Share

Bab 156 : Sehari Sebelumnya

Author: Xiao Chuhe
last update Last Updated: 2025-08-17 22:35:32

Sehari sebelum undangan itu tiba.

"Ying Qi."

Ia menoleh, tubuhnya berhenti seketika. "Ya, Majikan?"

Aku menyipitkan mata. "Apakah kau bisa menari?"

Tatapannya berubah seolah sedang menebak maksud pertanyaanku. Namun, tanpa ragu ia menunduk tipis. "Saya bisa melakukan apa saja. Karena saya dilatih untuk menjadi mata-mata, saya harus mampu menyusup dalam bentuk apa pun. Termasuk penari."

Aku mengetuk permukaan meja dengan jari telunjukku, berpura-pura berpikir. "Bagus. Kalau begitu …, apakah kau bisa menyembunyikan wajah aslimu?"

Ying Qi tersenyum samar, nyaris mengejek. "Bisa. Ada topeng kulit yang bisa saya pakai untuk menyamar. Bahkan majikan pun tidak akan mengenaliku. Orang lain pun tidak." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara rendah, "Apakah Majikan ingin mempertimbangkan membawa saya dalam perjamuan nanti?”

Aku menatapnya dalam, lalu menggeleng perlahan. "Tidak perlu. Meski wajahmu bisa disembunyikan, Chuanyan tahu bahwa pelayanku adalah Chunhua. Kalau aku mengganti
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 173 : Duka Kemenangan

    "MENAAAANG!!!" Sorak sorai itu meledak di udara malam seperti guntur yang pecah. Dari puncak benteng hingga ke gerbang, suara ribuan pasukan yang bersorak bersatu menjadi gelombang yang mengguncang tanah. Aku berdiri tegak, tersenyum senang, air mata mengalir tanpa perlu kutahan lagi. Akhirnya. Setelah perjuangan selama berminggu-minggu, kemenangan berhasil kami rengkuh melakui tebasan Ayah Mertua di leher Jenderal Besar terakhir Kekaisaran Han. "Kita menang!" "Hidup Jenderal Besar!" "Hidup keluarga Ye!" Aku berlari ke gerbang untuk menyambut kepulangan para prajurit itu, jantungku ikut berdegup mengikuti teriakan itu. Api obor berkibar di kedua sisi jalan, memantulkan cahaya merah di wajah para prajurit yang kembali. Wajah penuh jelaga, pakaian compang-camping, darah menodai tubuh mereka. Tapi sorot mata mereka menyala, bangga, seakan semua luka dan lelah lenyap oleh satu kata, kemenangan. Aku melihat mereka berjalan masuk, barisan demi barisan, berbaris rapi mesk

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 172 : Kemenangan?

    Aku duduk di sisi ranjang, kain basah di tanganku menempel lembut pada dahi Ye Qingyu. Matanya meremang, tapi masih berusaha terbuka setiap kali aku mengusap peluh di pelipisnya."Suamiku, kau harus minum obat." Aku mengangkat mangkuk kecil berisi ramuan hangat, menyentuhkan bibirnya perlahan dengan tepi mangkuk. Cairan itu pahit, aku tahu, tapi aku menahan tangannya supaya tidak menepis. "Kalau kau menolak, luka di dadamu tidak akan mengering."Dia menatapku samar, dan tersenyum—senyumnya yang menyebalkan itu sudah kembali. "Ah, melihatmu di sini saja sudah cukup membuatku merasa sembuh." Aku menatapnya dengan mata memicing. "Merasa sembuh dan sembuh sungguhan itu berbeda, Ye Qingyu. Kau harus meminumnya agar sembuh sungguhan."Dia terbatuk, tubuhnya berguncang. Aku segera menahan bahunya, menunduk begitu dekat hingga keningku hampir menyentuh wajahnya. Bau obat, bau besi, dan aroma tubuhnya yang masih asing bercampur jadi satu. "Kau lihat, merasa sembuh saja tidak cukup. Kau harus

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 171 : Tempat Perempuan

    Udara di dalam tenda begitu pengap. Aroma herbal bercampur darah kering menusuk hidungku, membuat napas serasa berat. Aku masih menggenggam tangan Qingyu erat-erat, merasakan jemarinya yang dingin bergetar samar."Xi'er …," suara itu lirih, serak, hampir hilang ditelan dentuman jauh di luar perkemahan. Matanya terbuka hanya setipis celah, tapi cukup untuk menusuk dadaku dengan tatapan yang rapuh. "Xi'er, kenapa …, kau ada di sini?"Aku menunduk, air mataku jatuh satu-persatu ke perban yang melilit dadanya. "Aku tidak mungkin duduk diam di kediaman, YeQingyu. Aku istrimu. Tempatku ada di sini, bahkan jika dunia di luar runtuh sekalipun."Dia tersenyum tipis, tapi segera terbatuk. Darah merembes di sudut bibirnya. Tabib yang berdiri di dekat ranjang segera maju, melotot padaku."Nyonya Muda, saya menyarankan untuk tidak membiarkan Tuan Muda banyak bicara. Luka di dadanya terlalu dalam. Paru-parunya tertusuk. Setiap kata bisa memperburuk pendarahan."Aku tersentak. Tanganku refleks menut

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 170 : Bertemu Ye Qingyu

    Kereta kuda itu melaju kencang meninggalkan kediaman Ye. Angin malam memukul wajahku, menusuk kulit, tapi sama sekali tidak mampu membekukan pikiranku yang mendidih. Chunhua duduk di hadapanku dengan wajah tegang, kedua tangannya menggenggam erat sisi kursi seolah takut aku sewaktu-waktu meloncat keluar."Nyonya Muda, perjalanan ini sangat berbahaya. Yangzhou sedang kacau. Bagaimana kalau kita tetap menunggu di kediaman saja? Saya yakin Tuan Muda Ketiga dan Nyonya Besar tidak akan suka melihat Anda berada di sana, Nyonya Muda," suaranya penuh kekhawatiran.Aku memejamkan mata, menahan sesak yang terus menghantam dadaku. "Kalau aku hanya duduk diam berpangku tangan di kediaman, aku hanya akan hidup dalam penyesalan karena tidak melakukan hal yang kumampu dalam hal ini.. Aku tidak bisa berdiam diri, Chunhua.""Tapi—""Tidak ada tapi!" aku menajamkan suara, membuka mata dan menatap lurus ke arahnya. "Aku adalah istri Jenderal Ketiga Ye. Jika aku gentar hanya untuk menempuh perjalanan ke

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 169 : Kabar Buruk

    "Selamat malam, Nyonya Muda Ye." "Yu Yan?!" aku mengepalkan tangan untuk menutupi perasaan panikku. Kenapa orang yang selama ini selalu bersembunyi dan menghindariku ini …, tiba-tiba muncul di hadapanku dan menyapa dengan santainya? "Oh? Anda sudah tahu nama saya, ya?" pria itu berkata seolah ia terkejut. Tampak sekali dia sedang meremehkanku. Dia sedang meremehkan seorang wanita yang sama sekali tidak pernah menemukan jejaknya meski mencari ke seluruh Beizhou sekali pun. Dia meremehkanku sampai merasa kasihan padaku sehingga memutuskan untuk menunjukkan diri di hadapanku. Aku tersenyum tipis dan memberi salam layaknya seorang wanita penuh etika. "Tentu saja saya ingat nama Anda. Anda adalah musisi berbakat dari Gedung Meihua yang disewa adik saya, Chuanyan. Jadi, ini adalah pertemuan kita yang kedua kali." Aku menjawab dengan penuh percaya diri. "Hahaha." Dia tertawa renyah sambil mendongakkan kepala. "Anda memang seorang Nyonya Muda yang berbakat. Bahkan memiliki ingatan yang

  • Ketika Sang Adipati Berlutut di Bawah Kakiku   Bab 168 : Bertemu Yu Yan

    Aku tetap duduk tegak di kursiku, tidak bergerak sedikit pun. Ruangan restoran Maoxian kini begitu sunyi, seakan udara sendiri enggan bernapas. Dari luar, riuh jalanan sudah mereda, orang-orang mulai kembali ke rumah masing-masing. Lampion-lampion berayun ditiup angin malam, membuat bayangan temaram menari di dinding.Di hadapanku, Adipati Agung Zhou masih menimbang-nimbang. Rahangnya mengeras, matanya berkilat tajam, namun ada kegamangan yang tak bisa ia sembunyikan. Aku tahu pikirannya masih sibuk mencari celah, menimbang apa yang bisa ia gunakan untuk menekanku balik.Meski saat ini dia mulai terpojok, aku tidak boleh merasa menang terlalu awal. Ayah adalah pejabat yang cerdas dan licik, perangai ini sudah kupahami sejak kecil. Bahkan saat mata itu menatap pun, selalu terlihat penuh perhitungan dan kehati-hatian yang tinggi. Aku bersandar tipis, menyandarkan siku di meja. "Yang Mulia," ucapku datar, suara rendah yang menusuk. "Saya tidak bisa menunggu lebih lama. Waktu tidak ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status