tidak, aku lebih yakin dia memang meninggalkan sesuatu di san







