Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.
Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi. “Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku. “Boleh kucium keningmu sekali Sa ....” “Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!” “Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.” “Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.” “Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.” “Terserah, hiduplah semau Anda!” Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat tBaru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend
“Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den
“Dik, memangnya enggak bisa kalau rumah sehari saja enggak berantakan?” Rasanya kepalaku ingin pecah setiap kali pulang ke rumah. Selalu saja disuguhkan pemandangan seisi rumah yang porak-poranda seperti diterjang angin puting beliung. Mainan gelas plastik semuanya tercecer di lantai. Darahku rasanya ikut naik ke kepala. Lagi-lagi harus menahan emosi mati-matian agar tidak sampai meledak. Mengingat anak-anak yang pasti akan ikut menangis kalau sampai itu terjadi. Bukannya menyelesaikan masalah judtru kepalaku bertambah pening. Mendengar tangisan mereka yang tidak pernah usai hingga larut malam.“Maaf Bang, nanti adik bereskan. Mau makan sekarang?” tawar Nisa, istriku.“Maulah pakai tanya!” sungutku kesal. Hari ini rasanya kesabaranku telah habis melihat penampilannya yang acak-acakan ditambah bau pesing yang menyeruak masuk ke indra penciuman, membuatku tidak lagi bisa menahan emosi yang terlanjur naik.“Astaghfirrul
“Jangan begitu, Bos! Ingat Nisa baru saja melahirkan. Wajarlah menurut gue. Apalagi si kembar masih kecil-kecil.” Nada bicara Haris terdengar lebih serius.“Di rumah sudah disediakan asisten rumah tangga masa iya masih kewalahan?”“Biarkan saja, pasti maulah dimadu secara Nisa kan salihah.” Fredi kali ini memainkan alisnya seolah meminta pembenaran atas pendapatnya. Nisa memang istri yang sempurna. Namun benarkah dia mau jika dipoligami?“Enggak usah ikut-ikutan si Fredi Bos, kasihan Nisa,” ucap Haris sembari menepuk pelan pundakku.“Bukan itu saja masalahnya Ris, selera Nisa itu kuno banget anak-anak saja sampai ikutan ketinggalan jaman.”“Lu itu cuma bosan. Ajak istri jalan-jalan bukan malah cari yang baru,” ucap Haris yang malah menasihatiku.“Ah enggak asyik lu, Ris.” Fredi pun langsung berlalu dari hadapan kami.Hari semakin larut anak-anak masih be
“Enggak usah panggil Adik lagi Bang! Sekarang bagimu aku cuma orang asing ‘kan? Yang pendapatnya tidak perlu dihiraukan lagi.”Tiba-tiba kilatan cahaya sejenak menerangi seisi ruangan, lalu tidak lama suara petir menggelegar tepat di saat Nisa selesai bicara. Aku sedikit tersentak, sedangkan Nisa tak bergeming sedikit pun. Untuk menenangkan diri dari keterkejutan. Kuhembuskan nafas perlahan berkali-kali sembari memberi jeda untuk kami mendinginkan hati dan kepala yang mulai tersulut emosi. “Apa lagi? Pergi! Cari kebahagiaan Abang sendiri. Untuk apa lagi di sini, bukankah sudah seperti neraka bagimu?” "Dik, kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Kuraih lagi tangannya yang sudah terlepas dari genggaman memaksanya berada dalam pelukan. “Untuk apa tetap mempertahankan aku, kalau hatimu telah milik orang lain.” “Enggak Sayang, Abang enggak akan maksa kalau kamu enggak mau.” Kuusap punggungnya perlahan, mungk
“Aku laki-laki Nisa, jangan membuatku seperti ini. Kamu menyiksaku tanpa alasan,” lirihku, walau amarah ini sudah naik sampai ke puncak melihatnya serapuh ini, hatiku tak kuasa melampiaskan kekesalan ini padanya.“Maaf sudah bikin Abang menunggu selama ini,” lirih Nisa sambil terisak. Kulepaskan pelukannya dengan kasar. Dia sedikit tersentak ke belakang. Tak tahan rasanya berada dalam satu ruangan dengan wanita yang sudah jadi mahramku, tapi tak bisa kusentuh.“Mau ke mana, Bang?” tanya Nisa ketika aku sudah sampai daun pintu.“Panggil aku kalau kamu sudah siap!” Kututup pintu dengan kerar. Biarkan saja kalau gebrakannya membuat terkejut seisi rumah. Aku tak peduli. Apa kurangku, aku sudah tak menarik lagi bagimu?“Papah?” Kutengok ke arah sumber suara. Ternyata Reina berada tepat di depanku, dipeluknya kaki kananku dengan kedua lengannya.“Kenapa Papah
Kamu ke mana, Nisa? Kenapa selalu membuatku kesal! Ada baiknya kutelepon Nisa saja, tapi dering ponselnya malah terdengar di telinga. Dia bahkan meninggalkan ponselnya di rumah. Bisa-bisanya dia pergi seperti ini. Sial, aku tidak henti-hentinya mengumpat. Segera kucari ponsel Nisa. Kuperiksa saja sekalian barangkali saja dia meninggalkan jejak di sana. Di mana ponselnya aku terus mencari ponsel itu mengikuti nada deringnya. Di lemari? Sejak kapan dia menyembunyikan ponsel di lemari? Aneh. Gegas kuperiksa ponselnya. Pesannya kosong. Tidak ada riwayat chat sama sekali. Hanya ada 5 panggilan tak terjawab dari Indri. Setahuku dia tak pernah punya teman dengan nama Indri. Tidak ada salahnya bukan, kalau aku melakukan panggilan dengan Indri. Mungkin saja dia tahu sesuatu tentang Nisa.“Hallo selamat malam, maaf mengganggu waktunya sebentar,” ucapku. Ini memang sudah larut malam aku tahu ini bukan waktu yang baik untuk menelepon.“Selamat malam juga, maaf in
“Loh Pak, itu obat siapa?” Bi Sumi sedikit terkejut, sampai-sampai bola matanya nyaris saja keluar.“Ini obat Khalid Bi, kayaknya sakit deh. Pantas rewel. Nih kasih aja, saya menemukan obat ini di tumpukan pakaiannya.” Bi sumi segera mengambil obat yang aku sodorkan. Terlihat dia membolak-balikkan lembar demi lembar obat-obatan itu. Wajahnya terlihat bingung hingga sesekali melihat ke arahku, kemudian dia membaca lagi tulisan yang tertera dalam obat-obatan itu. Kali ini dia meraba kening bayiku. Hingga bisa kulihat dia mengerutkan dahinya. Lagi-lagi ekspresi heran dia tunjukkan padaku.“Kenapa, Bi?”“Maaf Pak, ini kayaknya bukan obat Khalid.”“Loh, tahu dari mana? Memangnya dia itu dokter. Kenapa yakin sekali kalau itu bukan obat untuk Khalid?“Saya juga punya anak di rumah. Waktu anak saya sakit pasti obatnya di kasih yang sirop, kalau pun ada yang tablet pasti sudah dalam bentuk serbuk.&