Saat kubuka mata, langit masih remang dan udara dingin terasa menusuk kulit. Ye Qingyu tidak ada.Aku mengerjap pelan, lalu duduk dan menyibak selimut. Masih hangat bekas tubuhnya. Tapi ranjang ini terasa dua kali lebih dingin tanpa dirinya.Chunhua berdiri di dekat meja rias, tengah merapikan kamar. Begitu melihatku bangun, dia segera berdiri tegak, lalu membungkuk memberi salam. "Selamat pagi, Nyonya Muda. Apakah tidur Anda nyenyak?"Aku mengangguk. "Selamat pagi." Mataku menoleh ke samping tempat tidurku. "Ke mana dia pergi?" tanyaku, masih separuh sadar."Pagi-pagi sekali, sebelum ayam berkokok," jawab Chunhua, menunduk sopan, "Tuan Muda Ketiga Ye menerima pesan darurat dari barak pasukan Barat. Ia berangkat tanpa sempat membangunkan Nyonya Muda."Aku terdiam sejenak. "Ah …, begitu ….""Beliau meninggalkan surat untuk Nyonya Muda." Chunhua menyerahkan secarik kertas yang dilipat rapi, lalu mundur ke belakang.Kuraih surat itu. Tulisannya tegas dan rapi, khas Ye Qingyu. Tapi aku
Aku duduk sendirian di paviliun kecil di ujung taman belakang. Musim dingin memang belum sepenuhnya pergi, tapi angin sore hari ini tidak terlalu menusuk.Aku menarik lutut ke atas bangku, membiarkan ujung mantel menyentuh lantai batu yang lembap. Tangan ini dingin, tapi tidak seekstrem isi kepalaku.Bau tanah beku dan embun dedaunan samar menyelip di antara aroma teh dingin yang masih tersisa di meja batu. Aku bahkan tidak ingat siapa yang meletakkan teko itu tadi pagi.Yang kuingat hanyalah Ying Qi. Dan berita yang ia bawa.Seratus tahil perak. Diberikan Ayah untuk Zhou Chenxi. Lalu langsung hilang di Gedung Liangpu.Gedung sialan itu ….Tanganku mengepal tanpa sadar. Retak-retak kulit di buku jari terasa ngilu. Aku menarik napas dalam, mencoba mengurainya.Ying Qi sudah menyelinap ke berbagai sisi kediaman Adipati Agung. Ia bilang, Ayah sering pulang larut malam, tapi tidak pernah membawa serta pelayan atau penjaga. Ia masuk dari gerbang samping yang terhubung ke gudang tua di bara
Langit Beizhou sudah gelap total saat kami tiba kembali di rumah. Salju tipis turun pelan seperti remah-remah kapas. Angin malamnya menggigit, tapi aku terlalu nyaman bersandar di pundak Ye Qingyu untuk benar-benar peduli.Kupikir aku hanya ingin memejamkan mata sejenak di kereta. Tapi tahu-tahu, aku sudah berada dalam pelukannya."Kau tertidur begitu pulas," bisiknya saat membuka pintu dan melangkah masuk ke kamarku. Aku masih dalam pelukannya, separuh sadar, tapi malas membuka mata.Hangat. Wangi tubuhnya bercampur dengan dingin malam, membuatku ingin terus seperti ini. Aku mendengar suara sepatuku dilepas, jubahku dirapikan, lalu suara api yang dinyalakan di perapian.Aku menggumam tak jelas, setengah sadar. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh pergelangan kakiku, melepas sepatu dan kaus kaki satu per satu dengan sangat hati-hati. Seolah takut membangunkanku sepenuhnya.Dan wangi lembut menyeruak. Dupa bunga prem yang biasa kubakar saat ingin tidur lebih nyenyak."Kau lelah se
Udara pagi dingin, tapi tidak menggigit. Salju sudah lama reda dan mulai mencair sedikit-sedikit. Jalanan becek, tapi langit bersih.Seperti yang kami rencanakan semalam, aku meminta Ye Qingyu membawaku berkencan ke tempat indah untuk menikmati pemandangan. Ada banyak taman bagus di Beizhou yang belum pernah kudatangi. Aku bahkan sampai berpesan khusus padanya bahwa tempat yang ingin kudatangi harus sepi dan indah. Ye Qingyu tidak banyak protes. Dia hanya mengangguk dan menyuruh pelayan mempersiapkan kereta lebih awal dari biasanya. Wajahnya sedikit lelah, tapi tak ada keluhan. Pagi-pagi buta, dia bahkan membawakan sendiri selimut tambahan dan segelas teh ginseng untukku sebelum keberangkatan.Aku duduk di dalam kereta bersama Ye Qingyu. Ini bukan pertama kalinya kami berada di dalam satu gerbong kereta yang sama, tapi kali ini, tentu saja dengan situasi dan perasaan yang sudah berbeda."Ke mana kita?" tanyaku sambil menyandarkan kepala di dinding kayu kereta."Kau akan tahu saat ki
Setelah Ying Qi pergi lewat jalur belakang, angin dingin menyusup dari celah pintu yang masih setengah terbuka. Aku bangkit berdiri, tapi langkahku tertahan ketika suara langkah berat terdengar dari koridor luar.Tak lama, sosok tinggi dengan mantel panjang dan bau logam samar masuk ke ruangan.Aku tersenyum, melangkah mendekatinya dengan sedikit tergesa. "Ye Qingyu, selamat datang kembali." "Jingxi."Nada suaranya rendah, sedikit parau karena hawa dingin. Tangannya yang bersarung belum sempat melepaskan salju yang menempel, tapi tanpa ragu dia memelukku. Bukan pelukan tergesa, bukan juga pelukan penuh nafsu. Hangat. Diam. Jantungku, untuk beberapa detik, benar-benar lupa harus berdetak."Aku merindukanmu," gumamnya di dekat telingaku. "Hari ini terasa terlalu panjang."Aku menarik napas pelan di dadanya. "Kau terlambat.""Benarkah?" Ye Qingyu menatap wajahku lebih baik sambil menyentuh daguku dengan lembut. Senyumnya mengembang. "Padahal aku sudah buru-buru pulang."Xin Jian berdir
Chunhua mengantarkan mantel bulu ke halaman belakang tempat aku akan menunggu Ying Qi. Dia bahkan memakaikannya. Aku tersenyum. "Terima kasih, Chunhua. Apakah kau membantu Bibi Chun dengan baik?" Chunhua mengangguk. "Hari ini, tidak banyak pekerjaan yang beliau lakukan. Tadi pagi Nona Lihua pulang dari perbatasan untuk mengambil beberapa keperluan Nyonya Besar yang tertinggal. Beliau sekalian menitipkan surat dari Nyonya Besar untuk Anda." "Di mana suratnya?""Saya meletakkannya di bawah bantal di kamar Anda, Nyonya Muda," Chunhua menjawab. "Baiklah, saat hendak tidur nanti, ingatkan aku untuk membacanya." "Baik." "Sekarang, bisakah kau seduhkan teh kulit delima merah lagi untukku?" aku tersenyum hangat. Chunhua sedikit bingung, tapi mengangguk patuh tak lama kemudian. Xin Jian menatapku. "Sebenarnya untuk apa ramuan kulit delima merah itu?" dan dia mencurigai itu. Aku terkekeh pelan. "Sudah kubilang itu teh, kan?" "Jangan bohong. Kulit delima bukan bahan yang normal untuk d