Ketika Suami Mulai Bosan

Ketika Suami Mulai Bosan

By:  eriayurika4  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating
61Chapters
32.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Tak ada cinta yang sempurna. Kadarnya berubah setiap waktu kadang menjulang tinggi sampai ke langit, tapi tak jarang rasa bosan menyapa. Menurunkan kadarnya hingga ke dasar bumi. Tugas kita menjaganya tetap hangat agar rasa itu tetap tinggal, meski gairahnya mulai pudar perlahan. Memupuk kembali rasa yang hampir mati. Menghujaninya dengan untaian doa. Berharap Tuhan mau mencampuri urusan kami. Menumbuhkan kembali rasa cinta pada dua insan yang dilema. Antara bertahan atau pergi mencari tempat baru yang lebih subur.

View More
Ketika Suami Mulai Bosan Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Kemal Insany
bagus sangat, apakah ada kelanjutan nya?
2022-10-26 03:56:37
1
61 Chapters
Bosan
“Dik, memangnya enggak bisa kalau rumah sehari saja enggak berantakan?” Rasanya kepalaku ingin pecah setiap kali pulang ke rumah. Selalu saja disuguhkan pemandangan seisi rumah yang porak-poranda seperti diterjang angin puting beliung. Mainan gelas plastik semuanya tercecer di lantai. Darahku rasanya ikut naik ke kepala. Lagi-lagi harus menahan emosi mati-matian agar tidak sampai meledak. Mengingat anak-anak yang pasti akan ikut menangis kalau sampai itu terjadi. Bukannya menyelesaikan masalah judtru kepalaku bertambah pening. Mendengar tangisan mereka yang tidak pernah usai hingga larut malam.“Maaf Bang, nanti adik bereskan. Mau makan sekarang?” tawar Nisa, istriku.“Maulah pakai tanya!” sungutku kesal. Hari ini rasanya kesabaranku telah habis melihat penampilannya yang acak-acakan ditambah bau pesing yang menyeruak masuk ke indra penciuman, membuatku tidak lagi bisa menahan emosi yang terlanjur naik.“Astaghfirrul
Read more
Izinkan Aku Menikahi Dia
“Jangan begitu, Bos! Ingat Nisa baru saja melahirkan. Wajarlah menurut gue. Apalagi si kembar masih kecil-kecil.” Nada bicara Haris terdengar lebih serius.“Di rumah sudah disediakan asisten rumah tangga masa iya masih kewalahan?”“Biarkan saja, pasti maulah dimadu secara Nisa kan salihah.” Fredi kali ini memainkan alisnya seolah meminta pembenaran atas pendapatnya. Nisa memang istri yang sempurna. Namun benarkah dia mau jika dipoligami?“Enggak usah ikut-ikutan si Fredi Bos, kasihan Nisa,” ucap Haris sembari menepuk pelan pundakku.“Bukan itu saja masalahnya Ris, selera Nisa itu kuno banget anak-anak saja sampai ikutan ketinggalan jaman.”“Lu itu cuma bosan. Ajak istri jalan-jalan bukan malah cari yang baru,” ucap Haris yang malah menasihatiku.“Ah enggak asyik lu, Ris.” Fredi pun langsung berlalu dari hadapan kami.Hari semakin larut anak-anak masih be
Read more
Apa Alasannya?
“Enggak usah panggil Adik lagi Bang! Sekarang bagimu aku cuma orang asing ‘kan? Yang pendapatnya tidak perlu dihiraukan lagi.”Tiba-tiba kilatan cahaya sejenak menerangi seisi ruangan, lalu tidak lama suara petir menggelegar tepat di saat Nisa selesai bicara. Aku sedikit tersentak, sedangkan Nisa tak bergeming sedikit pun. Untuk menenangkan diri dari keterkejutan. Kuhembuskan nafas perlahan berkali-kali sembari memberi jeda untuk kami mendinginkan hati dan kepala yang mulai tersulut emosi. “Apa lagi? Pergi! Cari kebahagiaan Abang sendiri. Untuk apa lagi di sini, bukankah sudah seperti neraka bagimu?”   "Dik, kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Kuraih lagi tangannya yang sudah terlepas dari genggaman memaksanya berada dalam pelukan.   “Untuk apa tetap mempertahankan aku, kalau hatimu telah milik orang lain.”   “Enggak Sayang, Abang enggak akan maksa kalau kamu enggak mau.” Kuusap punggungnya perlahan, mungk
Read more
Kenapa Tak Kau Izinkan Saja?
 “Aku laki-laki Nisa, jangan membuatku seperti ini. Kamu menyiksaku tanpa alasan,” lirihku, walau amarah ini sudah naik sampai ke puncak melihatnya serapuh ini, hatiku tak kuasa melampiaskan kekesalan ini padanya.“Maaf sudah bikin Abang menunggu selama ini,” lirih Nisa sambil terisak. Kulepaskan pelukannya dengan kasar. Dia sedikit tersentak ke belakang. Tak tahan rasanya berada dalam satu ruangan dengan wanita yang sudah jadi mahramku, tapi tak bisa kusentuh.“Mau ke mana, Bang?” tanya Nisa ketika aku sudah sampai daun pintu.“Panggil aku kalau kamu sudah siap!” Kututup pintu dengan kerar. Biarkan saja kalau gebrakannya membuat terkejut seisi rumah. Aku tak peduli. Apa kurangku, aku sudah tak menarik lagi bagimu?“Papah?” Kutengok ke arah sumber suara. Ternyata Reina berada tepat di depanku, dipeluknya kaki kananku dengan kedua lengannya.“Kenapa Papah
Read more
Obat Siapa?
Kamu ke mana, Nisa? Kenapa selalu membuatku kesal! Ada baiknya kutelepon Nisa saja, tapi dering ponselnya malah terdengar di telinga. Dia bahkan meninggalkan ponselnya di rumah. Bisa-bisanya dia pergi seperti ini. Sial, aku tidak henti-hentinya mengumpat. Segera kucari ponsel Nisa. Kuperiksa saja sekalian barangkali saja dia meninggalkan jejak di sana. Di mana ponselnya aku terus mencari ponsel itu mengikuti nada deringnya. Di lemari? Sejak kapan dia menyembunyikan ponsel di lemari? Aneh. Gegas kuperiksa ponselnya. Pesannya kosong. Tidak ada riwayat chat sama sekali. Hanya ada 5 panggilan tak terjawab dari Indri. Setahuku dia tak pernah punya teman dengan nama Indri. Tidak ada salahnya bukan, kalau aku melakukan panggilan dengan Indri. Mungkin saja dia tahu sesuatu tentang Nisa.“Hallo selamat malam, maaf mengganggu waktunya sebentar,” ucapku. Ini memang sudah larut malam aku tahu ini bukan waktu yang baik untuk menelepon.“Selamat malam juga, maaf in
Read more
Jangan Salahkan Aku
“Loh Pak, itu obat siapa?” Bi Sumi sedikit terkejut, sampai-sampai bola matanya nyaris saja keluar.“Ini obat Khalid Bi, kayaknya sakit deh. Pantas rewel. Nih kasih aja, saya menemukan obat ini di tumpukan pakaiannya.” Bi sumi segera mengambil obat yang aku sodorkan. Terlihat dia membolak-balikkan lembar demi lembar obat-obatan itu. Wajahnya terlihat bingung hingga sesekali melihat ke arahku, kemudian dia membaca lagi tulisan yang tertera dalam obat-obatan itu. Kali ini dia meraba kening bayiku. Hingga bisa kulihat dia mengerutkan dahinya. Lagi-lagi ekspresi heran dia tunjukkan padaku.“Kenapa, Bi?”“Maaf Pak, ini kayaknya bukan obat Khalid.”“Loh, tahu dari mana? Memangnya dia itu dokter. Kenapa yakin sekali kalau itu bukan obat untuk Khalid?“Saya juga punya anak di rumah. Waktu anak saya sakit pasti obatnya di kasih yang sirop, kalau pun ada yang tablet pasti sudah dalam bentuk serbuk.&
Read more
Ketahuan
Sepulang kerja penyakit vertigoku sepertinya kambuh lagi, pasti karena semalam tidak bisa tidur, dan tadi pagi lupa sarapan di tambah lagi aku malah mengambil lembur. Aku berpegangan pada dinding, terus berjalan perlahan menuju area parkir.Di sana aku lagi-lagi bertemu dengan Santi, rupanya dia juga lembur. Area parkir sudah sepi hanya tinggal beberapa karyawan yang masih di dalam, wanita itu sepertinya sadar dengan keadaanku yang tak baik-baik saja. Santi dengan sigap menghampiriku, lalu memapah sampai ke mobil.“Saya antar Bapak pulang, ya. Saya bisa nyupir kok.”“Terus motor kamu?” Seingatku dia biasa pergi ke kantor dengan scooter matic merah muda.“Enggak apa-apa saya tunda saja di sini.”“Terus nanti kamu pulangnya bagaimana, saya enggak bisa nganter kamu lagi?”“Banyak ojek Pak, lagian baru jam 8. Belum terlalu malam. Mari biar saya bantu!”Aku hanya mengangguk semba
Read more
Apa Syaratnya
“Kenapa melihatku seperti itu, Nisa. Mau marah?” tanyaku hati-hati, sakit di kepalaku belum reda sepenuhnya akan bertambah runyam urusannya kalau sampai Nisa marah-marah. “Enggak.” Nisa malah menggeleng pelan suaranya tak kalah lembut dengan Santi, bibirnya bahkan tersenyum lagi. Kali ini terlihat ada ketulusan di dalamnya. Meski tidak bisa di bohongi matanya berkaca-kaca. “Terima kasih sudah membantu suami saya,” ucap Nisa sembari menatap Santi. “Oh iya Mbak, sama-sama.” “Lain kali anda tidak perlu repot-repot membukakan kancing bajunya, masih gadis ‘kan? Perbuatan yang kamu lakukan bisa mengundang syahwat?” “Hmm iya Mbak, saya minta maaf.” Santi langsung tertunduk malu, suaranya tercekat dia terlihat sangat gugup, hingga kulihat berkali-kali jarinya bergerak-gerak tanpa kontrol, gerakan khas seseorang
Read more
Kenapa Harus Bulan Depan
“Apa syaratnya?” Nisa terdiam entah syarat apa yang akan dia berikan, tapi apakah aku tidak sedang bermimpi dia benar-benar mengizinkanku untuk menikah lagi? “Menikahlah bulan depan, jangan sekarang!” kata Nisa setelah itu dia meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan apa pun lagi. Hanya itu syarat yang dia ajukan. Itu artinya tinggal 20 hari lagi. Aku menghentikan langkahnya yang semakin menjauh. “Kamu mengikhlaskanku menikah lagi?” “Iya.” “Apa alasannya?” “Apa itu perlu dijelaskan, bukannya Abang yang terus memaksaku buat setuju?” Nisa melepaskan lenganku dengan perlahan. “Khalid nangis, aku ke atas duluan. Telepon saja calon istri Abang, pastikan dia bersedia.” Nisa mengusap pundakku dengan lembut. Senyumnya lagi-lagi mengembang sempurna. Aku tahu itu hanya senyum palsu,
Read more
Diabaikan
“Belum tentu juga Santi mau jadi istri ke dua.” ucap istriku.“Siapa bilang?” Tentu saja dia mau kulihat dia sepertinya menyukaiku.“Kalau Santi malah menyuruh Abang menceraikanku. Apa yang bakal Abang lakukan?” Pertanyaan macam apa ini. Meski rasa cintaku pada Nisa kian memudar, tapi tak sampai hati kalau harus berpisah dengannya, terlebih anak-anakku.“Ah sudahlah enggak usah dibahas. Kemarin Abang menemukan obat di tumpukan baju Khalid, itu punya siapa?”“Obatku, Bang.”“Oh.”“Cuma Oh?”“Syukurlah Abang pikir Khalid yang sakit.”“Abang enggak mau tanya aku sakit apa?”“Bukannya kamu memang sering minum obat itu sejak melahirkan?” Nisa malah tersenyum, tapi di sana ada garis kecewa yang terukir jelas. Apa lagi ini, kenapa dia jadi begitu emosional?“Iya.”“Memangnya kam
Read more
DMCA.com Protection Status