Bab 84Kemana Seruni?Kepalaku rasanya pecah memikirkan ini. Tanpa sadar melangkah sampai di depan pintu ruang kerja Seruni. Aku mendorong pintu itu pelan dan begitu terkejut saat mendapati ruangan ini kosong."Kemana Seruni?"Aku membawa kakiku melangkah menuju meja kerja gadis itu. Namun suasana begitu lengang. Terlihat sekali ruangan ini sudah lama tidak dihuni. Meja kerja dan kursi malah sedikit berdebu. Hatcih....!Tak tahan dengan debu, aku pun akhirnya bersin dan itu membuat Keisha yang berada di gendonganku kaget dan menangis. Aku buru-buru keluar dari ruangan itu, kemudian kembali menutup pintunya. Batinku masih bertanya-tanya tentang kejanggalan ini. Hebatnya, untuk masalah sebesar ini, mas Ibra tidak pernah bercerita apapun. Aku terus menyusuri lorong, turun tangga menuju lantai dasar dan akhirnya sampai di lobby.Tidak ada jalan lain. Aku harus menemui suamiku di Almeera Hotel.Mbak Ranti langsung mengambil alih Keisha dan aku pun pindah duduk di depan, lalu meminta mas
Bab 85Naluri Seorang Istri "Tapi kalau memang Seruni keluar dari Almeera Travel, seharusnya kamu bilang sama aku, biar aku bisa segera mencari penggantinya. Ini nggak. Kamu malah mengangkat Tria. Kamu kenal dia dari mana? Apa sebelumnya kamu mengadakan open rekrutmen untuk posisi CEO?" cecarku lagi."Cie... naga-naganya ada yang cemburu nih." Mas Ibra mencubit hidungku."Jangan bercanda, Mas! Aku serius!" Aku menepis paksa tangan pria itu. Entah kenapa aku merasa sentuhan mas Ibra hari ini terasa tak tulus. Padahal dulu, bukannya ia yang mengejar-ngejarku, bahkan setengah memaksa untuk menikahiku? Mas Ibra pula yang begitu keras kepala meminta agar aku tetap bertahan. Lalu akhirnya dia mengumumkan pernikahan kami, padahal seharusnya waktu itu dia harus bertunangan dengan Fahda.Aku benar-benar tidak nyaman dengan sikapnya. Kenapa dia sampai menyembunyikan sesuatu yang besar dariku?Dianggap apa aku? Padahal dulu akulah yang menangani perusahaan ini dari nol."Aku ini sangat profesio
Bab 86Kedatangan Tamu Tak Terduga"Ustadz Zaki, Bibi Marwiah," gumamku lirih. Dengan cepat aku segera berbalik."Buka pintunya, Mbak. Aku akan ke kamar dulu buat ambil jilbab," titahku seraya terus melangkah menuju kamar.Aku segera memasang jilbab instan andalanku, kemudian segera keluar dari kamar terus ke dapur. Aku mengambil cangkir sekaligus tatakannya."Mau bikin minum, Bu?" tegur wanita paruh baya itu. Dia baru saja keluar dari kamar mandi dengan sebuah baskom besar di tangannya."Iya Bik, kebetulan ada tamu di depan. Tadi Mbak Ranti aku suruh bukakan pintu lebih dulu," sahutku sembari mengambil wadah berisi gula dan teh."Biar saya saja, Bu." Bik Jum meletakkan baskom di lantai dekat kamar mandi, lalu segera berjalan menghampiriku."Bibi kan repot mau menjemur cucian. Biar saya aja. Cuma bikin minum ini," tolakku halus."Nggak apa-apa, Bu. Ini memang sudah tugas saya. Sudah, sebaiknya Ibu ke depan saja. Nanti minumannya saya antar," ujar asisten rumah tanggaku ini sembari me
Bab 87Ziarah"Kapan sampai kemari, Paman?" tanya Mas Ibra berbasa-basi. Pria itu melepaskan jas dan memberikannya kepadaku. Dia pun melonggarkan dasinya, lalu duduk menghadap ustadz Zaki dan istrinya."Sekitar dua jam yang lalu," sahut ustadz Zaki seraya menatap sang keponakan.Aku tersenyum kecut. Lantaran tidak tahan dengan omongan bibi Marwiah, aku terpaksa menghubungi Mas Ibra, memaksanya untuk pulang ke apartemen. Aku tidak peduli meskipun katanya dia sedang banyak pekerjaan. Lagi pula, kedatangan ustadz Zaki dan istrinya sangat mendadak. Aku tidak memiliki persiapan sama sekali, termasuk stok makanan di kulkas."Paman minta maaf karena kedatangan Paman sangat mendadak, tetapi Paman sudah tidak dapat lagi menahan keinginan untuk kemari. Ada yang ingin Paman bicarakan....""Nggak usah berbelit-belit, Abah. Bilang saja kalau kamu ingin menziarahi makam istri keduamu itu dan juga anaknya," tukas bibi Marwiah. Perempuan tua itu terlihat sangat gusar.Namun hanya senyum yang terluki
Bab 88"Tuan Putri!" seru bibi Marwiah dengan nada yang tak kalah antusias. Entah apa yang ada di pikiran perempuan tua itu. Aku tidak tahu. Sekedar yang aku ketahui, nama putri Fahda memang cukup populer di kalangan keluarga Al-Istiqomah, keluarga besar mendiang kiai haji Abdurrahman, karena pernah digadang-gadang sebagai calon tunangan putra kebanggaan mereka.Perempuan tua itu menyodorkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk, bersikap merendahkan diri. Namun alih-alih menyambut uluran tangan bibi Marwiah, Fahda malah meraih tangan mas Ibra, menariknya untuk berdiri di sampingnya.Apa-apaan ini?"Kalian," tunjuk bibi Marwiah. Matanya terlihat menatap mas Ibra dan Fahda bergantian. Jelas dia kebingungan."Apakah kalian sudah menikah? Kenapa tidak memberi kabar pada keluarga? Bahkan...." Bibi Marwiah menunjuk perut buncit gadis itu. "Bibi, ini tidak seperti yang Bibi pikirkan. Mas Ibra dan Fahda...." Namun ucapanku tak bisa diteruskan lantaran tangan bibi Marwiah malah membekap mul
Bab 89Lelah BersandiwaraAku mengangguk-angguk, lalu menggulir layar dan membalas pesan dari orang-orang kepercayaanku.[Tetap awasi dan beri aku bukti yang banyak. Nanti bayaran untuk kalian aku lipat gandakan]Hanya itu pesanku dan aku segera mematikan ponsel.Harus ada bukti yang kuat atas keterlibatan Tria dalam rencana menghancurkan Almeera Travel. Fakta mengenai Tria dan pak Andri yang ternyata kakak beradik belum bisa menjadi bukti yang kuat, karena bagaimanapun mereka adalah orang yang berbeda. Kepala boleh sama, tapi pemikiran tentu berbeda. Hal itu nanti yang bisa menjadi alibi untuk mementahkan semua bukti keterlibatan Tria. Aku harus mendapatkan bukti yang lebih daripada itu sebelum menyeret wanita itu keluar dari ruangan CEO.Kurebahkan tubuh ini di pembaringan. Lelah sekali sebenarnya, tapi aku harus kuat. Hari sudah petang dan sebentar lagi magrib, tapi aku ingin sekali meregangkan seluruh persendianku agar kembali siap untuk beraktivitas.Namun acara istirahatku akhir
Bab 90Rezeki Suami Itu Rezeki Istri "Mama bukannya cari ribut, Abah. Mama hanya ingin Kayla itu tahu posisinya. Dia harus sadar siapa dirinya. Dia itu nggak sebanding sama Ibra. Dia hanya beruntung dipilih oleh keponakan kita untuk dijadikan istri. Apa Mama salah?!" sengit bibi Marwiah."Ma, ingatlah. Rezeki suami itu adalah rezeki istri juga. Kalau suaminya tinggal di apartemen mewah, ya istrinya pun harus begitu. Masa iya suaminya tinggal di apartemen mewah, istrinya malah tinggal di rumah kontrakan? Nggak adil itu!" tukas ustadz Zaki berusaha menyadarkan istrinya. Aku melihat pemandangan itu dengan hati miris. Mau sampai kapan bibi Marwiah tidak menyukaiku, lalu merendahkanku, menghinaku? Namun aku merasa beruntung karena sejauh ini bibi Marwiah tidak pernah menggangguku secara fisik. Kalau soal omongan, ya udah. Tinggal tutup telinga, selesai.Atau mungkin karena dia tidak tinggal dekat dengan kami ya, sehingga sulit baginya untuk mengganggu hubungan kami?Aku melangkah menuju
Bab 91Selesaikan Urusan Kalian Tepat pukul 08.00 pagi akhirnya ustadz Zaki dan istrinya pamit. Kami mengantar sepasang suami istri itu ke bandara, karena kebetulan sekalian akan menjemput ummi Saudah yang rencananya pagi ini pun akan datang. Sebenarnya aku enggan ikut, tetapi mas Ibra yang memaksa. Pria itu mengatakan bahwa aku harus tetap di sisinya untuk menunjukkan kepada ummi Saudah jika kami adalah pasangan yang harmonis. Bagaimanapun, seorang ibu pasti akan memihak kepada putrinya walau salah sekalipun. Sebab bisa jadi nanti Fahda akan bercerita macam-macam, apalagi sebelumnya Fahda menimpakan semua yang telah terjadi padanya itu akibat dari pernikahan kami.Sampai detik ini, Fahda tetap menganggapku sebagai perebut calon suaminya dan mas Ibra dianggap harus ikut bertanggung jawab, meskipun tentang apa yang sudah terjadi kepada gadis itu, tidak ada sangkut pautnya dengan mas Ibra.Pemikiran yang aneh, benar-benar aneh. Katanya putri bangsawan, tapi perilakunya sama sekali ta